Psikologi Dalam Kajian Islam

Kalau kita mau mengkaji tentang Psikologi Islam tentu sangat luas, saya hanya membatasi masalah pada Epistimologinya saja yang berkenaan dengan keilmuan Islam ditinjau dari persfektif sejarah dan Filsafat sebagai Induknya Ilmu Psikologi. Berbicara Psikologi tidak terlepas dari Induknya yaitu Filsafat sebagai ilmu tertua yang ada dibumi. Lahirnya Filsafat dijaman Plato sebenarnya adalah berbicara tentang konsef jiwa dan siapa yang membuat jiwa itu? Sebenarnya kalau mau dirunut dalam literatur sejarah Nabi Ibrahim dalam proses mencari Tuhan adalah bagian dari teka-teki itu, dari sini sebenarnya telah terjawab siapa Jiwa itu dan siapa Penciptanya?. Nabi Ibrahimlah yang telah menjawabnya.
Kalau kita kembali ke sejarah masa lalu ada tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur. Saya punya pengalaman tentang kematian, bagaimana rasanya ketika jasad dimandikan, dikafani dan dikubur. Berawal dari proses perenungan disitu saya berfikir apakah orang yang mati itu dapat merasakan dan melihat ketika jasad itu diperlalukan hingga di alam kubur?. Pertanyaan ini selalu terngiang-ngiang dibenak saya, sayapun tanpa sadar sudah masuk kedalam alam bawah sadar yang menghantarkanku ke sebuah mimpi yang panjang. Dalam mimpi itu saya menghembuskan nafas dalam waktu seketika saya dalam proses dimandikan,kemudian dikafani. Dan sampailah pada sebuah lobang persegi panjang yang sangat gelap. Jasad saya dapat merasakan dari orang-orang yang memegang, dan dari kejauhan Roh saya melihat kepada jasadnya yang tidak berdaya begitulah seterusnya hinggga proses penguburan saya tersentak dan bangun dari tidur dengan spontan saya berucap "Astaghfirulloh"

Kembali kepada pembahasan awal bahwa untuk pendekatan kedua bahwa Filsafat dimana para ilmuan mengatakan "Berbagai masalah jiwa dibahas menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai berkembang pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak mengherankan, sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang pertama kali melontarkan teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).

Hampir semua filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan wahyu ilahi (Lihat: kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan Avicenna’s Psychology, hlm 36-7).

Ketiga ialah pendekatan Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur. Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati’).

Tokoh penting lainnya ialah Imam al-Ghazali (w. 1111 M) yang menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan kita sangat memperhatikan kesehatan tubuh tetapi jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin. (Lihat juga: Amber Haque, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4 [2004], hlm 357-77).

Di abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi Islam dan “menjual mutiara-mutiara”nya brilian masih terkendala oleh beberapa hal. Selain sikap prejudice terhadap khazanah intelektual Islam di satu sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi Barat modern yang nota bene sekular-materialistik di sisi lain, penguasaan bahasa Arab merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi literatur psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Psikolog muslim tinggal memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, yang banyak menyesatkan.Atau belajar dari para ahli psikologi Islam? tinggal pilih. Wallahua'lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give comments and criticism are best for this blog the better

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...