Sahabat pembaca yang selalu
dirahmati oleh Allah SWT. Kita semua pasti mafhum bahwa sholat adalah merupakan perkara yang sangat penting. Bahkan shalat
termasuk salah satu rukun Islam yang utama setelah syahadat. Namun, realita
yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling
kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan
rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya
melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang
hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih
parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam
setahun dua kali yaitu ketika hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan sholat lebih besar dosanya daripada perbuatan
maksiyat lainnya
Ibnu Qayyim Al
Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa
meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling
besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain,
berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan
akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz
Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak
ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat
hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa
dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah-
juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya
termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan
-yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri.
Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena
itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar
sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk
orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (AlKaba’ir, hal. 26-27)
Apakah orang yang
meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?
Dalam point sebelumnya
telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa
besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih
pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah
orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah-
mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang
kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun
apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu
itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka
dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu
wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat harus dibunuh
karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr,
Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah,
‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah,
pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar
bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal,
‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua
mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had,
namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah
satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah
berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat.
Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,22/186-187)
Jadi, intinya ada
perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama
madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah?
Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Hukum perintah sholat
dalam Al Qur’an dan hadist
Kewajiban atau perintah untuk mendirikan sholat
sebagaimana dalam firman Allah SWT
Allah Ta’ala berfirman,
.. وَ اَقِمِ الصّلوةَ
لِذِكْرِيْ. طه:14
…. dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. [QS. Thaahaa :
14]
فَاَقِيْمُوا
الصَّلوةَ، اِنَّ الصَّلوةَ كَانَتْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا.
النساء: 103
Maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu
adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
[QS. An-Nisaa' : 103]
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS.
Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di
Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash
Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah
menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang
menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan
berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa.
Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat
orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya
juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا
مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“kecuali orang yang bertaubat,
beriman dan beramal saleh.” Maka
seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai
taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain,
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ
تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.” (QS.
At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman
dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah
saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin
karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Pembahasan mengenai
orang yang meninggalkan sholat dalam Hadits
Pembahasan didalam
hadist banyak sekali, saya hanya menampilkan beberapa saja yang sangat
berkaitan dengan tema ini.
Dari Jabir bin
‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara
seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.”(HR. Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu
‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ
العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ
أَشْرَكَ
“Pemisah Antara
seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih.
Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib
wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari
Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ
الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala
perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah sholat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi).
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa sholat dalam agama Islam ini adalah seperti
penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk)
dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan
hilangnya shalat.
Para sahabat ber-ijma’
(bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
Umar mengatakan,
لاَ
إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut
muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain,
Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian
dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik.
Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya,
juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan
perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat
pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah
kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi
menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir
sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau
mengatakan,
كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ
تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah
menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali
shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq
Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung
dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini
adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah walKitab, hal. 52)
Dari pembahasan
terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan
ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang
terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah
dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat.
Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah,
hal. 56)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ:
شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ
اِقَامِ الصَّلاَةِ، وَ اِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَ حَجّ اْلبَيْتِ وَ صَوْمِ
رَمَضَانَ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 333
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Islam itu terdiri atas lima rukun. Mengakui bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammat itu adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadlan. [HR.
Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 333]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ اْلكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
الجماعة الا البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 340
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “(Yang
membedakan) antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.
[HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 340]
عَنْ بُرَيْدَةَ رض
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اَلْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَ
بَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ. فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. الخمسة، فى نيل الاوطار
1: 343
Dari Buraidah RA, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah kufur”. [HR.
Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ
عُبَيْدِ اللهِ اَنَّ اَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص ثَائِرَ
الرَّأْسِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ
مِنَ الصَّلاَةِ ! قَالَ: الصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ، اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.
قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصّيَامِ ! قَالَ: شَهْرُ
رَمَضَانَ اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ
عَلَيَّ مِنَ الزَّكَاةِ ! قَالَ: فَاَخْبَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص بِشَرَائِعِ
اْلاِسْلاَمِ كُلّهَا. فَقَالَ: وَ الَّذِى اَكْرَمَكَ، لاَ اَطَّوَّعُ شَيْئًا وَ
لاَ اَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.
اَفْلَحَ اِنْ صَدَقَ اَوْ دَخَلَ اْلجَنَّةَ اِنْ صَدَقَ. احمد و البخارى و مسلم،
فى نيل الاوطار 1: 335
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, bahwa seorang Arab gunung
datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan rambutnya kusut, lalu ia bertanya,
“Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari
shalat ?”. Beliau bersabda, “Shalat-shalat yang lima, kecuali kamu mau
melakukan yang sunnah”. Ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah
wajibkan kepadaku dari puasa ?”. Beliau SAW bersabda, “Puasalah bulan
Ramadlan, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia bertanya lagi,
“Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari zakat ?’.
Thalhah berkata : Lalu Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya tentang
syariat-syariat Islam seluruhnya. Lalu orang Arab gunung itu berkata, “Demi
Allah yang telah memuliakan engkau, saya tidak akan menambah sesuatu dan tidak
akan mengurangi sedikitpun dari apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah kepada
saya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pasti ia akan bahagia, jika benar. Atau
pasti ia akan masuk surga jika benar (ucapannya)”. [HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 335]
عَنْ اَنَسِ بْنَ
مَالِكٍ رض قَالَ: فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيّ ص الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ اُسْرِيَ
بِهِ خَمْسِيْنَ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا. ثُمَّ نُوْدِيَ: يَا
مُحَمَّدُ اِنَّهُ لاَ يُبَدَّلُ اْلقَوْلُ لَدَيَّ وَ اِنَّ لَكَ بِهذِهِ
اْلخَمْسِ خَمْسِيْنَ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه، فى نيل الاوطار 1: 334
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Diwajibkan shalat itu
pada Nabi SAW pada malam Isra’, lima puluh kali. Kemudian dikurangi sehingga
menjadi lima kali, kemudian Nabi dipanggil, “Ya Muhammad, sesungguhnya tidak
diganti (diubah) ketetapan itu di sisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali itu sama
dengan lima puluh kali”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi
menshahihkannya, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 334]
عَنِ الشَّعْبِيّ اَنَّ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قَدْ فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ
بِمَكَّةَ. فَلَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمَدِيْنَةَ زَادَ مَعَ كُلّ
رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، اِلاَّ اْلمَغْرِبَ فَاِنَّها وِتْرُ النَّهَارِ وَ
صَلاَةُ اْلفَجْرِ لِطُوْلِ قِرَاءَتِهِمَا. قَالَ: وَ كَانَ اِذَا سَافَرَ صَلَّى
الصَّلاَةَ اْلاُوْلَى. احمد
Dari ‘Asy-Sya’bi bahwa ‘Aisyah RA pernah berkata : Sungguh
telah difardlukan shalat itu dua rekaat dua rekaat ketika di Makkah. Maka
tatkala Rasulullah SAW tiba di Madinah (Allah) menambah pada masing-masing dua
rekaat itu dengan dua rekaat (lagi), kecuali shalat Maghrib, karena sesungguhnya
shalat Maghrib itu witirnya siang, dan pada shalat Fajar (Shubuh), karena
panjangnya bacaannya”. Asy-Sya’bi berkata, “Dan adalah Rasulullah SAW apabila
bepergian (safar), beliau shalat sebagaimana pada awalnya (dua rekaat)”. [HR.
Ahmad 6 : 241]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا
فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا وَ بُرْهَانًا وَ نَجَاةً
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. وَ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نُوْرًا
وَ لاَ بُرْهَانًا وَ لاَ نَجَاةً. وَ كَانَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ
وَ فِرْعَوْنَ وَ هَامَانَ وَ اُبَيّ بْنِ خَلَفٍ. احمد، فى نيل الاوطار 1: 343
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, dari Nabi SAW bahwa
beliau pada suatu hari menerangkan tentang shalat, lalu beliau bersabda,
“Barangsiapa memeliharanya, maka shalat itu baginya sebagai cahaya, bukti dan
penyelamat pada hari qiyamat. Dan barangsiapa tidak memeliharanya, maka shalat
itu baginya tidak merupakan cahaya, tidak sebagai bukti, dan tidak (pula)
sebagai penyelamat. Dan adalah dia pada hari qiyamat bersama-sama Qarun,
Fir’aun, Haaman, dan Ubay bin Khalaf”. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 1,
hal. 343]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِنَّ اَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ
اْلعَبْدُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الصَّلاَةُ اْلمَكْتُوْبَةُ فَاِنْ اَتَمَّهَا وَ
اِلاَّ قِيْلَ. اُنْظُرُوْا، هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَاِنْ كَانَ لَهُ
تَطَوُّعٌ اُكْمِلَتِ اْلفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ
اْلاَعْمَالِ اْلمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذلِكَ. الخمسة، فى نيل الاوطار 1: 345
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya pertama-tama perbuatan manusia yang dihisab
pada hari qiyamat, adalah shalat wajib. Maka apabila ia telah menyempurnakannya
(maka selesailah persoalannya). Tetapi apabila tidak sempurna shalatnya,
dikatakan (kepada malaikat), “Lihatlah dulu, apakah ia pernah mengerjakan
shalat sunnah ! Jika ia mengerjakan shalat sunnah, maka kekurangan dalam shalat
wajib disempurnakan dengan shalat sunnahnya”. Kemudian semua amal-amal yang
wajib diperlakukan seperti itu”. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal.
345]
عَنِ بْنِ مُحَيْرِيْزٍ
اَنَّ رَجُلاً مِنْ بَنِى كِنَانَةَ يُدْعَى اْلمُخْدَجِيَّ سَمِعَ رَجُلاً
بِالشَّامِ يُدْعَى اَبَا مُحَمَّدٍ يَقُوْلُ: اِنَّ اْلوِتْرَ وَاجِبٌ. قَالَ
اْلمُخْدَجِيُّ: فَرُحْتُ اِلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَاَخْبَرْتُهُ
فَقَالَ عُبَادَةُ: كَذَبَ اَبُوْ مُحَمَّدٍ. سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى اْلعِبَادِ. مَنْ اَتَى بِهِنَّ لَمْ
يُضَيّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ
عَهْدًا اَنْ يُدْخِلَهُ اْلجَنَّةَ. وَ مَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ
عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ. اِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَ اِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ. احمد و ابو
داود و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 344
Dari Ibnu Muhairiz, bahwa seorang laki-laki dari Bani
Kinanah yang bernama Al-Mukhdajiy pernah mendengar seorang laki-laki di Syam
yang bernama Abu Muhammad, ia berkata : Sesungguhnya shalat witir itu wajib.
Mukhdajiy berkata : Lalu aku pergi kepada ‘Ubadah bin Shamit untuk
memberitahukan kepadanya. Maka ‘Ubadah berkata, “Abu Muhammad dusta, sebab aku
pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Shalat yang diwajibkan Allah atas
hamba-hamba-Nya itu adalah lima. Barangsiapa mengerjakannya tanpa
menyia-nyiakan sedikitpun daripadanya karena hendak memperingan kewajibannya,
maka dia dapat jaminan dari Allah, (yaitu) bahwa Allah akan memasukkannya ke
dalam surga. Dan barangsiapa tidak melakukannya, maka tidak mendapat jaminan
dari Allah, (yiatu) bila Allah menghendaki, maka Dia akan menyiksanya, dan bila
Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai,
dalam Nailul Authar juz 1, hal. 344]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا
اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوا
الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ. فَاِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنّى
دِمَاءَهُمْ وَ اَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقّ اْلاِسْلاَمِ. وَ حِسَابُهُمْ عَلَى
اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 336
Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku diperintah
untuk memerangi orang-orang, sehingga mereka mengakui tidak ada Tuhan selain
Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat. Kemudian apabila mereka telah melaksanakan yang tersebut itu,
mereka mendapat perlindungan dariku, tentang darah mereka dan harta mereka,
kecuali yang dibenarkan Islam. Sedang perhitungan mereka, adalah di tangan
Allah ‘Azza wa Jalla”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz
1, hal. 336]
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ
اْلخُدْرِيّ قَالَ: بَعَثَ عَلِيٌّ وَ هُوَ بِاْليَمَنِ اِلَى النَّبِيّ ص بِذُهَيْبَةٍ
فَقَسَّمَهَا بَيْنَ اَرْبَعَةٍ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِتَّقِ
اللهَ. فَقَالَ: وَيْلَكَ اَوَلَسْتُ اَحَقَّ اَهْلِ اْلاَرْضِ اَنْ يَتَّقِيَ
اللهَ! ثُمَّ وَلَّى الرَّجُلُ. فَقَالَ خَالِدُ بْنُ اْلوَلِيْدِ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، اَلاَ اَضْرِبُ عُنُقَهُ؟ فَقَالَ: لاَ، لَعَلَّهُ اَنْ يَكُوْنَ يُصَلّى.
فَقَالَ خَالِدٌ: وَ كَمْ مِنْ مُصَلّ يَقُوْلُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ فِى
قَلْبِهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنّى لَمْ اُوْمَرْ اَنْ اُنَقّبَ عَنْ
قُلُوْبِ النَّاسِ وَ لاَ اَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ. مختصر من حديث احمد و البخارى و
مسلم، فى نيل الاوطار 1: 338
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata : Ali yang waktu itu
berada di Yaman, pernah mengirim sekeping emas pada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW
membagikannya kepada empat orang. Kemudian ada seorang laki-laki berkata, “Ya
Rasulullah, takutlah kepada Allah (karena menganggap Nabi SAW tidak adil dalam
pembagian itu). Lalu Nabi SAW menjawab, “Celaka kamu, bukankah aku orang yang
paling baik diantara penduduk bumi ini yang bertaqwa kepada Allah ?”. Kemudian
laki-laki itu berpaling. Lalu Khalid bin Walid bertanya, “Ya Rasulullah,
bolehkah aku penggal lehernya ?”. Nabi SAW menjawab, “Jangan, barangkali dia
melakukan shalat”. Khalid berkata, “Berapa banyak orang yang shalat yang hanya
menyatakan dengan lisannya saja, tetapi tidak demikian di dalam hatinya”. Lalu
Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk
menyelidiki hati-hati manusia, dan tidak pula untuk membelah perut-perut
mereka”. [Diringkas dari suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan
Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 338]
Menyuruh anak kecil untuk shalat
عَنْ عَمْرِو بْنِ
شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. مُرُوْا
صِبْيَانَكُم بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ
سِنِيْنَ وَ فَرّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى اْلمَضَاجِعِ. احمد و ابو داود، فى نيل
الاوطار 1: 348
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anak kecilmu melakukan
shalat pada (usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya
pada (usia) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidur”.
[HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 348]
Berbagai kasus orang
yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat
dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, “Sholat
oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak
shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari
hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan
di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan
shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan
ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini
berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum
muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan
kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada
dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah
bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan
yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat
dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang
hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan
mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan
mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang
meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak
sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah
warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik
tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang
tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat
orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil
(bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya
yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang
mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam
melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam
ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela
sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”(QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al
Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Kesimpulan terakhir
bahwa sholat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar bagi umat islam,
artinya tidak ada alasan bahkan orang sakitpun tidak ada uzur untuk meninggalkannya
hanya saja mendapatkan keringanan.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu
‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian
adalah sholat. Barangsiapa menjaga sholat, berarti dia telah menjaga agama.
Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka dengan sendirinya amalan lainnya akan
tertolak. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Imam Ahmad –rahimahullah-
juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara
shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam
sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang
dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan
shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash
Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu,
seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu
wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman
bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan
inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim
mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyadAl Hasan
mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun
iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal
perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang
lumayan panjang ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Dan pada akhirnya kita dapat
mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahayanya meninggalkan
sholat lima waktu.Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.Wallahu
a’lam bissawab.Masukkan dan kritikannya sangat kami harapkan demi perbaikan
kami kedepannya.
Sumber : muslim.or.id, Islamic Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better