Kehidupan Itu Pendek Jangan di buat Pendek Lagi


Sebagian orang memiliki kemampuan luar biasa untuk mengotori pikirannya, mendatangkan kesedihan dan gundah gulana bagi dirinya sendiri. Dia memiliki seni berhayal yang demikian brilian untuk menghancurkan otaknya. Kapan kehidupan akan menjadi jernih baginya, jika dia selalu mengenang masa lalu dengan segala kepahitannya dan selalu menghayal masa depan semua peristiwanya? Atau jika
dia selalu merasa tersakiti dengan kalimat-kalimat kasar yang didengarnya dari para pendengki?
Atau jika dia selalu dengki pada orang yang mengingkari haknya?, atau selalu sedih dengan yang hilang dari tanganya? Dia selalu takut sebab dia mengira bahwa sebuah penyakit tertentu akan menimpanya. Bahkan dia kumpulkan daftar musibah musibah dan kegundahan.
Dan siapa yang menginginkan kebahagian dan ketenangan dalam hidupnya, maka janganlah engkau perpendek hidupmu sendiri. Sebab pada dasarnya kehidupan memang pendek. Hiduplah dalam batasan umurmu. Janganlah kita menangisi apa yang telah lewat. Biarkan masa depan itu hingga dia datang sendiri. Jangan kita hiraukan apa yang dikatakan oleh para pendengki. Bertakwalah kepada Allah, cukuplah Allah bagi kita. Cukuplah kesedihan, kegundahaan dan kegalauan.
Sumber :
Judul Buku Berbahagialah  : Dr.Aidh Abdullah Al-Qarni

Percakapan Bahasa Arab



PERKENALAN (1)
: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
خَالِد
: وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ
خَلِيْل
: اِسْمِيْ خَالِد، مَا اسْمُكَ ؟
خَالِد
Namaku Khalid, siapa namamu?

: اِسْمِيْ خَلِيْل
خَلِيْل
: كَيْفَ حَالُكَ ؟
خَالِد
Bagaimana keadaanmu (apa kabar)?

: بِخَيْرٍ، وَالْحَمْدُ للهِ. وَكَيْفَ حَالُكَ أَنْتَ ؟
خَلِيْل
Baik, alhamdulillah. Kalau kamu bagaimana?

: بِخَيْرٍ، وَالْحَمْدُ للهِ
خَالِد

اَلْمِهْنَة
PROFESI (1)
: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
أَحْمَد
: وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ
بَدْرٌ
: هَذَا أَخِيْ، هُوَ مُدَرِّسٌ
أَحْمَد
Ini saudaraku, dia seorang guru

: أَهْلاً وَسَهْلاً
بَدْرٌ
: هَذَا صَدِيْقِيْ، هُوَ مُهَنْدِسٌ
أَحْمَد
Ini temanku, dia seorang insinyur

: أَهْلاً وَسَهْلاً
بَدْرٌ
: مَعَ السَّلاَمَة
أَحْمَد
Selamat jalan

: مَعَ السَّلاَمَة
بَدْرٌ

Merindukan Seorang Pemimpin Seperti Umar

Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasehat. Salah satu ulama tersebut, Hasan Al Bashri, menasehatinya seperti ini : Anggaplah rakyat seperti ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau menyayangi anakmu" Nasehat ini diingat dan dijalankan dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul khalifah yang kita kenal dengan kezuhudannya, yang terkenal dengan kehati-hatiannya dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di Baitul Mal yang kala itu sedang merebak bau harum kesturi di sana.

Seorang petugas Baitul Mal terheran-heran dan bertanya, "Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?" Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya dengan menghirup harum kesturi ini"

Ialah khalifah yang dijuluki oleh para ulama sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5, saking akhlaknya yang mendekati para Khulafaur Rasyidin yang empat itu.

Sekarang? susah rasanya berharap, hanya sekedar berharap pemimpin-pemimpin kita mau meniru Khalifah Umar bin Abdul Aziz apalagi kita selalu mengingat dan menjalankan nasehat dari Hasan Al Bashri. Kita, rakyat, seperti kata Goenawan Muhamad, bahkan cuma dianggap ada 5 tahun sekali, ketika masa pemilu tiba dan masa kampanye mulai digelar. Kita, rakyat, cuma diingat, diperhatikan, didatangi, dan didengarkan 5 tahun sekali. Kita, rakyat, cuma dianggap sebagai ayah, saudara, dan anak 5 tahun sekali.

Dan jika masa pemilu lewat, lewat pulalah masa-masa 'bulan madu' antara rakyat dan pemimpin itu. Lupalah para pemimpin kita dengan janji-janjinya, dengan program-programnya, Kalau orang Jawa bilang, "Masih untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, daripada tidak sama sekali" Ya, memang masih untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, tapi sayangnya dalam 'masa ingat rakyat' yang cuma sekali-kalinya dalam 5 tahun itu pun, masih saja pemimpin-pemimpin kita tega merendahkan dan menghina harga diri rakyatnya.

Suara kita, hak pilih kita yang tak ternilai itu, konon dalam demokrasi kedudukannya setara dengan suara Tuhan, tega mereka beli dan hargai hanya dengan beberapa ratus atau bahkan puluh ribu rupiah. Dan kita, yang lebih sering berpikir pendek dan hanya bisa berpikir besok makan apa dengan senang hati menggadaikan masa depan negeri ini yang sebenarnya adalah juga masa depan kita bersama di tangan pemimpin-pemimpin yang sebenarnya tak lebih dari sekedar tukang sogok, demi uang yang tak seberapa itu.

Sungguh luar biasa negeri ini. Yang tak pernah berkaca dari kesalahan-kesalahan masa lalu hingga selalu terperosok ke dalam lubang kedzaliman, yang tak pernah mengambil teladan dari sikap orang-orang besar di masa lalu, yang selalu salah memilih pemimpin-pemimpinnya. Sungguh luar biasa negeri ini yang hanya untuk menangani anak-anaknya yang protes dengan kebijakan-kebijakan aneh yang kerap diambil ibunya, merasa perlu untuk menurunkan puluhan bahkan ratusan aparat bersenjata pentungan dan peluru karet, menjewer anak-anak nakal itu dengan mendoakan mereka bahkan kalau perlu menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan ini dan itu.

Sungguh luar biasa negeri ini, yang ketika rakyatnya di daerah sampai harus mengorbankan nyawa demi kehormatan dan harga diri partainya, pemimpinnya di atas malah sibuk menjual aset-aset negara.

Sungguh, kita hidup di sebuah negeri yang luar biasa. Sebuah negeri yang menyamakan kejujuran dengan barang antik yang hanya pantas ditaruh di museum. Hanya bisa dilihat, dibayangkan, dan dikenang, meski kadang bisa disentuh. Ketika seorang anggota dewan mengembalikan uang suap yang ratusan juta jumlahnya, ketika ada yang menolak dana apalah seperti taktis  ia malah dianggap sebagai pengkhianat atau pencari simpati rakyat. Sebagian lain menganggapnya bodoh dan munafik.

Ketika ada anggota dewan yang mengaku pada wartawan bahwa ia disodori amplop yang tak jelas maksud pemberiannya dan ia mengembalikannya, ia malah dimusuhi rekan-rekannya, dituduh mengumbar aib partai atau fraksi, dan ujung-ujungnya di-recall atau dipecat.

Dan sekarang, masa ingat rakyat itu hampir tiba. Saksikan saja, betapa sebentar lagi (atau mungkin sudah?) suara kita akan didengar, betapa pertanyaan-pertanyaan kita akan dijawab meski tak jelas, dan betapa-betapa yang lain.

Dan sekarang, ketika harus memilih wakil kita yang akan duduk di dewan, ketika presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyat, sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi sangat kita rindukan untuk menjadi sosok yang akan kita pilih.

Sebuah kerinduan yang mungkin akan ditertawakan oleh sebagian orang, sebagai buah dari rasa pesimis yang sebenarnya wajar karena dikecewakan terus-menerus, kekecewaan rakyat kecil kepada pemimpinnya.

Sebuah kerinduan yang harus kita yakini akan dijawab oleh Allah. Pasti ada, walau segelintir, orang-orang yang dianggap aneh, bodoh, munafik, pengkhianat, atau apalah karena keteguhan mereka memegang kebenaran di antara berbagai kebobrokan yang menyergap tanpa ampun, menyusup di segala lini kehidupan.

Pasti ada, segelintir orang yang ingin dan berusaha menelan dani kezuhudan, kehati-hatian, dan keberpihakan pada rakyat kecil seperti yang telah dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ya, kita semua rakyat yang bisa memupus kerinduan ini. Kitalah yang akan memilih Umar-Umar baru sebagai wakil kita, sebagai pemimpin kita. Pada akhirnya, kita jualah yang menentukan masa depan bangsa. Ya Allah lahirkanlah pemimpin-pemimpin yang mempunyai karakter seperti Umar Bin Abdul Aziz untuk bangsa yang lagi bobrok ini. Wallahhua lam bissawaab.

Sungguh Indahnya Ucapan Salam

Telah diceritakan dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwasanya ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw: Bagaimanakah Islam yang baik itu?” Beliau menjawab, “Yaitu mau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang belum kamu kenal.” (HR. Bukhari Muslim).

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Salam itu tak lagi terdengar sumbang di telinga, karena ia nyaris sudah menjadi budaya. Kini nyaris semua orang menjadikannya sebagai salam pembuka, mengawali teks pidato, memulai ceramah, mengantarkan pembicaraan dan sapaan kesopanan. Hingga ia pun terdengar lumrah, seperti halnya selamat pagi, kulonuwun, punten,
aajakareba, permisi….

Nah diantara kita mungkin tak banyak yang masih mengingat, Sang Kekasih Allah telah bersabda, bahwa ucapan itu menjadi salah satu parameter kebaikan seorang muslim, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas; Berislamlah dengan baik dengan mengucap salam kepada yang engkau kenal dan tidak engkau kenal…

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh, Ucapan ini sudah sedemikian akrab didengar dan diucapkan oleh ummat muslim.
Sepertinya tidak seorang muslimpun yang tidak bisa mengucapkannya bahkan burung kakak tuapun bisa mengucapkannya. Baik yang memang setiap hari menyebutnya minimal lima kali sehari di akhir shalat, maupun mereka yang hanya membasahi lidah dengan salam di acara-acara resmi.

Tapi
yang menjadi masalah sudahkah ia sebagai sarana pengikat cinta? Sebagaimana kabar yang disampaikan Abu Hurairah ra? Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, ”… Maukah kamu sekalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu mengerjakannya maka kamu sekalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam diantara kamu sekalian”. (HR Muslim).

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh, Sungguh kalimat ini amat mudah diucapkan. Hingga
terkadang ada sebhagian orang yang meremehkan. Bahkan ada yang hendak menggantikannya dengan selamat pagi, atau sapaan lokal dan teritorial lainnya. Apakah kita tidak teringat kata seorang sahabat, Abu Yusuf (Abdullah) bin Salam ra: Saya mendengar Nabi ‘alaihissalaam bersabda: “Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam, berikanlah makanan, hubungkanlah tali persaudaraan, dan sholatlah pada waktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR Turmudzi). Duhai, alangkah nikmatnya! Ternyata tiket surga tidak mahal. ‘Cukup’ dengan menyebarkan salam.

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh, Betapa cinta Rasulullah dengan untaian kata ini. Hingga tak lepas lisannya dari salam di setiap waktu dan kesempatan. Saat mendatangi suatu kaum, Rasulullah mengucapkan salam ini dengan diulang tiga kali. Saat Beliau melewati sekumpulan kaum wanita, saat bertemu dengan sekelompok anak-anak, saat bertamu atau memasuki rumahnya sendiri, doa rahmah itu mengalun indah dari bibirnya. Bahkan saat di dalam majelis, beliau tak bosan membalas salam sahabatnya yang hadir satu persatu, pun ketika mereka satu demi satu kemudian meninggalkan majelis dan kembali mengucap salam. Bahkan beliau pernah bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian bertemu dengan saudaranya, maka hendaklah ia mengucap salam kepadanya. Dan seandainya diantara keduanya terpisah oleh pohon, dinding atau batu, kemudian bertemu kembali, maka hendaklah ia mengucapkan salam lagi”. (Disampaikan oleh Abu Hurairah, HR Abu Dawud).

Oleh karenanya tak heran, jika Abdullah bin Umar suka pergi ke pasar, meski tak hendak membeli sesuatu. Kepada Tufail bin Ubay bin Ka’ab yang pernah menemaninya ia berkata, ”Wahai Tufail, mari ke pasar. Kita sampaikan salam kepada siapa saja yang kita jumpai. Maka berpuluh kali kalimat itu meluncur sejuk dari mulutnya, kepada para pedagang, pembeli, para kuli, tukang rombengan hingga warga papa.

Maka sungguh indah, jikalah salam itu disebarkan oleh wajah penuh senyuman, dihayati dan diresapi sebagaimana Abbas Assisi menyampaikan dalam surat-surat kepada sahabat-sahabatnya: Salaam Allah ‘alaika wa rahmatuhu wa barakaatuh. Sungguh damai dan nyaman, jika salam kita sampaikan sebagai ta’abbudan (ibadah) dan mahabbah (kecintaan), bukan sekedar kebiasaan. Salaam Allah yaa Ikhwatii, ya khalilii, wa rahmatuhu wa barakatuh. (Semoga Allah memberikan kedamaian, kasih mesra dan barakahNya untukmu saudaraku, sahabatku).
Oleh karena itu sangatlah tepat kalau islam artinya selamat, yang member keselamatan, jadi seorang muslim sejati mesti mampu memberikan rasa aman pada orang lain, kalaupun tidak mampu memberikan perlindungan minimal mendo’akan kepada setiap orang yang dia temui dijalan. Dan orang yang dengan tulus mengucapkan salam kepada orang lain insyaallah akan ada rasa cinta, cinta yang dilandasi niatan suci semata-mata karena Allah SWT. Wallahu a’lam bissawaab.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...