Episode Kehidupanku Bermuara di Kampus Peradaban


Ketika saya membaca ayat Al-Qur’an surah Al-Ashr ayat 1 sampai ayat 3 yang artinya “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." dari ayat ini saya merenung, kemudian perasaan saya seperti ada getaran yang muncul dibenakku , kemudian aku pun secara perlahan menarik nafas bersamaan dengan memejamkan mata tiba-tiba pikiranku melayang menelusuri lorong-lorong kehidupan masa kecilku.
Ya sebuah kehidupan yang penuh dengan segala canda dan tawa, dimana saat kecilku yang penuh dengan dunia permainan, ketika itu umurku baru 6 tahun, dengan usia seperti ini permainan merupakan duniaku. Bermain apa saja saya lakukan yang penting menyenangkan apalagi teman-temanku selalu hadir untuk menemaniku disetiap kesempatan.
Pada saat kecilku banyak sekali permainan yang berkesan sampai saat ini, rasa-rasanya sulit untuk dilupakan, baik ketika di Taman Kanak-Kanak maupun ketika di Sekolah Dasar. Ketika di TK yang paling saya suka adalah cerita dongeng “Tentang Kancil” dan lagu-lagunya. 

Saya merasakan waktu itu betapa dunia ini menyenangkan, sepertinya tidak ada kepedihan dan penderitaan, namun seiring berjalannya waktu ketika diri ini menginjak usia 12 tahun yang berarti sudah berada diakhir kelulusanku . Dan dari awal kelas satu MTS inilah saya mulai berpikir untuk apa saya hidup didunia ini? 

Dari pertanyaan ini saya belum menemukan jawaban yang memuaskan baik dari teman maupun dari guru, namun semua itu terjawab oleh sang maha guru beliau adalah Ibuku sendiri. Beliaulah sang guru yang telah berjasa menanamkan benih-benih keimanan dalam diriku, yang cukup menggetarkan dan aku bangga dengan beliau. Pernah suatu ketika aku asyik bernain hingga aku lupa sholat magrib, Ibuku sangat marah kepadaku, kemudian tanpa berpikir panjang apalagi menanyakan alasanku tiba-tiba balok yang ada ditangannya mendarat dikakiku, tanpa terasa air matapun berguguran seperti hujan lebat.
Dari peristiwa ini kemudian memunculkan pertanyaan baru dibenakku untuk apa aku sholat?. Dari pertanyaan ini kemudian mengantarkan pada sebuah proses perenungan yang selalu membayangi kehidupanku pada saat itu sampai pada suatu ketika waktu itu aku sudah duduk dikelas satu Ibuku sakit keras diawali dari sakit demam selama satu mingu, kemudian tipes dan disertai dengan hilangnya suara dari mulutnya, sehingga kalau Ibuku berbicara yang terdengar hanya suara bisikan artinya suaranya sudah tidak ada lagi terdengar, penderitaan yang beliau rasakan cukup menyedihkan hingga dua tahun lamanya. Dari masalah inilah yang kemudian menjadi komflikasi hingga beliau lupa ingatan selama setengah tahun, hingga kemudian ajal menjemputnya “Innalillaahi wainnalillaahiroojiuun” sungguh hatiku hancur dan rasanya hidup tidak berarti lagi, ingin rasanya waktu itu saya juga ingin menjemput maut, namun karena salah seorang ustad yang datang menasehatku dari sinilah diri ini mulai bangkit kembali. Walaupun pada waktu itu hidup sebatang kara karena Ayah lebih dahulu telah lama sejak aku masih bayi beliau sudah dijemput oleh Allah disusul kemudian Kakaku dan Neneku.
Episode baru mulai dirajut kembali bersamaan dengan kehadiran Paman dikehidupanku, dari beliau aku dibawa ke Samarinda, lembaran kehidupan baru mulai kujalani kembali sambil sedikit-demi sedikit aku mulai bisa melupakan kampungku yang penuh suka dan duka. Singkat cerita kebahagian inipun tidak berlangsung lama, rupanya “Manusia hanya bisa merencanakan namun Tuhan jualah yang menentukan” ya pada waktu itu tepatnya tahun 1996 Pamanku dipanggil untuk menghadap Allah SWT. Kesedihan kembali menghampiriku untuk kesekian kalinya, betapa ujian silih berganti datang dan pergi meninggalkanku” namun kesedihan ini tidak berlansung lama karena pada saat itu saya sudah berada di Sebuah Pesantren yaitu Pesantren Hidayatullah dari lembaga inilah yang melengkapi hidayahku dan juga yang sangat berperan dalam membentuk karakterku.
Dari proses dan peristiwa yang kujalani mungkin ada hikmahnya dari semua itu, ya saya yakin Allah punya kehendak dimana pada saat itu ketika Pamanku sakit-sakitan datanglah anak beliau dari Balikpapan tujuan pertamannya adalah menengok orang tuanya yaitu Pamanku sendiri. Kemudian setelah bercerita panjang lebar dengan Ayahnya sepertinya ada sedikit perdebatan diantara mereka, karena penasaran saya pun menghampiri mereka berdua dari hasil pembicaraan mereka adalah salah satunya saya akan diajak ke Pesantren. Setelah ditawari saya tidak berpikir panjang langsung menjawab ya saya mau masuk Pesantern. Dengan tekad Bismillah.

“Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad waala aalihi washaabihii ajmai'iin” Kalimat inilah yang menghiburku ketika aku sudah berada di Dunia Pesantren karena selalu mendengarkan tausiyah dari para Assatidz maupun dari rekan-rekan santri

“Wahai teman baruku” Nikmatilah setiap detik kegoncangan hidup yang ada di Pesantren ini”. Ya kalimat “Goncang” inilah yang pertama kali saya dengar dari mulut Santri pada pertama kali menjalani hidup dipesantren itu. Rupanya kalimat Goncang mantra sakti yang sangat keramat bahkan mungkin sangat sakral untuk diucapkan oleh santri baru seperti saya pada waktu itu, karena memang yang sering saya dengar dan lihat selalu yang mengungkapkan itu adalah santri-santri yang sudah senior artinya sudah termasuk Assabikunal awwalun ( Para Pendahulu Pesantren )
Ketika ada santri baru mengatakan “kamu goncangya tinggal di Pesantren?” atau “Masa segitu saja Goncang?” tidak berapa lama atau sebulan kemudian santri yang berucap demikian maka dengan sendirinya dia akan keluar dari Pesantren tersebut. Percaya atau tidak terserah pembaca sekalian yang jelas saya merasakan sendiri, betapa sebagian santri pada waktu itu sangat meyakini kalimat ini. Maka pada waktu itu santri baru tidak berani mengatakan pada temannya. Namun saya sendiri seiring berjalannya waktu tidak begitu memikirkan kalimat Goncang karena saya sudah merasakan kegoncangan sejak kecil dari semenjak ditinggal oleh orang tua.
Hingga pada saat itu saya sempat melihat dan mendengar lansung dari Allahuyarham bahwa santri disini harus bisa bertahan dan kalau mengalami kegoncangan adalah hal yang wajar,”nikmati saja” katanya. Dan ada pesan inti lainnya yang juga saya tangkap adalah “Hidup dilembaga ini harus tahan menderita dalam artian siap menerima segala konsekwensinya dengan istilah beliau “Proses Keyatiman” artinya kalian tinggal di Pesantren tidak bersama Ayah dan Ibu, namun sebelumnya kita harus melewati Fase Bergoa Hiro atau Pra Fase”sebagai fase Pertama dalam artian sejauh mana kita bisa bertahan dengan segala keterbatasan baik dari segi materi maupun kesenangan dunia lainnya. Dan Fase ketiga adalah “Fase Mengembala” artinya dari sekarang kalian belajar mandiri yaitu ketika mandi sendiri, mencuci sendiri dan bekerja tanpa diperintah, intinya jadilah Pemimpin pada diri sendiri. Fase keempat adalah “Fase Berdagang” artinya sudah bisa bermuamalah atau bersosialisasi dengan masyarakat diluar pesantren misalnya: Santri diterjunkan mencari dana atau berdakwah baik dikota maupun didaerah melalui cabang-cabang yang ada. Dan yang terakhir adalah Pase Kelima yaitu “Pase Berkhadijah” yaitu Santri harus siap dinikahkan, siap dalam artian baik secara mental maupun secara rohani tanpa melihat calonnya siapa.

Untuk “Fase Kelima” ini santri sudah banyak yang tidak Pede baik terhadap dirinya maupun terhadap pasangannya. Dari fase kelima ini saya ungkapkan bukan berarti saya sudah meragukannya namun saya hanya berhosnuzhon saja bahwa santri yang nikah diluar mungkin ingin mengangkat martabat pasangnnya yaitu bagaimana pasangan tersebut bisa terwarnai oleh idealisme serta cita-cita untuk menuju Peradaban Islam.
Dan kalau kita membaca sejarah dimana Rasulullah bersama para sahabat dalam membangun Peradaban Islam itu diawali dengan pra wahyu yaitu beliau menjalani yang dikenal dengan Tahannus artinya berdiam diri dan proses ini dijalani cukup lama hingga kemudian turun wahyu pertama. Tahannus inilah yang disebut sebagai inti dari pase atau Pase BergoaHiro yang sesungguhnya. Sebenarnya beliau jau h sebelum melewati fase-fase ini sejak kecil sebenarnya sudah menjalani Pra Pase BergoaHiro atinya ketika sendiri beliau sudah didatangi oleh dua orang Malaikat kemudian ditempat tersembunyi dada Rasullullah SAW dibelah oleh Malaikat dan ini merupakan salah satu bentuk Tazkiyyah pada beliau. Dan Tazkiyyah inti ketika beliau berada di Goa Hiro. Dari sinilah kemudian menuju ketahapan berikutnya artinya apa yang Rasululloh lakukan dengan para sahabat itu berdasarkan wahyu sistem atau yang dikenal dengan istilah “Sistematika Nuzulnya Wahyu”(SNW)
Sistematika Nuzulnya Wahyu artinya wahyu diterima Rasulullah dari Malaikat Jibril secara berurutan yaitu; dimulai dari Suroh Al-Alaq, Al-Qolam, Al-Muzzamil, Al-Mudatsir dan Suroh Al-Fatihah. Suroh –suroh inilah sebagai landasan idiel Rasululloh dengan para sahabatnya dalam membangun tahapan-tahapan pondasi bangunan “Peradaban Islam”

Berbicara Peradan Islam tentunya kita harus mendefinisikan apa itu Peradaban Islam? Kalau kita buka kamus atau internet maka disitu terdapat ribuan arti dari Peradaban Islam. Namun disini saya hanya membatasi secara garis besarnya “Peradaban Islam “ Suatu tatanan masyarakat yang didalamnya dibuat sebuah perangkat aturan yang berlandaskan tauhid dan orang yang ada didalamnya melakukan dan menjalankan aturan itu berdasarkan manifestasi iman” artinya peraturan atau hukum itu benar-benar dijalankan diatas kesadaran individu dan diniatkan karena Allah SWT. Insyaallah dilain kesempatan saya sambung lagi berhubung karena waktu sudah semakin larut.

Wallahu'alam bish shawab.

2 komentar:

  1. Selamat malam... tulisannya bagus. Dan, salam kenal kembali.

    Maaf ya baru sempat mampir kemari.

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas komentarnya, ga papa. Salam kenal aja

    BalasHapus

Give comments and criticism are best for this blog the better

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...