Ketika Logika Menjadi Tuhan

Rasululloh diutus oleh Allah Subhana Wata'ala sebagai rahmatan lil alamin, tentu juga sebagai penutup para nabi-nabi sebelumnya yang lebih dulu hadir, semua para nabi yang telah mendapat amanah dari-Nya jelas ada visi dan misi yaitu mengajak manusia untuh menyembah Tuhan, bukan sesembahan yang lain yang tidak bisa memberikan apa-apa bagi kemaslahatan manusia, Faktanya ketika manusia menuhankan benda-benda pasti ujungnya kehancuran, sebutlah misalnya zaman Raja Namrud atau Fir'aun yang mengaku tuhan, dan masih banyak lagi. Tentu ketika Rasululloh hadir di Mekkah juga menemui hal yang sama dalam arti beliau menhadapi manusia-manusia yang beragam tipe dan karakternya. Sejak beliau menerima wahyu pertama surah Al-Alaq ayat 1-5 di Gua Hira, maka sekaligus penanda berubahnya sebuah status, dari Nabi menjadi Rasul genap di usianya 40 tahun.

Sejak menerima wahyu pertama, maka beliau mulai mendakwahkan misinya yaitu mengajak masyarakatnya untuk menyembah Tuhan, bukan berhala seperti lata, uzza dan manat yang sangat diyakini masyarakat jahiliyah pada waktu itu. Dengan tugas inilah Rasul mulai mengajak kaum kerabatnya diawali dari istrinya sendiri yaitu Khadijah binti khuwailid.

Betapa misi yang beliau bawa pada saat itu benar-benar mendapat perlawan yang cukup keras dari masyarakatnya. Namun atas izin Allah jualah perjuangan itu dapat tegak hingga mampu mewujudkan peradaban yang gemilang. Sebuah peradaban yang lahir dari manipestasi iman bukan karena hasil olah pikir manusia sebagaimana pendapat dari teori-teori ilmu modern sekarang, karena kita tahu ilmu tentang sejarah khususnya sejarah umum pada saat ini sudah sangat terkontaminasi oleh pemikiran filsafat-fisafat barat.

Memang pada dasarnya ilmu filsafat sedikit banyaknya telah menyumbangkan teorinya dalam kemajuan pada segala aspeknya hingga kemudia melahirkan peradaban modern. Namun yang cukup disayangkan ilmu-ilmu filsafat ini sebagian telah banyak menyimpang. Penyimpangan ini sebenarnya kalau mau ditelusuri lebih mendalam untuk kemudian bisa dilihat dari segi epistimologinya maka akan bermuara pada akal manusia itu sendiri. Sejauh mana manusia mencari sumber kebenaran, kalau seseorang mencari kebenaran tidak semata-mata hanya menggunakan akal atau logika sebagai barometernya.

Dan pada awalnya proses untuk mencari kebenaran itu diawali dengan akal dan logika namun jika semua itu sulit didapatkan, maka rujukkannya harus bersumber pada Al-Qur’an. Sungguh naif rasanya ketika seorang yang mengaku Muslim hanya mengandalkan logika atau akal semata, bahkan yang lebih membahayakan ia tahu tentang kebenaran itu, tapi ia berpura-pura tidak mengetahuinya hanya gara-gara merasa pintar dalam artian semua persoalannya bisa diselesaikan hanya menggunakan akal pikiran tanpa perlu melibatkan Al-Qur’an maupun hadist.

Al-Qur’an sebagai sumber kebenaran yang menjadi tolak ukur pemikiran (intelektual) manusia hendaknya dikedepankan, buka logika yang didahulukan apalagi sampai melempar agama ke belakang dan menjadikannya pengekor yang selalu mengikuti kepentingan atas nama HAM. Permasalahan ini kemudian berimbas pada pengakuan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Dan berakhir pada pengakuan terhadap yang plural dalam beragama atau yang disebut dengan pluralisme yaitu pemahaman yang menganggab bahwa semua agama benar. Atas nama kemanusiaan akhirnya agama dimanusiakan.

Phenomena pemikiran-pemikiran yang kelihatannya benar secara logika pada saat sekarang ini begitu banyak bermunculan salah satunya yang diprakarsai oleh JIL ( Jaringan Islam Liberal ) mereka menganggap bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama.

Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). Jadi misalnya dalam pertandingan sepak bola, mereka ini ibaratnya sebagai wasit, tapi dalam waktu yang sama wasit yang seharusnya memimpin pertandingan kok malah ikut main. Dan ini kan repot jadinya.

Mereka mestinya tahu aturan dan batasan-batasan main yang benar, kalau memilih jadi wasit, jadilah wasit yang adil, dan kalau memilih jadi pemain, ya jadilah pemain yang benar. Dan perlu diingat bahwa: any statement about religion is religious statement. Dan ini mereka tidak sadar kalau mereka telah menuhankan logika, hal itu tidak lain dikarenakan satu kata ini merupakan bentuk dosa terbesar yang tidak terampuni (terkecuali pelakunya benar-benar menyesali atas perbuatan dari olah pikirnya kemudian taubatan nashuha sebelum ajal menjemput).

Jika dilihat dari hukumnya, orang yang menuhankan logika maka ia termasuk musyrik, karena dampak yang ditimbulkannya tidak jauh berbeda dengan syirik spiritual. Bahkan yang lebih parah lagi, kemusyrikan jenis ini bisa melahirkan virus yang lebih ganas karena penyebarannya begitu masiv yakni melalui corong media massa dan terorganisir. Dan yang lebih ironis lagi, perguruan tinggi Islam yang seharusnya menjadi panutan dalam pembinaan aqidah justru ikut mempelopori lahirnya pemikir liberal.

Permasalahan ini sungguh menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam di masa kini yakni postmodern, yaitu zaman di mana logika sebagai lokomotif  tolak ukur dalam mencari sebuah kebenaran  dibalik peniadaan (penafian) yang absolute dan penolakan metafisika, sedangkan Islam sendiri berangkat dari yang absolute (wahyu) dan melalui jalan metafisika yang jelas. Walaupun keduanya terlihat kontradiktif (antara postmo dan Islam), bukan berarti Islam tidak sesuai dengan zaman, namun justru Islam datang untuk menjawab tantangan zaman yang telah di belokkan  oleh paham menyimpang terutama kesyirikan dan Islam mengajak untuk kembali kepada agama tauhid, yaitu pemurnia aqidah.

Untuk itu saya pribadi mengajak kepada seluruh orang-orang yang concern pada dunia dakwah, baik secara lisan maupun secara tulisan. Mari tunjukan kepedulian kepada kaum muslimin, permasalahan ini perlu segera disikapi dan ditindaklanjuti, untuk kemudia secara bersama-sama membuat program yang riel. Salah satunya memasyarakatkan MBA ( Mengajar, belajar Al-qur’an). Dan menggalakan kajian sistem wahyu sebagaiman Rasul dalam mendakwahkan islam yang rahmatan bagi umat manusia. Wallahu a'lam bish-shawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give comments and criticism are best for this blog the better

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...