Jangan Berdiam Diri Terhadap Kemungkaran

Ada sebuah fenomena yang sangat jelas dan tertanam kuat pada masyarakat dan bangsa kita saat ini yaitu membiarkan kemungkaran terjadi dan malu untuk mencegah ataupun sekedar untuk menegur. Bahkan mungkin sekarang sudah mencapai taraf takut untuk mencegah atau sekedar menyampaikan sepatah dua patah kata untuk mencegah atau mengingatkan orang dari berbuat kemungkaran. Parahnya lagi hal itu semakin ditunjang dengan kondisi dan sarana yang cukup memadai untuk melakukan segala kemungkaran dan kemaksiatan.

“Dan peliharalah diri kalian dari fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfaal [8]: 25)

Imam Ibn Katsir (w. 774 H) menyatakan bahwa ayat ini merupakan peringatan dari Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman tentang fitnah[1], yaitu ujian dan bencana, yang tidak hanya dikhususkan bagi ahli maksiat dan pelaku dosa saja, namun berlaku umum, terhadap orang yang melakukan kemaksiatan ataupun tidak. Hal ini terjadi karena orang-orang yang tidak melakukan perbuatan dosa tadi tidak berupaya mencegah dan menghentikan kemaksiatan para ahli maksiat.[2]

At-Thabari (w. 310 H) menyampaikan sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas tentang ayat ini, Ibn ‘Abbas berkata: “Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tidak mendiamkan kemungkaran yang tampak di hadapan mereka, jika demikian (tetap mendiamkan) maka Allah akan menimpakan azab yang berlaku umum.”[3] Dalam tafsir al-Baghawi (w. 510 H), ada tambahan redaksi terhadap pernyataan Ibn ‘Abbas ini, yaitu: “yang akan menimpa orang yang berlaku zalim dan yang tidak.”[4]


Sebagian mufassir dari kalangan tabi’in mengkhususkan ayat ini hanya untuk sebagian kalangan shahabat saja, seperti yang dinyatakan oleh as-Suddi dan al-Hasan. As-Suddi berkata bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang yang terlibat dalam Perang Jamal. Sedangkan al-Hasan lebih jelas lagi menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan ‘Ali, ‘Utsman, Thalhah dan Zubair rahmatullahi ‘alaihim.[5] Dalam salah satu riwayat, Ibn ‘Abbas juga menyatakan bahwa ayat ini turun tentang para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[6]


Namun, Mujahid menyatakan bahwa ayat ini juga berlaku untuk yang lain. Demikian juga menurut adh-Dhahhak, Yazid ibn Abi Habib, dan lainnya. Ibn Mas’ud berkata: “Tidak ada salah seorang pun dari kalian kecuali ia terkena fitnah. Allah ta’ala berfirman: innamaa amwaalukum wa aulaadukum fitnah (sesungguhnya harta dan anak-anak kalian merupakan fitnah) (at-Taghabun [64]: 15), maka berlindunglah kepada Allah dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.”[7]

Oleh karena itu, Ibn Katsir menyatakan bahwa ayat ini berlaku untuk para shahabat dan selain mereka.[8] Ini juga yang menjadi pendapat faqih dan mufassir kontemporer, az-Zuhaili.[9]

Dari penjelasan di atas, cukup jelas bagi kita bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada orang-orang beriman, orang-orang yang tidak suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa yang mereka lakukan tidak cukup untuk menyelamatkan diri mereka dari bencana, jika mereka tetap membiarkan kemaksiatan dan kemungkaran merajalela di sekitar mereka.

Jika ada yang menyatakan bahwa Allah ta’ala berfirman: wa laa taziru waaziratun wizra ukhraa (dan seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain)[10]kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah (tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya)[11], dan lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa ma(a) (i)ktasabat (baginya pahala atas (kebaikan) yang dilakukannya, dan untuknya siksa karena (kejahatan) yang dilakukannya)[12], dan ini berarti seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, seseorang hanya akan disiksa akibat perbuatan dosanya sendiri. Maka, menurut al-Qurthubi (w. 671 H), jawabannya adalah bahwa seseorang yang melihat kemungkaran merajalela, ia wajib mengubahnya, dan yang berdiam diri terhadap kemungkaran tersebut juga terkategori orang yang bermaksiat. Ia berdosa karena ridha terhadap kemaksiatan yang ada disekitarnya.[13]
Kewajiban mengubah kemungkaran ini juga telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu hadits shahih:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tangan, jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati (dengan menunjukkan ketidak ridhaan terhadap kemungkaran tersebut), dan itulah selemah-lemah iman.”[14]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا

Artinya: “Perumpamaan orang yang komitmen terhadap ketentuan-ketentuan Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti sekelompok orang yang menumpangi sebuah kapal. Sebagian mereka berada di bagian atas, dan sebagian yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang di bawah ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang di atas mereka. Lalu mereka berkata: ‘Seandainya kita lubangi saja (kapal ini) pada bagian kita, kita tentu tidak akan menyusahkan orang-orang yang di atas kita’. Jika hal tersebut dibiarkan oleh orang-orang yang di atas, padahal mereka tidak menghendakinya, niscaya binasalah mereka semua, dan jika mereka mencegahnya, maka selamatlah semuanya.”[15]

Hadits di atas menunjukkan pentingnya aktivitas al-amr bil ma’ruf dan an-nahy ‘anil munkar, jika umat Islam senantiasa melaksanakan aktivitas ini, niscaya umat ini akan selamat, dan sebaliknya jika tidak dilakukan, umat ini akan binasa secara keseluruhan, baik pelaku maksiat secara langsung maupun yang ridha dan membiarkan aktivitas mereka.

Allah bahkan mengancam orang-orang yang tidak melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar melalui lisan Rasul-Nya sebagai berikut:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Artinya: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian harus memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan menimpakan hukuman atas kalian (karena meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar), kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan tidak dikabulkan-Nya.”[16]

Kenyataannya, saat ini kemungkaran begitu jelas terlihat di depan mata kita. Berbagai macam kemaksiatan seperti ekonomi ribawi, pornografi dan pornoaksi , serta berbagai pemikiran merusak semisal pluralisme dan liberalisme begitu nyata dijajakan di hadapan kita. Penguasa, yang seharusnya melindungi umat dari kemungkaran, malah menjadi pelindung utama kemungkaran tersebut. Di sisi lain, umat Islam semakin terhimpit kemiskinan dan kesulitan hidup sistemik akibat diterapkannya undang-undang dan peraturan yang tidak Islami.

Bahkan, bisa dikatakan saat ini merupakan periode terburuk yang dialami oleh umat Islam. Seburuk-buruknya masa lalu, saat Negara Islam masih tegak, kemungkaran hanya terjadi pada skala individu atau kelompok kecil, paling banter kemungkaran dilakukan oleh sebagian penguasa korup, tanpa meluas ke tengah masyarakat. Sedangkan saat ini, korupsi penguasa dilakukan dari tingkat pusat sampai daerah, minuman keras dan narkoba menyebar di tengah masyarakat, pornografi dan pornoaksi menjadi tontonan tiap hari, ekonomi ribawi menggurita dan menjadi penopang utama ekonomi bangsa ini, kerusakan moral terlihat di mana-mana, dan banyak keburukan lainnya yang bisa kita saksikan dan baca dari berbagai media tiap harinya.

Kalau kita sejenak duduk, berfikir dan merenungi kenyataan ini, kita akan paham bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah akibat dari perbuatan kita dan sikap kita yang selalu menyepelekan perintah dan larangan Allah Ta?ala. Kita selalu membentangkan tangan terbuka bagi setiap ajakan syetan beserta kru-krunya, bersamaan dengan itu kita dengan sangat berani dan tak tahu malu menolak setiap ajakan kebaikan menuju jalan Allah dan Rasul-Nya. Malah sikap yang lebih parah lagi adalah merasa bangga dengan perbuatan buruk yang dilakukan. Lalu para pemimpin hanya sibuk mengurus diri dan kursinya.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu simbol bagi hilangnya rasa mencintai kebenaran dan membenci kemungkaran. Hal itulah yang menjadi pupuk bagi semakin suburnya kemungkaran dan kejahatan yang kita lihat sehari-hari. Kebanyakan kita menganggap bahwa dengan membiarkan seseorang berbuat apa yang dia mau adalah memberikan hak asasinya sebagai manusia. Padahal hal itu tidak lain akan semakin mengurangi kemanusiannya.

Jika kita jernih memandang hal ini, kita akan temukan bahwa akar masalah dari berbagai kemungkaran yang disebutkan di atas adalah tidak dijadikannya Syariah Islam, aturan yang diturunkan oleh Allah ta’ala bagi manusia, sebagai hukum formal pada seluruh aspek kehidupan. Seandainya Syariah Islam diterapkan sepenuhnya –tanpa kecuali– atas dasar keimanan kepada Allah ta’ala, tentu kemungkaran bisa dikikis habis. Sebaliknya, jika Syariah Islam diabaikan, kemungkaran akan terus menggurita dan merusak seluruh sendi kehidupan kita.

Pada kondisi seperti sekarang ini, diam berpangku tangan atas tidak diterapkannya Syariah Islam merupakan sebuah kemaksiatan, bahkan kemaksiatan yang amat besar. Jika semua orang yang mengetahui hal ini diam dan terus membiarkan kemungkaran ini, tanpa berupaya mengubahnya, maka bencana akan menimpa umat ini secara keseluruhan. Na’udzubillahi min dzalik.

Catatan Kaki:
[1] Seringkali orang salah memahami makna fitnah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Fitnah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maknanya beragam, kadang maksudnya ujian, kadang bencana dan kerusakan, kadang juga dipahami sebagai azab, dan kadang dengan makna yang lain.
[2] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4 (Riyadh: Daar Thayyibah, 1999), hlm. 37.
[3] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 13 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000), hlm. 474.
[4] Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya at-Turats’ al-‘Arabi, 1420 H), hlm. 283.
[5] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 13, hlm. 473-474.
[6] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, hlm. 38.
[7] Ibid., hlm. 38.
[8] Ibid., hlm. 38.
[9] Az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 9 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H), hlm. 292.
[10] Disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an, yaitu pada: QS. Al-An’aam [6]: 164; QS. Al-Israa’ [17]: 15; QS. Faathir [35]: 18; dan QS. Az-Zumar [39]: 7.
[11] QS. Al-Muddatstsir [74]: 38.
[12] QS. Al-Baqarah [2]: 286.
[13] Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 7 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), hlm. 393.
[14] Diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim, Juz 1 (Beirut: Dar Ihya at-Turats, t.t), hlm. 69, hadits no. 78. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud ath-Thayalisi, Ibn Hibban, al-Baihaqi, dan yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
[15] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H), hlm. 139, hadits no. 2493. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Hibban, ath-Thabarani, al-Baihaqi, dan yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
[16] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz 4 (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1975), hlm. 468, hadits no. 2169. At-Tirmidzi berkata: ‘hadits ini hasan’. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, ath-Thabarani, al-Baihaqi, dan yang lainnya dengan redaksi masing-masing.

PROSES PENCIPTAAN MANUSIA SESUAI DENGAN AL-QUR’AN DAN SAINS



Terkait dengan proses penciptaan manusia menurut Al-Qur’an ternyata masih terdapat  ahli ilmu pengetahuan yang masih mendukung teori evolusi bahwa manusia berasal dari makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian mengalami evolusi dan menjadi manusia seperti sekarang ini. Dilain pihak, banyak ahli agama yang menentang adanya proses evolusi manusia tersebut. Khususnya agama Islam yang meyakini bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam a.s. disusul Siti Hawa dan kemudian keturunan-keturunannya hingga menjadi banyak seperti sekarang ini. Hal ini didasarkan pada berita-berita dan informasi-informasi yang terdapat di Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Oleh karenanya dijelaskan bagaimana proses kejadian manusia menurut Al-Qur’an dan sains.
Para ahli embriologi beranggapan bahwa tulang dan otot dalam embrio terbentuk secara bersamaan. Embriologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari perkembangan embrio dalam rahim ibu.
Diambil dari berbagai sumber, sains modern mengetahui proses penciptaan di dalam alam rahim setelah ditemukannya alat pemeriksaan canggih. Penelitian dengan mikroskop yang dilakukan menunjukkan bahwa perkembangan dalam rahim terjadi persis seperti yang digambarkan dalam ayat Alquran.
 “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik,” Surah Al Mu'minuun Ayat 14.
Sebagian orang menyatakan bahwa ayat ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Namun, penelitian dengan teknologi baru telah mengungkap bahwa pernyataan Alquran adalah benar.
Dijelaskan bahwa jaringan tulang rawan embrio mulai mengeras. Kemudian, sel-sel otot yang terpilih dari jaringan di sekitar tulang bergabung dan membungkus tulang-tulang tersebut.
Terbitan ilmiah menjelaskan bahwa pada akhir minggu ketujuh dan selama minggu kedelapan, otot-otot menempati posisinya di sekeliling bentukan tulang. Tahap-tahap pembentukan manusia seperti digambarkan dalam Alquran sesuai dengan penemuan embriologi modern.
sumber : islampos.com

Ketika Imam Mahdi Muncul, akankah Media Kafir Mencapnya Teroris?

Oleh : Ustad Ihsan Tanjung
Ada sebagian orang masih bertanya-tanya apa perlunya seorang Muslim memahami tanda-tanda Akhir Zaman? Ia tidak menyadari bahwa kejahilan atau ketidak-pedulian seseorang akan tanda-tanda tersebut bisa berakibat fatal bagi kehidupannya.
Misalnya, masalah datangnya Imam Mahdi. Sebagaimana disebutkan di dalam banyak hadits, Nabi Muhammad shollallahu ‘alaih wa sallam telah memprediksi akan diutusnya seorang lelaki yang bakal menjadi pemimpin ummat Islam di Akhir Zaman. Lelaki ini akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah tadinya dipenuhi dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan. Artinya, ia akan menjadi panglima kaum muslimin dalam mengalihkan kehidupan dewasa ini di babak keempat –yakni babak kepemimpinan Mulkan Jabriyyan (para penguasa diktator)- menuju ke babak kelima –yakni babak tegaknya kembali khilafatun ‘ala minhaj an-Nubuwwah (ke-Khalifahan yang mengikuti metode Kenabian). Ia akan mengajak kita meninggalkan sistem jahiliyyah modern penuh kezaliman menuju sistem Islam penuh keadilan di penghujung umur dunia fana menjelang hari Kiamat.
لَوْلَمْيَبْقَمِنْالدُّنْيَاإِلَّايَوْمٌلَطَوَّلَاللَّهُذَلِكَالْيَوْمَحَتَّىيَبْعَثَفِيهِرجلمِنْأَهْلِبَيْتِييُوَاطِئُاسْمُهُاسْمِيوَاسْمُأَبِيهِاسْمُأَبِييَمْلَأُالْأَرْضَقِسْطًاوَعَدْلًاكَمَامُلِئَتْظُلْمًاوَجَوْرًا
“Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah ta’aala akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR Abu Dawud 9435)
Dari hadits di atas sebagian Ulama menyimpulkan bahwa Imam Mahdi akan memiliki nama Muhammad bin Abdullah. Sebab kata Nabi namanya mirip nama Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam sedangkan nama ayahnya mirip nama ayah Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam . Itulah sebabnya para pejuang Palestina, khususnya kelompok Hamas mempunyai slogan perjuangan yang berbunyi:
خيبرخيبريايهودجيشمحمدسوفيعود
“Wahai kaum Yahudi, Khaibar, Khaibar… Pasukan Muhammad pasti akan kembali.”
Khaibar merupakan nama sebuah benteng kokoh bangsa Yahudi yang berhasil dijebol dan dihancurkan oleh pasukan Islam di masa lampau sekian belas abad yang lalu. Pasukan Hamas seringkali melaungkan semboyan di atas untuk menggentarkan fihak pasukan Zionis Yahudi. Agar kaum Yahudi ingat selalu bahwa sekuat apapun benteng mereka sesungguhnya semua kekuatan itu akan bisa dihancurkan oleh pasukan Islam bila dikehendaki Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Selanjutnya pasukan Islam mengingatkan bahwa “pasukan Muhammad” pasti akan datang kembali untuk membuat perhitungan. Dan istilah “Pasukan Muhammad” mengisyaratkan ke masa lampau, yaitu pasukan pengikut Nabi Muhammad shollallahu ‘alaih wa sallam , dan sekaligus ke masa yang akan datang, yaitu pasukan pengikut Muhammad bin Abdullah lelaki yang kelak datang berpredikat Imam Mahdi…!

Jika seorang Muslim tidak memiliki kecukupan pengetahuan mengenai Imam Mahdi, bisa saja fihak musuh-musuh Islam mempromosikan seorang Imam Mahdi gadungan ke pentas dunia. Lelaki tersebut mengaku bernama Muhammad bin Abdullah. Media milik kaum kuffar kemudian mengorbitkannya sedemikian rupa sebagai lelaki yang pantas memimpin ummat Islam, padahal ia adalah Imam Mahdi palsu yang akan menyesatkan ummat Islam, terutama generasi mudanya. Lalu berbondong-bondonglah ummat Islam mem-bai’atnya padahal ia akan menyesatkan setiap muslim dari jalan lurus yang diridhai Allah.
Sebaliknyapun demikian. Pada saat Imam Mahdi yang sejati telah datang, media kaum kuffar segera memberikan label seperti teroris, ekstrimis dan sejenisnya. Lalu setiap Muslim yang bodoh dan tidak pernah mempelajari hadits-hadits mengenai kemunculan dan kriteria Imam Mahdi segera mencapnya sebagaimana diinginkan oleh media kuffar tersebut. Akhirnya jangankan si Muslim tadi berbai’at dengan Imam Mahdi, malah sebaliknya ia akan mendaftarkan dirinya ke dalam pasukan yang siap memerangi Al-Mahdi. Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam jelas-jelas memerintahkan setiap orang beriman di Akhir Zaman untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Imam Mahdi. Dan bilamana kedatangannya sudah nyata Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam memerintahkan kita untuk segera mendaftarkan diri ke dalam pasukannya betapapun sulitnya keadaan ketika itu.
فَإِذَارَأَيْتُمُوهُفَبَايِعُوهُوَلَوْحَبْوًاعَلَىالثَّلْجِ
“Ketika kalian melihatnya (Imam Mahdi) maka ber-bai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju.” (HR Ibnu Majah 4074)
Bila seorang Muslim pengetahuannya cuma sebatas bahwa Imam Mahdi bernama Muhammad bin Abdullah, maka tentunya dengan mudah fihak musuh akan mempermainkan pengetahuannya yang terbatas itu untuk mengorbitkan Imam Mahdi palsu. Ia tidak cukup rajin untuk mempelajari hadits-hadits lainnya soal Imam Mahdi agar ia memiliki pemahaman yang relatif utuh.
Lalu si Muslim tadi malah akan berseberangan jalan dengan Imam Mahdi yang sebenarnya karena terbiasa mengikuti kemauan para penguasa diktator yang sedang digdaya di zaman penuh fitnah dewasa ini. Bila media penguasa diktator menjuluki Imam Mahdi yang asli sebagai teroris, maka si Muslim pandir tadipun akan membeo dengan menjuluki Imam Mahdi sebagai teroris. Bahkan ia akan penuh kesungguhan turut berfihak kepada kelompok yang memerangi Imam Mahdi dengan dalih sedang menjalankan proyek mulia “War on Terror.”

Saudaraku, sungguh merugilah barangsiapa yang menganggap remeh pemahaman akan tanda-tanda Akhir Zaman. Padahal hari demi hari berlalu sedangkan tanda demi tanda semakin tersingkap di hadapan kita bersama. Bersiap-siagalah, saudaraku. Segeralah belajar mumpung masih ada waktu. Jangan sia-siakan umur padahal Kiamat semakin dekat…!

Sumber : eramuslim.com

KH Hasyim Muzadi: Jangan Cari Dalang Aksi 4.11 karena Itu Kekuatan Al-Quran

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan di kalangan umat Islam di seluruh dunia ada tiga hal yang tidak boleh disinggung atau direndahkan, yakni Allah SWT, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, dan Kitab suci Al-Quran.
"Apabila salah satu, apalagi ketiganya disinggung dan direndahkan, maka dipastikan akan ada reaksi spontan dari umat Islam tanpa disuruh siapapun," ujar Kyai Hasyim seperti dikutip Antara.
Kyai Hasyim melanjutkan, reaksi spontan itu akan segera meluas tanpa bisa dibatasi oleh semacam sekat-sekat organisasi, partai, dan birokrasi. Kekuatan energi tersebut akan bergerak cepat dengan sendirinya tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
"Fenomena demo yang terjadi pada 4 November 2016 tentu secara lahiriah dipimpin oleh beberapa tokoh yang merasa terpanggil untuk membela kesucian kitabnya. Namun jumlah massa yang hadir membuktikan adanya kekuatan (energi spritiual) yang dahsyat dari pengaruh Al-Quran tersebut," ungkap Kyai Hasyim.
Menurut pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Depok, Jawa Barat ini, para pemimpin yang melakukan demo atau mengumpulkan massa tanpa dorongan spiritualisme tidak mungkin dapat menggerakan umat yang berjumlah jutaan. Mereka berjalan dengan damai, tertib, dan siap untuk berkorban.
"Karena itu, sesungguhnya tidak perlu dicari dalangnya, provokator, atau siapa yang membayar, karena provokator dan bayaran setingkat apapun tidak akan mampu menggalang kekuatan sedahsyat itu. Yang ada, mereka adalah menempel gelombang besar untuk kepentingannya, dan bukan kemampuan menciptakan gelombang itu sendiri," ujar Kyai Hasyim. 
sumber : voa-islam.com

Tausyiah Kebangsaan Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia

Bismillahirrahmanirrahim.
Mencermati dinamika kehidupan nasional di seputar kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Dewan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia yang keanggotaannya terdiri dari 70 ketua umum organisasi-organisasi Islam dan 29 tokoh ulama, zuama, dan cendikiawan muslim, dengan memohon rahmat, hidayah, dan ridha Allah SWT menyampaikan hal-hal sebagai berikut.
1. Memperkuat pendapat keagamaan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tanggal 11 oktober 2016 tentang penistaan agama, dan mendukung pernyataan sikap PBNU dan PP Muhammadiyah yang merupakan pendapat dan sikap sesuai ajaran Islam berdasarkan Al Quran dan Al Hadits. Pendapat keagamaan tersebut dikeluarkan sebagai kewajiban para ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis, penuh maslahat (haratsat al-din wa siyasat al-dunya), serta memelihara kerukunan hidup antar umat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Menyesalkan ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu "...jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya. Ya kan. Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak bapak ibu. Jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih ni karena takut masuk neraka. Dibodohin gitu ya..) yang beredar luas di masyarakat. Ucapan tersebut jelas dirasakan umat islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam, kitab suci Al Quran, dan ulama, karena memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama lain dengan memberikan penilaian (judgment) terhadap suatu pemahaman yang diberikan ulama, dan dengan memakai kata yang bersifat negatif, pejoratif, dan mengandung kebencian (hate speech). Ucapan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tersebut menunjukkan intoleransi dan rendahnya tenggang rasa terhadap keyakinan orang lain dan sangat potensial menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang dapat mengarah kepada terganggunya stabilitas nasional.
3. Memberikan apresiasi kepada kelompok umat Islam dan beberapa elemen bangsa yang menggelar aksi damai 4 november 2016 yang telah berlangsung aman dan damai yang dipimpin oleh para ulama, habaib, dan para tokoh Islam. Aksi damai tersebut yang menunjukkan kesatuan dan kebersamaan semua elemen bangsa merupakan ekspresi demokrasi yang konstitusional dan positif untuk mendorong penegakan hukum di negeri yang menganut supremasi hukum. Insiden yang terjadi di luar waktu unjuk rasa adalah ulah provokator yang hanya ingin menciderai aksi damai tersebut.
4. Menyampaikan bela sungkawa dan simpati yang mendalam atas jatuhnya korban (yang terluka maupun yang meninggal dunia), baik dari kalangan peserta aksi dan peserta keamanan dan diharapkan pada masa yang akan datang aksi damai tidak dihadapi dengan tindakan represif.
5. Karena kasus penistaan agama bukan masalah kecil, maka diminta agar proses hukum dijalankan secara berkeadilan, transparan, cepat, dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat luas.
6. Menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk tidak terpancing dengan isu-isu yang menyesatkan dan provokatif serta memecah belah kehidupan umat dan bangsa indonesia. Seraya menyerukan dan mengajak umat Islam Indonesia untuk tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah dan terus memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa.
Jakarta, 9 November 2016. 
Dewan pertimbangan majelis ulama indonesia

Ketua: Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA
Sekretaris: Dr. H. Noor Achmad, MA

DENGAN AL-MAIDAH :51 MERAJUT UKHUWAH


YA ALLAH….
Apunilah orang-orang yang menjalankan ibadAH
Mereka yang berpuasa senin & kamis dengan niat lillAH
Wahai orang yang mengaku islam sadarlAH...
BertobatlAH….
Hiasilah diri dengan akhlakul karimAH
Tegakkan amalan wajib dan sunnAH
Jauhi maksiyat dan amalan bid’AH
Jangan terpecah hanya persoalan khilafiyAH
Yakinlah dengan QalamollAH
Baik kauliyah maupun kauniyAH

Jagalah Muru’AH
Jangan biarkan AL-Qur’an diolok apalagi difitnAH
AL-Qur’an adalah manhaj ilahiyAH
Ia akan datang memberi syafaat dihadapan sidang mahkamah ALLAH
Oleh karena itu jaga dan amalkanlAH
Jangan pernah gentar untuk menjaga qalamollAH
Sahabatku yang baik hati lihatLAH
Lihatlah dengan pandangan basyiroH
Pada hari ini dan esok tetaplah dalam jalinan ukhuwAH
Berpeganglah dengan tali(agama) ALLAH
 Al-Imron ayat 103 perintah untuk menjaga ukhuwAH

Di akhir zaman Islam selalu di fitnAH
Di balik ujian dan musibah ada hikmAH
Al-Maidah membawa berkAH
Yakinlah Allah punya makar yang jauh lebih indAH
Jadi jangan kaget apalagi hilang ghirAH
Mulai dari fitnah teroris, isis hingga syi’AH
Dan yang paling fenomenal yakni masalah AL-Ma’idAH
Perbanyaklah tadabbur dan tilawAH

BacalaAH
Surah al-Kahfi tentang pemuda dikejar penguasa sang bedebbAH
Ketahuilah islam dalam cengkraman misionaris, komunis, zionis & syi’AH
Akan banyak “RuwaibidhAH
Dan orang jahil yang berpikirnya pragmati penuh amarAH
IstiqomahlAH…
Jaga pikiran dan tetaplah dengan qonaAH
Jaga lisan dengan dzikir dan ibadAH
Perbanyak do’a dalam sujud malam di atas hamparan sajadAH
Merataplah dengan air mata yang tertumpAH  
Banyak-banyaklah berdoa: tuk meraih hati mutma’innAH
Agar diselamatkan dari ujian fitnAH

Tadabburilah surah AL-MaidAH
Karena kini dan mendatang fitnah seperti air BAH
Laksana ondel-ondel bersembunyi dibalik wajAH
Dan laksana fatamorgana di bawah sinar yg cerAH
Dan tahun-tahun yang kelihatannya nampak tidak terarAH

Ya ikhwan jalinlah ukhuwAH
Untuk mennyonsong peradaban nan indAH
Sesama pejuang Qur’an dan SunnAH
Saling sapa dengan senyuman yg terindAH
Cukupkanlah perbedaan masalah khilafiyAH

Wahai saudaraku dipenghujung PAPUA hingga SERAMBI MEKAH
Mari jalin jemari merajut kasih nan indAH
Sungguh teramat mahal kisah NUSANTARA dlm sejarAH
Jangan hiraukan profokator pembuat masalAH

Ya ALLAH….
Terimalah do’aku sarpani bin ardiansyAH
Bimbinglah generasi kami tuk menjadi  pejuang sejarAH
Rajutlah persaudaran kami agar terarAH
Berilah Ruang-ruang hati ini tuk menerima hati yg mutma’innAH
Perbedaan yang membawa Keberkahan dan RahmAH
Aamiin Ya ALLAH
ALHAMDULILLAH….

Umar Bin Khatab, Gubernur dan Sekretaris non-Muslim

Khalifah Umar dalam penolakannya tersebut ternyata tidak murni mengedepankan wewenang kekuasaannya saja, tapi juga dalam rangka menerapkan dua perintah Allah
FIKIH, sebagai disiplin sebuah ilmu kerap didefinisikan sebagai “Ilmu tentang Hukum-hukum Syari’at praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.” Sedangkan kata “Pejabat” dalam KBBI diartikan sebagai “Pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan)”.
Tulisan ini akan mengangkat tentang –sekelumit kecil– tema jabatan dalam perspektif fikih.
Dalam tafsir “Al-Kasyf wa Al-Bayan“, Imam Abu Ishaq Ats-Tsa’laby telah menukil sebuah kisah dari Iyadh Al-Asy’ary;
وقال عياض الأشعري : وفد أبو موسى الأشعري إلى عمر بن الخطاب ، فقال : إن عندنا كاتباً حافظاً نصرانياً من حاله كذا وكذا . فقال : مالك قاتلك الله ؟ أما سمعت قول الله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم ) الآية ، وقوله ( لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء ) ؟ هلا اتخذت حنيفيّاً
“Dan Iyadh Al-Asy’ary berkata; Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ary datang kepada Umar Ibn Khattab dan berkata; “Kita memiliki seorang penulis (pencatat/sekretaris) yang terpercaya dan beragama Nasrani, dimana orangnya begini dan begini (menyanjung kelebihannya). Kemudian Umar pun berkata; “Ada apa denganmu? Sungguh Allah akan memerangimu (ungkapan pengingkaran), tidakkah telah kau dengar Firman Allah;  “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu” dan juga Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali(mu).” Mengapa tidak kau ambil saja orang yang Hanif? (orang yang bertauhid dan bukan musyrik).”
Selain Imam Ats-Tsa’laby, kisah di atas telah dinukil juga oleh beberapa Mufassir lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya telah dinukil oleh Abu Zahrah dalam kitabnya “Zahrah At-Tafasir” saat mengatakan;
ولقد كان عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – ينهى عن أن يستخدم غير المسلمين في الدولة الإسلامية، ويروى في ذلك أن أبا موسى الأشعري كان له كاتب نصراني، فأرسل إليه أمير المؤمنين عمر ينهاه عن ذلك، وجاء في آخر كتابه: (لا تقرِّبوهم إذ أقصاهم الله) فرد عليه أبو موسى يقول له: (لا قوام للبصرة إلا به). فكتب إليه عمر مرة أخرى كلمة موجزة: (مات النصراني والسلام) وقد فسر الزمخشري تلك الكلمة الموجزة بقوله: (يعني أنه قد مات، فما كنت تكون صانعا حينئذ فاصنعه الساعة، واستغن عنه بغيره).
“Dan dahulu Umar ibn Khattab Radhiyallahu ‘Anhu melarang penggunaan non-Muslim di Negeri Muslim. Dan telah diriwayatkan dalam hal tersebut bahwa Abu Musa Al-Asy’ary memiliki seorang penulis (sekretaris) beragama Nasrani, lalu Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab mengirimkan surat kepadanya melarang akan hal tersebut. Dan di akhir surat tersebut dikatakan; “Janganlah engkau mendekatkan mereka (non-Muslim) sedangkan Allah telah menjauhkan mereka”. Lalu Abu Musa pun membalas surat tersebut dengan berkata; “Urusan di Basrah ini takkan berjalan tanpa dia (sekretaris Nasrani tadi)”. Lalu Umar pun kembali menyuratinya dengan perkataan singkat; “Orang Nasrani itu telah mati! Wassalam!”.
Imam Al-Zamakhsary telah menafsirkan kalimat singkat tersebut dengan menjelaskan; “Maksudnya adalah: Orang Nasrani tersebut (anggap saja) telah mati, dan apa yang –akan– kau lakukan saat Nasrani itu telah mati, maka lakukanlah saat ini juga, dan angkatlah orang lain (sekretaris yang lain) untuk menggantikannya.””
Dari kisah di atas, setidaknya dapat kita pahami mengenai beberapa hal;
Pertama, Khalifah Umar sangat marah saat Abu Musa Al-Asy’ary –selaku Gubernur Basrah kala itu– mengangkat seorang sekretaris beragama Nasrani. Meskipun Abu Musa telah menyampaikan tabayyun dan memberikan alasan bahwa orang Nasrani tersebut adalah sosok yang handal dan piawai (bahkan urusan di Basrah takkan berjalan tanpa dia), namun Khalifah Umar tetap tidak menerima alasan tersebut dan tetap memberi perintah untuk segera mencopotnya lalu menggantinya dengan seorang sekretaris Muslim.
Kedua, saat menolak kebijakan Abu Musa Al-Asy’ary, Khalifah Umar memandang bahwa pengangkatan seorang sekretaris non-Muslim di negeri Muslim adalah sesuatu yang tidak logis. Karena logikanya, dalam sebuah masyarakat mayoritas Muslim, mustahil tidak ditemukan seorang Muslim yang lebih kredibel dibanding satu orang Nasrani yang disanjung-sanjung oleh Abu Musa tadi. Dan kalau saja memang tidak ada orang yang lebih mumpuni dibanding sekretaris Nasrani tadi, tentunya Khalifah Umar pasti takkan memerintahkan gubernurnya untuk mencopot sekretaris andalannya itu, sebab itu sama saja dengan perintah untuk melakukan hal yang mustahil, yang itu bertentangan dengan nalar dan syara’.
Ketiga, Khalifah Umar dalam penolakannya tersebut  ternyata tidak murni mengedepankan wewenang kekuasaannya saja, tapi juga dalam rangka menerapkan dua perintah Allah yang telah termaktub jelas dalam Al-Qur’an:
Pertama adalah surat Ali Imran ayat 118 yang selengkapnya berbunyi;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [QS: Ali Imran [3]: 118]
Kedua adalah surat Al-Maidah ayat 51 yang selengkapnya berbunyi;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali (mu); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS: Al Maidah (5):51 ].
Ini artinya, kedua ayat di atas dapat dijadikan landasan sebagai dalil akan “larangan mengangkat non-Muslim untuk menduduki jabatan vital di negeri mayoritas Muslim”  tentunya jabatan penting lainnya yang lebih tinggi dari sekedar sekretaris gubernur.*/Yusuf Al-Amien, penulis alumni PP Darussalam – Gontor
Sumber : hidayatullah.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...