Surat Es Eto Buat TIMNAS, Yang Menginspirasiku

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan segala kemajemukkannya ia telah memberikan warna yang begitu indah seperti pelangi yang menghiasi langit diangkasa raya. dengan segala keaneka ragamannnya baik budaya, alamnya maupun masyarakatnya sangat plural tapi bukan pluralisme. Dengan segala kekayaan yang dimilikinya tentu sangat tidak beralasan kalau penghuninya masih banyak yang melarat. Namun tanpa harus menutup mata realitas berbicara lain, ya seperti inilah kenyataan yang harus diterima oleh rakyat Indonesia. Bangsa ini sepertinya sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, rasa-rasanya kata-kata Bung Karno yang pernah mengatakan "Berdikari" Berdiri diatas kaki sendiri sudah dianggap tidak relefan untuk masa kini. Akankah segala sesuatu yang berbau instan akan merubah segala keadaan akan menjadi lebih baik? pertanyaan ini cukup diresapi buat generasi muda sekarang ini karena tau persis bagaimana kondisi sekarang. Kenyataan membuktikkan bahwa segala sesuatu yang berbau instan sangat laris sepertinya generasi muda sudah terhepnotis bahkan sudah masuk kealam bawah sadar yang dengan sendirinya prilaku menjadi tidak utuh sebagai seseorang yang memiliki kepribadian tinggi. Mampukah bangsa berdiri sendiri sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju lainnya? dengan begitu gagahnya menunjukkan inilah bangsa Indonesia!

Indonesia akan mampu menunjukkan jati dirinya dengan berusaha terus berjuang disertai do'a sebagai satu-satunya pengharapan pada ilahi sebagaimana yang telah disampaikan oleh Fuad Hasan dalam novelnya yang berjudul ''Negri Lima Menara" dengan pesan inti" Man Jadda Wajada" barang siapa yang sungguh-sungguh ia pasti dapatkan. Di ayat lain dikatakan "innallaha yughoiru ma bikaumin hatta yughoiru ma bi ampusihim" sesungguhnya Allah tidak akan merobah suatu kaum atau bangsa menjadi lebih baik, sebelum seseorang atau tiap-tiap individu merobah prilakunya terlebih dahulu.
Akankah segala kebijakkan yang diterapkan oleh pemangku amanah dapat dilaksanakan dapat membawa perubahan pada bangsa Indonesia?

Dengan adanya Piala AFF sepertinya para pemangku kebijakkan hendak mencari kesempatan dalam kesempitan, sebenarnya rakyat sudah muak dengan segala politisasi seperti yang dicurahkan oleh Es Eto pada blognya yang ditujukkan kepada Firman dan Kawan-kawannya, seperti pernyataannya berikut dibawah.
 
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang.

Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa.

Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan.

Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan.

Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.


Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give comments and criticism are best for this blog the better

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...