Kalau kita mau mengkaji lebih dalam, sungguh panjang pembahasannya
karena itu kami membatasi pada inti dari pengertiannya dan tingkatannya karena
dalam sebuah kajian dari klasifikasi
berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen). Barangkali
sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun
belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama
kali mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan tentangnya?
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas dan padat, insyaallah mudah-mudahan ada
mamfaatnya. Yang pertama adalah :
Definisi
a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (ÍÓä) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn
(----- Huruf Arab -----) yang bermakna al-Jamâl
(----- Huruf Arab -----): kecantikan,
keindahan.
b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama
hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf.
Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari
dua bagiannya saja.
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur
keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan
dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim
as-Sunan:I/11)
2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada
sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut
tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan
diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami
dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya,
[Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh
seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak
terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh
Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang
, maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah
dan Syarahnya: 29)
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan
menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya
ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini
adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby
banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy
hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan
Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya
beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya
adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong
oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”
Definisi Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya
di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil,
yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur
terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz)
ataupun ‘Illat di dalamnya.”
Hukumnya
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun
dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah,
semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian
juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali
pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn).
Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah
mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn
Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah
kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)
Contohnya
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan
kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada
kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia
berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata,
‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di
bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan
jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya
tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin
Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang
dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu,
derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
Tingkatan-Tingakatannya
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu
hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya
dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin
Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari
kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan
sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya,
seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin
Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di
bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah
di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia
Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz
atau ‘Illat.
Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia
telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah
terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits
yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan
terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si
periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz
atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum
mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang
ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,”
tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu
hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh
sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits
Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara
keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama
memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy
tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan
disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai
periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau
dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut
sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan
para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum
yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan
istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat
di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan
kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan
an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan
ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah
umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan
itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu.
Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” )
mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam
kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih”
atau “Hasan.”
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya
Dapat Ditemukan Hadits Hasan
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri)
yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits
Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa
kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling
masyhur adalah:
1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan
at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal
hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah
ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya
tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya,
seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang
telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli
(manuscript) yang dapat dipercaya.
2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal
ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya
menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya.
Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang
tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila
kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan
kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih,
maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara
tertulis di dalam kitabnya ini.
(SUMBER: Kitab Taysîr
Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better