Mengintip burung Manyar lagi bertelur tentu kalau dilihat secara sepintas memang tidak terlalu istimewa tapi cobalah perhatikan sebelum ia bertelur ia sangat sibuk membuat sarang. Ia menyusun patahan ranting, daun kering, dan berbagai serabut yang dikumpulkan dari berbagai tempat, dibantu pasangannya. Kemudian, jadilah sebuah rumah mungil yang siap dihuni, terutama untuk mengerami telurnya hingga menetas.
Ketika Alexander Graham Bell, yang dianggap sebagai penemu telepon, ditanya apakah mungkin suatu saat nanti manusia bisa bertelepon tanpa kabel? Ia mengatakan, “Tidak mungkin!”
Lihatlah bahan dan struktur rumah (sarang) burung itu. Dari tahun ke tahun, bahkan dari abad ke abad, bentuknya tetap sama. Bahannya sama dan struktur bangunannya juga sama. Ini karena dalam membangun rumah, seekor burung hanya mengandalkan instingnya, sehingga tak pernah ada perubahan dan perkembangan.
Mahluk Inovatif
Mari kita bandingkan dengan bangunan rumah manusia. Dalam satu kawasan saja, kita hampir tidak menjumpai rumah yang bentuknya sama. Bahkan, di suatu perumahan yang awalnya didesain sama, baik bahan, bentuk, maupun strukturnya, setelah dihuni, tak berapa lama akan banyak yang berubah. Paling tidak wajahnya, atau warna catnya.
Masing-masing orang ingin menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya. Inilah manusia, makhluk inovatif yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Manusia disebut inovatif (berbudaya) karena dalam dirinya terdapat daya cipta, daya rasa, dan daya karsa. Bermodal ketiga daya tersebut, manusia senantiasa berubah dan berkembang.
Ketika Alexander Graham Bell, yang dianggap sebagai penemu telepon, ditanya apakah mungkin suatu saat nanti manusia bisa bertelepon tanpa kabel? Ia mengatakan, “Tidak mungkin!”
Andaikata ia hidup kembali dan menyaksikan realitas manusia saat ini, pasti ia akan terkaget-kaget, heran bercampur haru. Manusia saat ini telah terbiasa berkomunikasi menggunakan handphone, telepon tanpa kabel yang dulu disangkalnya. Ia bakal tak menyangka penemuannya telah mengalami lompatan yang luar biasa.
Semua ini karena manusia dikaruniai kemampuan untuk berinovasi . Kemampuan inilah yang dulu belum diketahui oleh para malaikat ketika mereka menanyakan penciptaan manusia yang akan dijadikan Allah Ta’ala sebagai khalifah di muka bumi (lihat Al-Baqarah [2] ayat 30).
Semua ini karena manusia dikaruniai kemampuan untuk berinovasi . Kemampuan inilah yang dulu belum diketahui oleh para malaikat ketika mereka menanyakan penciptaan manusia yang akan dijadikan Allah Ta’ala sebagai khalifah di muka bumi (lihat Al-Baqarah [2] ayat 30).
Setelah menjalani serangkaian pembuktian, barulah para malaikat menyadari, dan akhirnya mengakuinya. Mereka sujud kepada Sang Manusia Pertama, Adam Alaihissalam (AS), kecuali Iblis. Allah Ta’ala berfirman,“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]: 31-32)
Kemampuan melakukan inovasi sebenarnya menjadi fitrah manusia. Kemampuan membuat definisi (menyebut al-asma`) dengan membedakan yang berbeda dan menyamakan yang sama, merupakan potensi dasar untuk melakukan inovasi.
Hal itu sudah dikaruniakan Allah Ta’ala kepada Nabi Adam AS dan semua anak keturunannya. Dari kemampuan dasar inilah lahir ilmu pengetahuan dan teknologi.
Itulah pula sebabnya mengapa perintah Allah Ta’ala yang pertama kali diberikan kepada manusia adalah iqra`atau bacalah. Perintah pertama ini terus berlaku sepanjang masa, sepanjang manusia masih bernyawa, kapan pun dan di mana pun juga.
Ketika semangat membaca menggelora dan menjadi budaya masyarakat Muslim di awal perkembangan Islam, maka lahirlah peradaban unggul yang tak tertandingi hingga masa kini.
Di pusat-pusat peradaban Islam berdiri perpustakaan yang lengkap dengan ratusan ribu koleksi buku. Berdiri pula universitas-universitas ternama dengan para cendikiawan dan penemu-penemu baru di bidang sains dan teknologi. Islam menjadi mercusuar di tengah dunia yang masih gelap gulita.
Tak Kenal Menyerah
Sayang, kebanyakan kita hanya bisa berbangga dengan masa lalu kita. Tampaknya kita masih menjadikan sejarah sebagai “kebanggaan”dan “kekaguman” semata, belum menjadikannya sumber inspirasi untuk melakukan hal yang sama atau lebih baik lagi.
Padahal, untuk berinovasi dibutuhkan kesabaran, keuletan, ketekunan, dan kecermatan. Di atas semua itu, seorang inovator harus berani mengambil risiko, baik risiko salah maupun risiko gagal. Orang yang dihantui perasaan takut salah dan takut gagal, tidak mungkin akan berhasil menjadi penemu.
Para pemimpin yang sukses adalah mereka yang berani mengambil inisiatif sekalipun berisiko. Dalam perhitungan mereka, mengambil inisiatif atau tidak mengambil tindakan apa-apa, sama-sama berisiko.
Bedanya, jika kita mengambil inisiatif, kemungkinan berhasilnya terbuka lebar sekalipun kemungkinan gagalnya tetap ada. Tapi jika kita tidak mengambil inisiatif, sekalipun terasa lebih nyaman, risikonya tidak hilang, sementara kemungkinan berhasilnya telah tertutup.
Bedanya, jika kita mengambil inisiatif, kemungkinan berhasilnya terbuka lebar sekalipun kemungkinan gagalnya tetap ada. Tapi jika kita tidak mengambil inisiatif, sekalipun terasa lebih nyaman, risikonya tidak hilang, sementara kemungkinan berhasilnya telah tertutup.
Bagi sang inovator, penderitaan dan kesulitan bukan halangan. Ia yakin bahwa di balik kesulitan dan penderitaan itu terdapat berbagai kemudahan. Tersedia seribu satu alasan untuk mundur atau tidak melangkah, tapi orang yang telah tertanam dalam dirinya semangat berinovasi, selalu mempunyai seribu alasan untuk tetap maju. Allah Ta’ala berfirman,”Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Al-Insyirah [94]: 5-6)
Di depan kita terdapat banyak sekali tantangan. Lihatlah betapa banyak umat yang miskin dan bodoh. Mereka sangat memerlukan solusi atas berbagai masalah yang membelit mereka. Lalu, adakah usaha kita untuk mencari pemecahannya?
Dunia merindukan datangnya inovator baru dari kalangan Muslim. Mungkin, sang inovator itu adalah Anda!
Amati, Tiru, dan Modifikasi
Mendengar bahwa kaum kafir telah bersatu untuk menyerang kota Madinah, Rasulullh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) segera bermusyawarah. Beliau mengajak para Sahabat untuk membicarakan cara menghadapi mereka.
Berbagai masukan didengar oleh beliau secara seksama, sampai beliau mendengar usulan dari Salman yang terdengar aneh. Salman mengusulkan membuat parit di sekeliling kota Madinah guna menghindari serangan musuh yang kekuatannya berlipat ganda.
Ternyata Rasulullah SAW menyetujui gagasan aneh yang diusulkan Salman tersebut. Keputusan itu pun segera dieksekusi. Kaum Muslim bahu-membahu membuat parit besar dan sangat panjang di tengah terik matahari yang menyengat.
Rasulullah SAW sendiri tidak berpangku tangan. Beliau turut menggali dan mengangkat batu, pasir, dan tanah dengan tangannya sendiri bersama para Sahabat. Proyek raksasa ini rampung sebelum kaum kafir datang.
Inilah strategi bertahan yang betul-betul baru yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab. Strategi ini ternyata benar-benar ampuh. Pasukan kafir tidak ada yang berani menyeberangi parit buatan tersebut, kecuali beberapa orang dan tewas setelah mendapat perlawanan dari kaum Muslim.
Inilah strategi bertahan yang betul-betul baru yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab. Strategi ini ternyata benar-benar ampuh. Pasukan kafir tidak ada yang berani menyeberangi parit buatan tersebut, kecuali beberapa orang dan tewas setelah mendapat perlawanan dari kaum Muslim.
Itulah sekadar contoh bagaimana Rasulullah SAW sangat menghargai inovasi. Sekalipun awalnya terdengar aneh, tapi beliau menerima gagasan Salman setelah dikaji secara cermat dan teliti.
Salman sendiri sebetulnya tidak benar-benar membawa ide orisinil. Strategi pertahanan parit itu sudah dikenal di wilayah Parsi (Iran, sekarang). Namun, ia memodifikasi.
Inovasi memang tidak harus benar-benar orisinil. Kemajuan peradaban Islam di masa kejayaaannya justru didapat dengan cara menerjemahkan karya-karya tulis bangsa Romawi yang telah terpendam sekian lama, baik di bidang filsafat, ilmu, sain dan tehnologi.
Tentu saja umat Islam pada saat itu tidak melakukan praktik penjiplakan (plagiasi). Yang dilakukan adalah mengamati, meniru, dan memodifikasi.
Sekarang, bagaimana dengan Anda? Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better