Mengintip Perkampungan Teroris diGn. Tembak' Tudingan CIA (Bagian I)

Sebelum saya cerita lebih jauh kita perlu tau dulu siapa Sidney Jones ia adalah seorang yang banyak mengopinikan bahwa Islam adalah Teroris adalah beliau. Bahkan orang ini sangat getol mempropagandakan bahwa semua simbol-simbol Islam adalah simbol Teroris? Siapakah Sidney Jones ini? Berikut ini hasil investigasi tentang Sidney Jones.

Sidney Jones, direktur ICG (International Crisis Group) untuk Indonesia.

Sejak tahun 1980-an, ketika merebak kasus subversi yang diidentikkan dengan gerakan Islam radikal, dan ketika banyak aktivis Islam ditahan dan mendapat perlakuan tidak wajar dari pemerintah Orde Baru, Sidney Jones dengan bendera Amnesti Internasional tampil sebagai pembela yang simpatik dan manusiawi. Ia banyak mendokumentasikan berbagai proses pengadilan, dokumen persidangan, dan berbagai data lainnya.
Semuanya itu, ternyata menjadi barang berharga pasca-tragedi WTC 911, suatu hal yang barangkali tidak diduga, bahkan oleh Sidney Jones sendiri. Secara teknis upaya pengumpulan data yang dilakukan Sidney Jones dan kemudian dipublikasikan dalam bentuk laporan berkala, tidak perlu dibantah. Ia lumayan berpengalaman di bidang itu. Namun, hal yang juga tidak bisa dibantah adalah adanya kepentingan intelijen yang menyertai gerak langkahnya, terutama di masa propaganda anti-terorisme digencarkan AS. Baik itu intelijen asing seperti CIA, yang tentu saja bekerja sama dengan lembaga intelijen maupun LSM lokal di Indonesia.

Setiap laporan yang dipublikasikan, dilengkapi dengan catatan kaki, maraji’ (merujuk) yang jelas dan terang sumber-sumbernya, baik dari media massa, buku-buku, wawancara, termasuk juga dari dokumen (informasi) intelijen. Bagi mereka yang berada di “lapangan” ketika membaca laporan yang diterbitkan ICG, meski perlu sedikit waktu, namun tetap bisa dirasakan bagian-bagian mana yang berasal dari dokumen (informasi) intelijen, mana informasi yang jelas faktanya dan mana yang hanya fiktif belaka. Laporan ICG tentang terorisme, sebenarnya kebanyakan berasal dari dokumen (informasi) intelijen lokal.

Saya pada waktu itu tahun 2002 berada ditoko buku Newsstand Bintaro menjaga stand milik Bapak H.Subhan, rupanya tidak disangka SIDNEY JONES masuk ketoko dan yang beliau cari majalah TIMES dari situlah saya penasaran ada apa dgn majalah TIMES tersebut? intinya disitu isunya seputar teroris dimana digambarkan masalah pergerakan teroris di Indonesia sejalan juga apa yang telah diberitakan diRepubliak isinya seperti ini silahkan dibaca "Kalau cara kami menjalankan syariat Islam, seperti sholat lima waktu dan shalat malam, itu yang dimaksudkan kegiatan teroris, apa boleh buat, kami memang teroris,'' kata ustad Syamsul Rijal Palu, direktur kampus Hidayatullah Hidayatullah.com--Ada satu lingkaran kecil yang menadai sebuah daerah di Kalimantan pada sebuah artikel yang dimuat majalah Times edisi 17 September 2002. Artikel tersebut berjudul confession of An Al-qaeda terrorist, disertai foto Umar Al Faruq di samping judul.


Lingkaran tersebut adalah tanda di mana Umar Al-Faruq, lelaki yang dituduh teroris oleh agen intelijen Amerika Serikat, CIA, pernah mengemban misi. Paling tidak, ia pernah tinggal di daerah itu. Indikasinya, selain di Kalimantan, lingkaran serupa juga ada di Bogor dan Ambon.

IDNEPosisi lingkaran tersebut persis di daerah Balikpapan, Kalmantan Timur. Tentu, semua bisa menebak, telunjuk CIA telah mengarah ke Pesantren Hidayatullah yang terletak di Kelurahan Tritip Gunung Tembak. 

Memang, majalah Times tidak menyebut secara langsung nama pesantren ini. Mereka hanya mengatakan bahwa CIA, berdasarkan hasil investigasinya, menemukan tiga pejuang militan Islam di pulau Kalimantan, termasuk Al-Faruq, yang mendirikan camp teroris dan menggelar latihan perang. 

Namun, menurut dokumen CIA yang telah beredar luas di media massa Indonesia, selain tiga pejuang militan tersebut, sebelumnya ada empat anggota Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) yang melakukan hal serupa di Pesantren Hidayatullah. Mreka adalah Yasin, Umar Al Faruq, Nasir, dan Aris Munandar. Benarkah tuduhan tersebut? Apakah CIA kali ini kembali membual seperti halnya saat mereka menganalisis pelaku peledakan WTC?

Malam itu, Kamis (7/11), pukul 02.00, ketika malam masih sangat dingin dan gelap di Pondok Pesantren Hidayatullah, suara aba-aba tiba-tiba terdengar di kejauhan. Suara itu kian lama kian nyaring, meskipun tak terlalu jelas apa isinya. Membelah malam, membangunkan semua penghuni kampus (begitulah lokasi pesantren ini biasa disebut).

Beberapa laki-laki setengah baya terbangun, lalu bergegas mengenakan baju gamis, membasuh beberapa bagian dari tubuh mereka, dan pergi menuju sumber suara dengan mata masih menahan kantuk. Makin lama jumlah laki-laki yang berkumpul tersebut semakin banyak. Sesaat kemudian mereka membuat barisan memanjang, tertib, tanpa bersuara, menunggu aba-aba sang pemimpin.

''Allahu akbar,'' kata sang pemimpin seraya mengangkat tanggannya.

''Allahu akbar'' sahut para lelaki, juga mengangkat kedua tangan mereka. Dan, shalat malam pun dimulai. Tak terdengar suara senjata dikokang seperti halnya latihan perang. Tidak juga suara derap sepatu laras. Yang terdengar kemudian adalah alunan ayat suci Alquran dikumandangkan.

''Kalau cara kami menjalankan syariat Islam, seperti sholat lima waktu dan shalat malam, itu yang dimaksudkan kegiatan teroris, apa boleh buat, kami memang teroris,'' kata ustad Syamsul Rijal Palu, direktur kampus Hidayatullah Balikpapan. Bahkan, bukan cuma kami teroris di Indonesia ini, semua pesantren juga teroris. Karena apa yang kami ajarkan tak akan banyak berbeda dengan apa yang mereka ajarkan.

Syamsul memastikan tak ada sama sekali latihan perang di kampusnya. Aktivitas sehari-hari para santri hanyalah belajar agama dan pengatahuan umum, serta berdakwah, di samping kerja bakti dan olahraga. Para santri dididik mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Jumlah mahasiswa putra ada 30 orang, sedang mahasiswa putri ada 45 orang.

Memang, kata Syamsul lagi, mereka juga mengajarkan ilmu bela diri kepada para santri. Bahkan, setelah berbagai musibah yang menimpa ummat Islam di Indonesia merebak, seperti di Poso Sulawesi Tengah, latihan bela diri ini seolah-olah menjadi wajib. Terlebih setelah musibah yang menimpa santri Pondok Pesantren Walisongo di Situwulembah, km 9 Kabupaten Poso, di mana sekitar 300 santri dan warganya dibantai oleh Pasukan kelelawar Hitam. Ini memperkuat tekad para santri untuk menjaga keamanan pesantrennya sendiri.

Perlu diketahui, kata Syamsul, pesantren Hidayatullah memiliki 150 jaringan di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, lima cabang ikut menjadi korban saat konflik di berbagai daerah terjadi (1997-2000). Kelima cabang itu berlokasi di Sanggau Ledo (Kalimantan Barat), Wamena (Papua), Masohi (Maluku), Merauke (Papua), dan Poso (Sulawesi Tengah). Bangunan pesantren dirusak. Bahkan ada yang sampai rata dengan tanah.

Latihan bela diri yang diajarkan sebetulnya tidak dimaksudkan untuk berperang, tetapi hanya bertahan. Malah, para santri menganggapnya sebagai olahraga. Ini diakui oleh, Salim (18) salah seorang santri asal Nganjuk. ''Beladiri yangkami pelajari kebanyakan fungsinya untuk olahraga. Kami malah pernah ikut kejurda dan berhasil memperoleh juara III Inkado,'' katanya.

Perihal empat orang anggota MMI yang disebut-sebut CIA pernah melatih perang di pesantren Hidayatullah, Syamsul mengatakan itu tidak benar. Tak ada santri atau keluarga penghuni kampus yang kenal dengan Umar Al-Faruq. ''Jangankan kenal, bertemu saja kami belum pernah. Saya melihatnya cuma difoto,'' kata Syamsul. 

''Tapi, jika dia pernah datang ke sini sebagai tamu, kita tidak akan mencegahnya. Karena sesama muslim itu adalah saudara. Siapa pun boleh bersilaturahmi ke pesantren ini, termasuk Usamah bin Ladin,'' jelasnya lagi.

Diakui Syamsul, dari empat orang tersebut, salah seorang memang pernah datang ke pesantren mereka. Dia adalah Aris Munandar. Kedatangannya saat itu adalah atas nama Komite Penanggulangan Krisis (Kompak). 

Kegiatannya cuma berceramah, salah satunya mengisi khutbah Jumat, bukan melatih perang. ''Kalau berceramah itu dikatakan aktivitas teroris, Adi Sasono juga pernah berceramah Jumat di sini,'' kata Syamsul. Dan, andai orang yang berkunjung ke sini harus dicurigai, maka Wakil Presiden Hamzah Haz, mantan presiden Habibie, semua perwira militer yang menjabat Pangdam VI/Tanjungpura, dan Kapolda Kaltim juga harus dicurigai. Karena mereka juga pernah berkunjung ke sini.

Menuju kampus Hidayatullah sebetulnya tak sulit. Jangan bayangkan kampus ini berada di tengah hutan, atau di tempat-tempat terpencil yang jauh dari keramaian. Pesantren ini malah berdiri di tengah-tengah masyarakat, di pinggir salah satu jalan utama yang menghubungkan Balikpapan dan Samarinda. Bahkan, tak jauh dari situ ada pangkalan Yonif 600 Lintas Udara, pasukan cadangan pemukul dari Kodam VI/Tanjungpura, dan agak ke selatan lagi berdiri basis Lanuma Kopasgat TNI AU.

Bila ingin berkunjung ke pesantren tersebut, Anda cukup naik angkutan kota 07 dari bandara dengan tarif Rp 2 ribu. Atau, bila Anda memiliki kendaraan pribadi, Anda cukup berbelok ke arah selatan dan berhenti setelah kira-kira 33 km. Di sebelah kanan jalan, Anda akan menemukan gerbang pesantren. 

Bangunan pertama yang akan Anda temui setelah masuk ke kawasan pesantren adalah mesjid besar. Di mesjid inilah para santri dan masyarakat sekitar menunaikan shalat berjamaah. Lalu, Anda akan menemui pagar kayu setinggi 1.5 meter, memanjang ke belakang dan melingkar, agak tertutup dari luar. Jangan mengira ini tempat rahasia, melainkan lokasi asrama putri yang tak boleh dimasuki oleh kaum pria.

Ke dalam lagi, ada lapangan bola kaki dan asrama putra. Kemudian perumahan-perumahan para ustad dan santri yang sudah berkeluarga. Rumah-rumah kayu ini sangat sederhana dan nyaris seragam. ''Di kampus ini, pengabdian pada agama adalah yang utama. Jadi jangan heran kalau rumah-rumah di sini sederhana. Bahkan rumah pimpinan dengan para ustad yang lain tak berbeda,'' kata Abdurrahman Muhammad, pimpinan umum Pondok Pesantren Hidayatullah.

Di tengah-tengah kampus ada danau buatan sebagai resapai air bagi kawasan Desa Gunung Tembak. Lalu di belakangnya lagi ada ladang tempat para santri bercocok tanam.

Luas total pesantren ini ada 120 hektar. Dihuni oleh sekitar 1200-an orang. Kebanyakan penduduk pesantren berasal dari Bugis dan Jawa, selebihnya dari Banjar. 

Hubungan pesantren dengan masyarakat Desa Gunung Tambak berjalan baik. Menurut Kepala Kelurahan Tritip, Rusdi Effendi, santri di pesantren Hidayatullah banyak mengajarkan akhlak kepada masyarakat. ''Tidak ada indikasi kalau di sana ada kegiatan teroris. Mereka malah menyebarkan hal-hal positif. Mereka adalah salah satu kebanggaan kami,'' ungkapnya. 

Beberapa pejabat pemerintah daerah secara rutin mengunjungi pesantren. Mereka juga menjadi donatur tetap kegiatan para santri. Malah, Pangdam VI/Tanjungpura mempercayakan pengelolaan baitul mal kepada para santri ini. Mereka diberi ruang khusus di markas kodam. Hasilnya untuk menambah dana kegiatan kampus.

Petugas kepolisian setempat malah tak tahu menahu kalau ada tudingan latihan perang di pesantren Hidayatullah. ''Saya tak pernah mendengar itu dan saya kira tudingan itu mengada-ada. Saya tahu persis tidak ada lokasi di pesantren itu yang cocok dijadikan latihan perang,'' kata petugas itu. 

Itulah gambaran pesantren yang dituding CIA sebagai tempat latihan perang para mujahid. Tudingan tersebut, kata Abdurrahman Muhammad, pimpinan umum pondok pesantren, sedikit banyak telah memberi dampak negatif bagi para santri. ''Banyak santri kita di daerah-daerah lain yang dijauhi karena masyarakat takut terlibat teroris,'' katanya. Mereka menjadi korban tudingan yang tak berdasar.

 Sumber: Republika, Minggu, 10 Nopember 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give comments and criticism are best for this blog the better

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...