Setiap
tanggal 20 April bangsa ini selalu akan teringat dengan sosok perempuan ini, ya
dialah yang telah dianggap paling berjasa dalam memperjuangkan nilai-nilai
kedudukan perempuan pada masanya hingga kemudian telah banyak memberikan
insfirasi kepada kaum hawa masa kini khususnya pada bangsa Indonesia, seberapa
besar peranannya untuk kemajuan bagi rakyat indonesia? Khususnya kaum perempuan. Ya di balik riwayat Kartini dengan
surat-suratnya yang terkenal dan riwayat gagasan emansipasi yang sebenarnya
beliau banyak terinsfirasi dari kitab suci Al-Qur’an , seperti pada suroh An-Nisa
pada ayat 32 yang berbunyi:
Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS. An-Nisa : 32)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang telah memberi pencerahan pada
seorang R.A Kartini yang luput dari sejarah, sehingga karena sudah banyak
pembelokan dan penyimpangan oleh sekolompok orang yang mencoba memberikan
stigma-stigma pragmatis hanya untuk menguatkan teori atau paham yang sedang
digulirkan demi kepentingan segelintir kelompok tertentu ya katakanlah
segolongan aktivis
feminisme yang mencoba mendompleng sejarah R.A Kartini untuk kepentingan-kepentingan
sesaat, yang mana tujuannya hanya menggolkan
nilai dan paham yang sementara lagi diperjuangkannya.
Dengan mengatasnamakan
kesetaraan gender atau dengan istilah lainnya yaitu semangat “feminisme”,
pendekatan legal formalpun mereka akan selalu perjuangkan, guna mereduksi apa yang mereka rancang sebagai “kontruksi
sosial feminisme” yang pada akhirnya bermuara pada kebebasan menyeluruh
mengenai hak-hak kaum perempuan, atau istilah lainnya bebas nilai yang
cenderung menabrak nilai budaya timur yang sudah mengakar dinegeri ini.
Namun
Kartini tidak dapat dipanggil kembali untuk sebuah konfirmasi. Isi benaknya
tetap tersimpan dalam deretan tulisan sejarah yang ditorehkan orang lain dan
tumpukan surat-suratnya kepada Ny. Abendanon, Nn. Stella Zeehandelaar, Ny Marie
Ovink Soer, Ir. H. H. Van Kol, Ny. Nellie dan Dr Adriani, sederat lingkaran
elit kolonial.
Lantas kemudian muncul sebuah pertanyaan : benarkah Kartini simbol feminisme, atau seorang
yang memiliki paham masalah gender ? Kalaupun jawabannya ya, apakah yang diperjuangkan R.A Kartini pada masanya menyangkut hak-haknya yang selama itu ia
rasakan adalah keterpasungan dan terkungkungnya dibalik kamar tanpa mampu berbuat
apa-apa demi kemajuan kaum perempuan, kalau mau jujur sebenarnya yang perlu
digaris bawahi inti dari perjuangan beliau adalah hak-hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak seperti kaum adam pada waktu itu dan kalau mau dikaitkan pada
konteks kekinian saya rasa sangat jauh perbedaanya dengaan apa yang
diperjuangkan oleh kaum feminis hari ini. Atas
dasar apa kaum peminis masa kini yang merasa
pedenya
memiliki lisensi untuk mencatut nama R.A Kartini?
Tentu kita mafhum bersama bahwa kaum feminis hari
ini memperjuangkan sebuah sistem nilai yang berkiblat pada
orientalisme dibawah payung HAM.
Perempuan
didalam kamus mereka
adalah makhluk yang tak ada bedanya dengan kaum
adam,
kecuali yang membedakan hanyalah struktur
psikologis dan
biologis semata. Di luar itu, perempuan adalah laki-laki dengan segala hak-haknya
hingga kemudian dibolehkan, bahkan diharuskan untuk memiliki kedudukan dan
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala lini. Pemahaman inilah yang nantinya akan bermuara lahirnya
Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang sementara ini lagi digodog di gedung DPR dan
sudah menuai banyak kritikan dari kalangan pengamat dan pemerhati dan ulama
Indonesia. Mengenai baik-buruknya rancangan RUU tersebut sudah banyak dibahas baik
dalam bentuk forum seminar dan juga tulisan diberbagai media.
Dan memang pada hakekatnya paham feminisme hari ini merupakan
perpangjangan tangan dari jaringan islam liberal dan induknya adalah liberalisme yang sangat
bertentangan dengan paham kultur nilai keislaman. Kita tentu prihatin jika R. A Kartini telah
tersandera oleh kepentingan
segelintir orang yang mencoba memaksakan pahamnya hanya untuk menciptakan tata
nilai yang bebas nilai, maka dengan sendirinya. Kartini akan tervonis sebagai pengasong ide-ide liberalisme dengan alasan mengkonter nilai
adat yang menindas hak-hak kaum wanita.
Padahal dulunya ia adalah tameng hidup dalam melawan kolonialisme yang
notabene juga saudaranya liberalisme.
Kartini
dalam kaca mata islam
Sungguh sangat kontras sekali apa yang selama ini kaum
feminisme perjuangkan dengan kenyataan pada masanya R.A Kartini dan ini
sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh pakar
sejarah Ahmad Mansur Suryanegara tentang sosok R.A Kartini. Dalam bukunya yang sangat fenomenal, Api Sejarah,
Ahmad Mansur menulis :
“Dari
surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang, ternyata R.A
Kartini tidak hanya menentang adat, tetapi juga menentang politik kristenisasi
dan westernisasi. Dari surat-surat R.A. Kartini terbaca tentang nilai Islam di
mata rakyat terjajah waktu itu. Islam sebagai lambang martabat peradaban bangsa
Indonesia. Sebaliknya, Kristen dinilai merendahkan derajat bangsa karena para
gerejawannya memihak kepada politik imperialisme dan kapitalisme.”
Kepada
E.C. Abandenon, Kartini menulis surat yang berisi penolakannya terhadap misi
kristenisasi: “Zending Protestan jangan bekerjasama dengan mengibarkan
panji-panji agama. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini
akan membuat Zending memandang Islam sebagai musuhnya. Dampaknya, semua agama
akan memusuhi Zending.”
Pada
bagian lain R.A Kartini juga telah menulis yang berbunyi, “orang Islam umumnya
memandang rendah kepada orang yang tadinya seagama dengan dia, lalu melepaskan
keyakinannya sendiri memeluk agama lain.” Kenapa?, “karena yang dipeluknya
agama orang Belanda, sangkanya dia sama tinggi derajatnya dengan orang
Belanda.”
Sebuah pendapat
R.A Kartini yang lugas dan
tegas bahwa kristenisasi berjalin erat dengan liberalisme dan kolonialisme dimana penanaman nilai-nilai yang
memandang rendah bangsa sendiri dan memandang tinggi bangsa penjajah. Masih
menurut Ahmad Mansur, Kartini memiliki sikap demikian setelah memperoleh dan
membaca tafsir Al-Qur’an. Kekagumannya pada Qur’an ia tulis dalam suratnya
kepada E.C. Abandenon : “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada
melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping
kami.” Qur’an ia sebut dengan “gunung kekayaan”.
Dari sisi inilah yang sangat kurang dilihat oleh pengasong
dan pembawa paham feminisme. Kalaupun R.A Kartini
sebagai sosok pembela hak-hak perempuan itu
tidak lebih, karena
pada waktu itu kolonialime memang sangat membedakan dan bahkan sangat
melecehkan kaum perempuan, namun semua itu ide-ide dasarnya ia dapatkan dari
kitab suci Al-Qur’an. Sebagaimana Raden Dewi Sartika yang giat memperjuangkan
pendidikan juga banyak mendapat petuntuk dari kitab suci Al-Qur’an, utamanya pencerdasan kaum
perempuan bahkan beliau mendirikan sebuah
perkumpulan kaum perempuan pada tahun 1916 yaitu
sebuah wadah yang memberi sumbangsih besar dalam hal kemajuan hak perempuan. Meskipun dalam lingkup skala
kecil, tapi paling tidak sudah dapat member i inspirasi untuk perempuan masa kini,
jadi kalau ada yang mengatakan itu
adalah teori kitab yang sangat subyektif atau berlebihan. Marilah membaca
sejarah secara utuh dan adil, untuk mengurat sejarah agar lebih jernih
melihat sosok R.A Kartini sebagai pembela nilai Islam dari serangan paham
kolonialisme pada waktu itu secara utuh dan menyeluruh, bukan
sepotong-sepotong.
Kalau beliau dikatakan perintis dalam
membela hak
perempuan, semua gagasan itu sudah mendapat landasannya dalam ajaran Islam,
bukan dalam ajaran Barat Kolonialisme yang pada
masa kini didengung-dengungkan.
Walaupun sejarahnya
banyak didompleng kepentingan, bagi umat Islam, sikap yang diperlukan sudah sangat
jelas. Umat
islam berpegang pada
manhajnya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Umat ini sudah sangat cerdas dalam bersikap
siapa dalang, siapa wayang dan siapa pecundang. Karena
yakinlah sejarah akan selalu berulang dari generasi-kegenerasi. Sosok sejarah seperti Kartini sangat mudah
mengalami multiinterpretasi, karena ia
tumbuh dan dibesarkan dinegara nasionalisme yang menjunjung keberagaman maka
wajar apabila sejarahnya bergantung siapa yang berkuasa, cukuplah bagi umat
islam berpegang pada tokoh yang paling terjamin kemurnianya hingga akhir zaman dan
beliau ini juga mendapat pengakuan dari tokoh dunia diluar islam, yaitu Nabi Muhammad S.A.W. Maka, umat Islam tidak ada alasan
untuk berada didalam kesedihan oleh karenanya bercerminlah kepada sosok profil Rasulullah.
Karena ajaran Al-Qur’an dan Sunnah sudah menjadi pegangan yang
tidak akan pernah diselewengkan, barometer satu-satunya yang
ada di dunia pada
saat ini.
Dengan hati yang jernih, maka insyaallah ia akan mengantarkan kepada gerbang
keadilan yang sempurna, setiap tingkah laku beliau member insfirasi yang akan
selalu bersinar hingga dunia berakhir. Dan
beliau
memiliki sisi baik yang tidak ada habisnya
walaupun segolongan umat lain membencinya.
Tanpa bermaksud mengecilkan sosok R.A Kartini,
sebenarnya umat
Islam tidak kekurangan kalau hanya sekedar mencari tokoh
perempuan yang memiliki
keberanian dalam membela hak-haknya, lihat saja keteladanan generasi shahabiyah. Sebut saja
Sayidah Aisyah ra, seorang isteri Nabi Shallawahu ‘Alaihi Wassalam sekaligus
narator hadits, intelektual perempuan sepanjang zaman. Bagi kaum perempuan umat
Islam, sosok ini, dan juga para shahabiyah lainnya, seperti Al-Khanza yang juga
sosok panglima dimedan perang dari Aceh sendiri ada Cut Nyak Dien dan masih
banyal lagi yang dapat diteladani oleh kaum perempuan, semua itu ada memberi keleluasaan
dalam bidangnya masing-masing. Wallahu a’lam bissawaab.
Oleh Sarpani, S.Psi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better