Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah
memuliakan agama Islam dan umatnya serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya
agama yang diridhai-Nya. Dan adalah suatu kepastian bahwa umat Islam akan
berjaya di bawah naungan al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam hingga hari kiamat. Walaupun orang-orang kafir dan musyrik
membencinya.
Berbagai
syubhat dan tuduhan buruk telah banyak dilontarkan oleh orang-orang kafir dan
orientalis dari kalangan Nasrani atau Kristen. Dan ikut pula digembar-gemborkan
oleh para murtaddin (orang-orang murtad) yang begitu bangga dengan
kemurtadannya seperti nampak pada website-website mereka. Mereka melontarkan
syubhat baik dengan cara halus dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an dan
membawanya kepada makna-makna yang mereka kehendaki ataupun cara kasar dengan
cacian dan terang-terangan menjelek-jelekan Islam dan pembawa risalahnya yaitu
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun yang
membuat takjub, justru lontaran syubhat-syubhat tersebut bagaikan menggosok
emas yang menyebabkan Islam semakin tampak kemilau dan membuka mata orang-orang
yang lalai akan keagungannya. Semakin terpatri dalam dada apa yang difirmankan
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ
بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ
“Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah: 32)
Tentu tidak
mengherankan jika mereka tidak takut akibat buruk menimpa mereka seandainya
mereka menghayati ayat ini. Bagaimana akan takut, bahkan memang mereka tidak
beriman terhadap Allah, al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barangkali
tidak asing bagi sebagian kita, terutama pengguna internet, forum, milis dan
email, bagaimana begitu banyak dan gigih syubhat dan tuduhan buruk terhadap
Islam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam oleh orang-orang kafir untuk
memalingkan kaum muslimin dari keyakinan agama mereka. Terutama tuduhan buruk
terhadap al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa
risalah Islam, karena dengan dirusakkannya kehormatan beliau, otomatis batal
pula ajaran yang beliau bawa. Di antara syubhat mereka adalah bahwa al-Qur’an
adalah buatan Muhammad shallallau ‘alaihi wa sallam, beliau dituduh berakhlak
bejat, al-Qur’an banyak memiliki kontradiksi, bertentangan dengan ilmu
dan fakta alam serta berbagai tuduhan lainnya.
Berikut ini
adalah jawaban-jawaban terhadap berbagai syubhat yang bantahan ini disampaikan
oleh Syaikh Mamduh Farhan
al-Buhairi darisitus Majalah Qiblati. Beliau menjawab
berbagai pertanyaan dan tuduhan yang ditujukan kepada Qiblati. Semoga
pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan harap bersabar membacanya
karena sangat panjang dimana pada situs aslinya terbagi dalam 7 seri. Ditata
ulang seperlunya menyesuaikan format penulisan di blog ini.**
_
Bagian
1
Syubhat: Assalamu’alaikum, syaikh mamduh yang
ana muliakan, ana dapat syubhat dari orang Nasrani, kenapa di dalam al-Qur’an
ada ayat yang menggunakan kata-kata “KAMI”; orang pertama dalam bentuk jamak
bukan tunggal, berarti benarlah Tuhannya orang Nasrani tentang TRINITAS, Tuhan
bapak, anak dan roh kudus? Mohon dijawab agar umat Islam mengetahui jawaban
syubhat ini. Jazakallahu khairan. +628***541****
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah
wabarakatuhu.
Sesungguhnya,
termasuk permasalahan terbesar pada syubhat para pendeta Nasrani yang mereka
tanamkan kepada akal para pengikutnya adalah bahwa mereka jahil (bodoh)
terhadap bahasa Arab. Lalu mereka menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an yang mulia
kepada bahasa mereka kemudian mengeluarkan hukum jahil mereka berdasarkan
bahasa mereka, bukan berdasarkan kekhususan bahasa, dan lisan Arab. Kemudian
orang-orang awam Nasrani menukil kebodohan tersebut dari pendeta-pendeta
mereka.
Kata [نَحْنُ], nahnu (kami), dalam bahasa Arab tidak harus bermakna lebih
dari satu, karena itu adalah bentuk penghormatan menurut bangsa Arab dalam
bahasa mereka. Para Raja dan panglima, saat mereka menetapkan keputusan, maka
mereka akan menetapkan keputusan tersebut dengan menyebut kata nahnu (kami),
padahal dia hanya satu orang. Akan tetapi kata itu digunakan untuk
mengungkapkan pengagungan dan kedudukan tinggi. Hal tersebut terus berlangsung
hingga hari ini pada sebagian pemimpin bangsa Arab. Oleh karena itu, ketika
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan al-Qur’an yang mulia, Dia menurunkannya
dengan lisan Arab hingga bangsa Arab kala itu tidak pernah memprotes satu kata
atau ayat pun, karena mereka tahu maksud dari al-Qur’an yang mulia. Mereka
hanya menuduh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan tuduhan-tuduhan,
diantaranya adalah tukang sihir atau gila. Akan tetapi tidak ada seorang pun
yang berani menuduhnya tentang ayat-ayat al-Qur’an, karena pengetahuan mereka
bahwa ayat-ayat tersebut sesuai dengan bahasa dan lisan mereka.
Jika bangsa
Arab menggunakan lafazh nahnu (kami) karena mengagungkan urusan mereka, maka
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih berhak dengan pengagungan itu dan
lebih layak dengannya dari setiap orang. Oleh karena itu, kata nahnu (kami)
adalah untuk pengagungan dalam ayat-ayat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara
kepada manusia, bukan untuk penggandaan.
Di antara
perkara yang menolak kerancuan pemahaman tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal terhadap hak Dzat-Nya secara nyata dan
berfirman kepada manusia dengan firmanNya Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ
إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan
Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2): 163)
Dan
firmanNya:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah:
“Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlash (112): 1)
Maka yang
demikian itu menunjukkan akan kebatilan keyakinan Trinitas, berbeda dengan
klaim mereka, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka.
Oleh karena
itu, sesungguhnya saya menasihatkan kepada setiap orang Nasrani yang mencari
kebenaran untuk mempelajari kekhususan bahasa dan lisan Bangsa Arab yang mereka
itu tidak pernah mengingkari perbedaan bentuk pembicaraan dalam al-Qur’an yang
mulia, dimana kadang datang dengan bentuk jamak (plural), dan kadang dalam
bentuk mufrad (tunggal). Jika para pembesar yang ahli bahasa, fasih dalam
berbicara dan bersya’ir di zaman turunnya al-Qur’an tidak pernah walaupun
sekali mengingkari (memprotes) macam-macam penggunaan bentuk pembicaraan dalam
al-Qur`an yang mulia, maka bagaimana mungkin selain mereka, yang bukan bangsa
Arab, juga bukan dari kaum muslimin pada zaman ini mengingkari ragam bentuk
pembicaraan al-Qur’an yang mulia?!*
_
Syubhat: Assalamu Alaikum Warahmatullah
Wabarakatuh.
Saya pembaca
majalah Qiblati dan rubrik yang paling saya sukai adalah yang berkenaan dengan
masalah kristenisasi, berhubung saya juga adalah pengajar kristologi di sebuah
tadrib ad-duaat di Makassar yang senantiasa mengirim dai-dainya ke daerah misi
di wilayah Timur Indonesia.
Saya sering
menerima pertanyaan dari pendeta, khususnya mengenai syubhat-syubhat mereka
terhadap al-Qur`an. Sementara ini saya sedang menulis buku menjawab pertanyaan
para misionaris mengenai keraguan mereka akan ajaran Islam. Ada satu hal yang
belum bisa saya jelaskan yakni mereka mengatakan bahwa dalam al-Qur`an juga
terdapat pertentangan ayat. Mereka mencontohkan dalam QS. As-Sajadah: 5
“Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya
dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu”
Menurut
misionaris ini bertentangan dengan QS.Al-Maarij: 4
“Malaikat-malaikat
dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh
ribu tahun”
Dalam ayat 5
QS. As-Sajadah kadar urusan naik ke langit disebutkan sama dengan 1000 tahun
sementara dalam ayat 4 QS. Al-Maarij disebutkan 50.000 tahun. Maka bagaimanakah
jawabannya? Saftani Muhammad <*******@yahoo.co.id>
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuhu
Pertama,
saya sampaikan salam kepada Anda dan para saudara yang bersama Anda atas peran
Anda dalam memberikan hidayah kepada manusia dan menghadapi usaha pemurtadan
para misionaris. Mudah-mudahan Allah membalas Anda dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya
dua ayat tersebut menjelaskan bahwa ukuran sehari di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala ada dua macam.
Macam yang
pertama, maka ayat pada surat al-Ma’arij (70) tersebut berbicara tentang
kejadian hari kiamat dan kedahsyatannya. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang
hari kiamat dan kedahsyatannya, dan apa yang terjadi padanya dari
kejadian-kejadian besar, dan tanda-tanda kekuasaan yang jelas. Termasuk bagian
dari kedahsyatannya adalah panjangnya hari tersebut yang menyamai lima puluh
ribu tahun dari tahun dunia. Dan ayat tersebut adalah ayat keempat dari surat
al-Ma’arij (70), dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ (١)
لِلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ (٢) مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ (٣)
تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ
خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤) فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلا (٥) إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ
بَعِيدًا (٦) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (٧) يَوْمَ تَكُونُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ (٨)
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ (٩) وَلا يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا (١٠)
“Seseorang
telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa, orang-orang kafir, yang tidak
seorangpun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, yang mempunyai
tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan
dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan
sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil).
Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). Pada hari ketika langit
menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang
berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,..” (QS. Al-Ma’arij: 1-10)
Dan yang
menunjukkan atasnya adalah hadits Abu Hurairah Radiallahu Anhu, bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
« مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا
إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ ،
فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ
وَظَهْرُهُ ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ
خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ
إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ »
“Tidak
ada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan darinya haknya, kecuali jika
pada hari kiamat akan dilempengkan untuknya lempengan-lempengan dari api
neraka, lalu dia dipanggang di atas api neraka Jahannam, kemudian dicoskan ke
lambungnya, kening dan punggungnya. Setiap kali menjadi dingin, maka
dikembalikan lagi, pada satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun.
Hingga diputuskan antara para hamba lalu dia melihat jalannya, apakah ke sorga
ataukah ke neraka.” (HR. Muslim (987))
Ibnu ‘Abbas
Radiallahu Anhuma berkata, ‘Ini adalah hari kiamat, Allah menjadikannya atas
orang-orang kafir seukuran lima puluh ribu tahun.’ (Diriwayatkan at-Thobariy di
Jami’ul Bayan (23/602))
Macam yang
kedua; yaitu ayat-ayat yang tidak berbicara tentang panjangnya hari kiamat,
akan tetapi berbicara tentang panjangnya hari-hari yang ada di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan ukurannya dibandingkan dengan hari-hari dunia yang kita
menghitungnya adalah hari-hari yang Allah mengadakan makhluk dan mengaturnya,
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa satu hari disisi-Nya setara dengan
seribu tahun dari hari-hari kita ini. Hal itu juga datang dalam surat al-Hajj
(22), pada ayat ke 47, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ
يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا
تَعُدُّونَ
“Dan
mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali
tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah
seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)
Juga datang
pada surat as-Sajdah (32), pada ayat kelima, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
دَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى
الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ
مِمَّا تَعُدُّونَ – ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ
الرَّحِيمُ
“Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam
satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu yang demikian
itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa
lagi Maha Penyayang.” (QS. As-Sajdah (32): 5-6)
Dan tampak
dengan jelas pada bentuk kedua ayat tersebut bahwa pembicaraan di dalamnya
adalah tentang hari-hari Allah yang di dalamnya terdapat penciptaan dan
pengaturan-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifatinya dengan menyatakan
bahwa ukurannya mencapai seribu tahun dari hari-hari dunia.
Dengan ini,
menjadi jelaslah kedua macam bentuk yang lalu dari ayat-ayat tersebut hanyalah
berbicara tentang hari-hari yang berbeda, bukan hari-hari yang satu. Maka hari
yang ada pada ayat al-Ma’arij (70) adalah hari pada hari kiamat, dan ukurannya
adalah lima puluh ribu tahun, adapun hari pada dua ayat surat al-Hajj (22) dan
as-Sajdah (32) adalah hari di sisi Allah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengurusi berbagai perkara di dalamnya, dan ukurannya adalah seribu tahun.
Dari sini
jelas, bahwa tidak ditemukan kontradiksi di antara ayat-ayat tersebut, akan
tetapi kontradiksi itu ada pada akal-akal para pendeta Nasrani yang menyangka
bahwa al-Qur’an yang mulia seperti kitab-kitab suci mereka yang harus ada
kontradiksi sebagian terhadap sebagian yang lain.*
_
Syubhat: Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau
tanya adakah hukum di kristen tentang larangan makan babi, saya pernah dengar
katannya ada, untuk menyanggah fitnah teman yang kebetulan kristen, dia selalu
tanya “kenapa kalian tidak boleh makan babi”. Dan “katanya nabimu dulu senang
makan babi sehinga kalian sekarang gak boleh makan,” mohon bantu jawab fitnah
ini… wassalamu ‘alaikum. wr. wb. (IVAN, Batam)
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah
wabarakatuhu.
Kita tidak
boleh memakan babi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya.
Allah Sang Pencipta telah memberitahukan bahwa hewan itu najis, tidak halal
bagi seorang muslim untuk memakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا
مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua
itu najis (kotor)…” (QS. Al-An’am (6): 145)
Tidak
disebutkan di dalam syari’at alasan khusus pengharaman daging babi selain
firman-Nya: “Karena sesungguhnya itu adalah
najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh
syari’at dan fitrah yang lurus, dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat
juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya dari makanan-makanan
yang diharamkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“… dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157)
Maka, segala
yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah buruk, dan
perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini adalah apa-apa
yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia dan pada
kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah
kaum muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui rincian menjijikannya
babi, serta alasan pengharamannya. Hingga datang penemuan-penemuan modern yang
menemukan bahwa pada babi terdapat faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri
yang membahayakan. Diantaranya adalah bahwa babi, daging yang dimakan oleh
manusia akan melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada
babi (T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh darah
manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa mematikan.] yang
benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di dalam lambung manusia
dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat cacing lambung. Bahkan
cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging manusia dengan bentuk yang
kedokteran hingga hari ini belum mampu membebaskan manusia darinya setelah dia
tertimpa penyakit itu. Dan itu akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu
diberi nama Treichine [footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat
babi. Diketahui bahwa Babi adalah sarang bakteri, virus dan penyakit:
1. influenza (flu babi) 2. Balantidium Dysentery 3. Fasciolopsis
Buski 4. Taenia Solium (cacing pita) 5. Ascaris (ular perut)
6. Trichinella Spiralis 7. Zoonoses], dari sini tampaklah hikmah
pengharaman daging babi dalam Islam.
Telah
disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse Encyclopedia
Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine) akan berpindah ke
manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot, terutama di dada,
kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya akan tinggal terlindungi
dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin
terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan pengharaman, bahkan mungkin ilmu
pengetahuan yang telah menemukan penyakit ini pada babi akan menemukan
penyakit-penyakit lain di kemudian hari yang sekarang ini kita belum
mengetahuinya. Karena itu, tidak akan diterima di dalam Islam pendapat orang
yang mengatakan bahwa pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara
metode teknis pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu
memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan bahwa nash syari’at itu
mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan bahwa terdapat
madharat lain bagi Babi yang belum ditemukan, dan ilmu pengetahuan terus
menerus berkembang.
Hendaknya
diperhatikan juga bahwa jika memungkinkan memelihara babi dengan metode teknik
yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada waktu atau tempat atau banyak
tempat dari pusat-pusat peradaban dunia, maka sesungguhnya hal itu tidak
mungkin dilakukan pada seluruh penjuru bumi. Dan hukum syar’i wajib sesuai dan
cocok untuk seluruh manusia di seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman
tersebut bersifat umum dan menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam suka daging babi, maka itu adalah
kedustaan yang nyata.
Saya ingin
memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum, sebuah hadiah dari
kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya babi ini:
Markus
(5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari
makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke
dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan
mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan
babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam
danau dan mati lemas di dalamnya.’
Lihatlah
juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6)
“Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu
melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan
kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”
II Petrus
(2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing
kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.”
Adapun pengharaman
babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8) Nevertheless these shall ye not eat of
them that chew the cud, or of them that divide the hoof: as the camel, because
he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the
coney, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean
unto you. And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof;
he is unclean unto you. And the swine, though he divide the hoof, and be
clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their flesh
shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are unclean to
you. [footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan pada edisi
Terjemahan Resmi: ‘Tetapi
inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak atau dari yang
berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah;
haram itu bagimu. Juga pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak
berkuku belah; haram itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak,
tetapi tidak berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan,
karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak
memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu
makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.’ (Imamat
11: 4-8)
Terjemahan
inipun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari: ‘Jangan makan babi. Binatang itu
haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat:
11:7)]*
_
Syubhat: Qiblati memang “HEBAT” tolong kupas
tuntas agama NASRANI biar dia gak nyari-nyari kelemahan agama kita dan kasih
kisah muallaf. Maju terus pantang mundur..!! Faturahman, Madinah
Jawab: Kami berterima kasih kepada Anda
atas nasihat ini, dan kami berada di atas jalan kami untuk merealisasikan
permintaan tersebut Insya Allah, bersamaan dengan kebutuhan kami terhadap do’a
Anda agar Allah memudahkan kepentingan kita ini, sebagaimana kita tidak lupa
untuk berdo’a kepada orang Nasrani agar mendapatkan hidayah. Kita sangat
berambisi atas hidayah mereka. Kami adalah pembawa rahmat bagi para hamba-Nya,
dan kami mendakwahi manusia dengan cara yang terbaik, sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita. [*]
_
Bagian
2
Syubhat: Mengapa shalat pada agama Anda
dengan bahasa Arab? Apakah Allah tidak faham kecuali bahasa Arab?
Jawab: Saya berterima kasih atas
pertanyaan Anda yang penting ini. Anda memiliki hak untuk mengetahui
jawabannya. Anda harus mengetahui bahwa menurut kaum muslimin, di dalam shalat
terdapat tiga perkara:
Pertama,
membaca al-Qur’an, dan ini tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, dan akan
saya jelaskan nanti sebabnya apa.
Kedua,
lafazh-lafazh dan ungkapan di dalamnya adalah bersifat tauqifiy (paten),
tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab.
Ketiga,
do’a, boleh bagi orang yang tidak bisa berbahasa Arab (atau tidak hafal doa
yang berhasa Arab) untuk berdo’a dengan bahasanya, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala memahami seluruh bahasa. Dialah yang menciptakannya dan Dialah yang
mengadakannya (tetapi tetap diajurkan untuk belajar berdoa berbahasa Arab yang
ada dalam al-Quran dan Sunnah).
Dari sini
kita bisa memahami, bahwa boleh menggunakan bahasa apa pun dalam do’a di dalam
shalat, jika orang yang shalat tidak mengetahui bahasa Arab. Ada pun membaca
al-Qur`an, maka tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, sama saja apakah di
dalam shalat atau pun di luar shalat, karena sebab berikut:
1. Karena
al-Qur`an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak boleh bagi kami untuk
mengubah atau mengganti firman itu walaupun satu huruf.
2. Karena
membaca setiap huruf al-Qur`an adalah bernilai satu kebaikan, dan satu kebaikan
berlipat sepuluh kali lipatnya. Seandainya al-Qur`an diterjemahkan, maka
pastilah jumlahnya akan bertambah atau berkurang.
3. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kitab-Nya (al-Qur’an) dari penggantian dan
perubahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS.
Al-Hijr: 9)
Seandainya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bagi setiap orang untuk membaca al-Qur’an
dengan bahasa masing-masing, maka pastilah hal itu akan menjadikan perubahan
al-Qur’an seperti yang terjadi pada Taurat dan Injil. Selanjutnya, bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga al-Qur’an dari pengubahan dengan bahasa Arab.
4. Bolehnya
membaca al-Qur’an dengan sejumlah bahasa itu akan membawa kepada kerancuan
besar dalam makna al-Qur’an, karena manusia akan berbeda dalam menerjemahkan.
Masing-masing orang akan mengklaim bahwa terjemahannyalah yang benar, yang
kemudian terpecahbelahlah kaum muslimin.
Terakhir,
saya ingin Anda memahami bahwa asal syubhat ini adalah kedengkian yang
disebabkan akan kegelisahan orang-orang Nasrani terhadap keunggulan
bahasa ‘Arab di atas bahasa Latin di negeri Andalusia (Spanyol). Tatkala Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuasaan kepada kaum muslimin di negeri
Andalusia, mereka mendirikan satu peradaban yang menyinari seluruh negeri
Eropa, dan menyebarkan agama Islam serta bahasa Arab di antara
putra-putra Andalus. Bersamaan dengan pertengahan abad IX M, mimpi terbesar
orang-orang awam di Eropa kala itu adalah agar anak-anak mereka bisa belajar di
Universitas Cordova, di hadapan para ilmuwan kaum muslimin yang telah menyalakan
lampu peradaban, dan menyinari kegelapan Eropa yang kelam dengan ilmu dan
karya-karya mereka.
Adalah para
pemuda dan pencari ilmu serta orang-orang terpelajar di Eropa melahap bahasa
Arab bukan karena bahasa Arab adalah bahasa penakluk yang dengan kekuatan
pedangnya menguasai pendidikan, akan tetapi karena bahasa itu adalah bahasa
peradaban yang tegak, maka tidak ada jalan untuk bisa mendapatkannya kecuali
dengan menguasainya.
Bahkan
Gereja di Sevillah terpaksa menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Orang-orang
Nasrani yang telah belajar bahasa Arab bisa membacanya. Sebagaimana Bapa
Paul Alvarez, salah satu pendeta di masa itu melihat kepada para pemuda Eropa
yang keluar dengan diam-diam dari peradabannya dengan pandangan gelisah, seraya
meletakkan kepalanya di antara dua tapak tangannya, seperti orang-orang lain
yang fanatik terhadap kaumnya, yang tidak ingin menoleh kepada sejarah dan
perjalanan peradaban. Dia menulis:
“Sesungguhnya
orang-orang Nasrani suka membaca bait-bait sya’ir Arab dan periwayatan mereka.
Mereka belajar kepada para ilmuwan agama dan filosof Arab. Bukan dengan tujuan
untuk mendebat mereka, akan tetapi untuk mendapatkan bahasa Arab yang benar dan
anggun. Di manakah orang-orang biasa, yang membaca pelajaran al-Kitab dengan
bahasa Latin? Atau mempelajari kisah-kisah para Nabi dan orang-orang suci?
Duhai ruginya, sesungguhnya seluruh pemuda Nasrani yang berbakat membaca
buku-buku berbahaa Arab, dan mempelajarinya dengan penuh semangat. Mereka
mengumpulkan perpustakaan besar dengan biaya besar. Mereka tidak menghargai
pendidikan keNasranian yang keberadannya sudah tidak layak untuk dipentingkan.
Betapa celakanya… orang-orang Nasrani telah lupa, hingga kepada bahasa mereka
sendiri. Di antara seribu orang, Anda akan sulit mendapatkan satu orang saja
yang bisa menulis surat kepada temannya dengan bahasa latin.” (Tarikh Andalus
(123))
Ya,
orang-orang Spanyol yang lebih mengutamakan tetap tinggal sebagai orang-orang
Nasrani, yang jumlah mereka adalah minoritas bila dibandingkan dengan orang yang
mengesakan Allah dan masuk Islam telah memilih bahasa Arab yang tidak
diwajibkan atas mereka. Inilah yang diakui oleh Alvares dalam persaksiannya di
atas.
Sekarang,
marilah kita bandingkan antara toleransi Islam dalam mempergauli selain muslim
dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Katolik saat Granada jatuh, dimana
mereka mengharamkan kaum muslimin untuk berbicara dengan bahasa Arab, lalu
mereka mewajibkan bahasa mereka dengan paksa. Barangsiapa ditemukan membawa
buku berbahasa Arab, maka dia akan dihukum dengan hukuman paling kejam. Mereka
pun membakar ribuan buku berbahasa Arab yang berisi syariat (ajaran agama),
termasuk ilmu duniawi.
Ini semua
menjelaskan kepada setiap peneliti yang obyektif akan perbedaan Islam dengan
Nasrani. Sekarang tahukah Anda akan sumber kebencian terhadap bahasa Arab?*
_
Syubhat: Anda mengklaim bahwa ajaran
Islam yang pokok adalah “Tauhid.” Pengakuannya: “Tiada Tuhan selain Allah
dan hanya kepada Dialah kita wajib sembah sujud dan meminta pertolongan” (QS.1
Al-Fatihah 5). Apakah kiblat dan konsep “Rumah Allah” sesuai dengan
konsep Tauhid?
Jawab: Ya, sesuai dengan konsep tauhid.
Karena berkumpulnya kaum muslimin di sekitar satu rumah yaitu Baitullah, dan
menghadapnya mereka dengan satu kiblat yang sama yaitu Ka’bah, dan bacaan
mereka hanya kepada satu kitab yaitu al-Qur’an, semua itu turut andil dalam
menjaga persatuan kaum muslimin agar tidak terpecah belah dan berselisih.
Ka’bah tidak
lain hanyalah kiblat, yang kaum muslimin menghadap kepadanya dalam shalat
mereka atas perintah Allah. Itu seperti pandangan persatuan mereka, serta
kesatuan tujuan mereka. Mereka menziarahinya, serta thawaf di sekitarnya adalah
demi menjalankan perintah Allah. Kaum Muslimin mengetahui bahwa itu hanyalah
batu, yang tidak mendatangkan madharat, tidak juga memberi manfaat, akan tetapi
kaum muslimin melaksanakan perintah Allah sekalipun belum mengetahui hikmah di
belakangnya. Karena itu termasuk kandungan dari “hanya beribadah kepada Allah
pencipta alam semesta”.
Tidaklah
Islam itu mengajak kecuali hanya menyembah, beribadah dan taat kepada Allah
saja, serta mencabut segala peribadatan kepada selain-Nya, manusia atau pun
batu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّخَذُوا
مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا
يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا
حَيَاةً وَلَا نُشُورًا
“Kemudian
mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang
tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan
tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula
untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan,
menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan (25): 3)*
_
Syubhat: Sesungguhnya saya tidak
mendapatkan seseorang dari para ulama dan da’i kaum muslimin yang kami temui di
Perancis yang bisa menjawab atas sebuah pertanyaan yang banyak menyulitkan
mereka. Yaitu, bagaimana khamer menjadi haram, padahal aslinya adalah anggur
yang halal? Ini hanyalah dari itu. Jawaban mereka selalu berputar sekitar
perubahan kondisi anggur, karena dengan menjadikannya khomer, maka itu
memabukkan. Akan tetapi saya tidak ingin filsafat tersebut, saya ingin
mendapatkan jawaban tanpa masuk dalam rincian; bagaimana sesuatu yang
diturunkan dari anggur atau apel bisa menjadi haram? Maka apakah mungkin bagi
Anda untuk menjawab kami? (Marcell, Perancis)
Jawab: Pertama, izinkanlah saya untuk
menghaturkan terima kasih kepada setiap ulama dan para da’i yang telah menjawab
Anda. Jawaban mereka semua benar. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas
mereka dengan kebaikan. Ada pun berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka
sesungguhnya saya mengetahui apa yang Anda inginkan. Maka janganlah Anda
menyangka bahwa ini termasuk kecerdasan. Bahkan itu adalah pengaburan yang
dilakukan oleh syetan kepada Anda. Dari jawaban saya, Anda akan yakin dengan
kesimpulan saya. Sebelum saya menjawab, saya katakan bahwa dengan logika aneh
seperti itu, yang Anda ingin memaksakannya kepada kami, maka Anda pun akan
mengalami kekalahan dalam pertandingan ini. Saat itu saya ingin Anda untuk
berani mengakui kekalahan Anda. Saya menjawab dengan logika sama yang Anda
ingin memaksakannya kepada kami. Yaitu, seharusnya Anda boleh menikahi putri
Anda, karena dia itu berasal dari istri Anda yang halal, maka putri itu adalah
dari wanita (istri) Anda itu. Sebagaimana Anda lihat saya jawab dengan logika
yang sama, maka seharusnya Anda juga mengakui bolehnya pernikahan bapak-bapak
dengan putri-putri mereka, agar syubhat Anda ini menjadi semakin kuat atas
kami. Saya memohon hidayah kepada Allah bagi Anda.* [Alhilyahblog: Iyas
bin Mu'awiyah al-Muzzani dengan
kecerdasannya juga pernah menjawab pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan
ini]
_
Syubhat: Mengapa saat kaum muslimin
berhijrah dari Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke kiblatnya
orang-orang Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil
mengusir orang-orang Yahudi, Muhammad -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dengan
hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah kiblati dari Baitul
Maqdis ke Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah?
Jawab: Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah
kiblat untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi
kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya perubahan arah kiblat dari
Baitul Maqdis ke Ka’bah. Penghadapan kiblat kearah Baitul Maqdis kala itu
dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk menolak masuk Islam,
dimana mereka di Madinah mengatakan dengan lisan mereka bahwa pengarahan
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang yang bersamanya ke kiblat
(Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil bahwa agama mereka (Yahudi) adalah agama
yang sebenarnya, dan kiblat mereka adalah kiblat yang sebenarnya. Maka
merekalah yang asli dan agama yang benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa
yang lebih utama bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang
yang bersama mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak
mereka untuk masuk Islam.
Pada waktu
yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum muslimin bangsa Arab yang mereka
sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk mengagungkan Baitul Haram dan
menjadikannya sebagai Ka’bah dan kiblat mereka. Perkara itu semakin menjadi
sulit saat mereka mendengar dari orang-orang Yahudi kebanggaan mereka dengan
perkara ini dan menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan yahudi. Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri membolak-balikkan wajah beliau
ke langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya, sebagai
bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang diridhai-Nya. Kemudian
turunlah al-Qur’an mengabulkan apa yang ada di dalam dada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu
dengan firman-Nya:
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ
وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ
“Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya….” (QS.
Al-Baqarah: 144)
Ketika kaum
muslimin mendengar pengalihan arah kiblat, sebagian dari mereka tengah berada
di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan wajah mereka ke arah
Masjidil Haram di tengah shalat mereka dan menyempurnakan shalat mereka ke arah
kiblat yang baru.
Saat itulah
hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang membanggakan mereka, dengan
mengalihkannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang
bersama beliau dari kiblat mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang
menyandarkan kebanggaan mereka kepadanya.
Sekarang,
biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda dan juga kepada kaum muslimin, terutama
para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya kiblat dari Ka’bah pada awal
tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini adalah sebuah kejadian besar di hati
mereka dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah
agar menjadi jelas siapa yang mengikut Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
siapa yang membelot. Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah
mereka. Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin
membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan kepada
selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan dan segala kefanatikan
kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah secara langsung, yang
bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan, maka mencabut mereka dengan
sekali cabutan dari arah baitul haram yang kemudian memilihkan mereka untuk
sementara waktu ke arah masjidil Aqsha, demi membersihkan mereka dari endapan
jahiliyah, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masa jahiliyah agar menjadi
tampak siapa yang mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ikhlas
dan siapa yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang
berkaitan dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.
Dikarenakan
pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka
pasrahlah kaum muslimin dan menghadap ke arah kiblat yang telah ditentukan
untuk mereka. Saat perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala turun untuk mengarah ke
Masjidil Haram, maka hati kaum muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung,
yaitu bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il
‘Alaihima Salam agar menjadi murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.*
_
Bagian
3
Syubhat: Mengapa kaum muslimin menyembah
batu hitam (hajar aswad), dan ini jelas dari perbuatan mereka yang selalu
menciuminya dan sujud ke arahnya.
Jawab: Sesungguhnya pertanyaan Anda
tersebut adalah bukti nyata bagi penipuan dan pembodohan yang dilakukan oleh
sebagian pendeta, karena kaum muslimin tidak sujud kepada hajar aswad, dan
tidak pula menyembahnya. Jadi, darimana para pendeta yang menyimpang itu
mendapatkan pemahaman yang salah ini? Jawabannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
bisa jadi mereka itu adalah orang-orang yang bodoh terhadap agama Islam,
kemudian mereka tularkan kebodohan mereka kepada Anda; atau bisa jadi mereka
sengaja berdusta dan menipu demi menolong kebatilan mereka agar Anda tetap
berada di atas agama mereka, meskipun dengan cara dusta.
Sesungguhnya
hajar aswad adalah dari bebatuan sorga. Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintah Ibrahim ‘Alaihi Sallam untuk membangun Ka’bah, maka dia pun bergegas
untuk meninggikan pondasi bangunan Ka’bah. Kemudian Ibrahim ‘Alaihi Sallam
meminta putranya, Isma’il ‘Alaihi Sallam mencarikan sebuah batu yang nantinya
akan menjadi tanda awal thawaf. Maka saat Isma’il mulai mencari, dia tidak
menemukan. Lalu dia kembali kepada ayahandanya tanpa membawa batu. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala turunkan bersama Jibril ‘Alaihi Sallam sebuah batu dari
sorga yang sekarang berada pada tempatnya hingga hari ini.
Hajar aswad
terdapat di rukun (pojok Ka’bah) sebelah selatan timur di bagian luar Ka’bah.
Keberadaannya sebagai tanda dimulai dan berakhirnya sebuah putaran thawaf, dan
dengannyalah putaran thawaf menjadi sempurna.
Kaum
muslimin saat mencium hajar aswad, mereka melakukannya hanya karena mengikuti
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah memerintahkan kita untuk
mencontoh manasik hajinya, bukan karena menyembah hajar aswad, dan tidak pula
sujud kepadanya, sebagaimana Anda klaim. Kaum muslimin tidak menjadikan satu
perantara pun antara mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan mereka tidak
beranggapan bahwa ada sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk mendatangkan
madharat (bahaya) dan manfaat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka
menafikan (menolak) adanya kekuasaan makhluk apa pun, sebagaimana mereka
beranggapan bahwa hubungan ibadah antara makhluk dan sang Pencipta adalah
hubungan langsung tanpa perantara. Dan bahwa para hamba tidak membutuhkan
perantara yang bisa memberikan pertolongan hingga mereka menuju dan mendekat
kepadanya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan mereka mengaggapnya sebagai
perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah) yang mengeluarkannya dari
agama Islam. Mereka berkeyakinan bahwa segenap ibadah, tidak boleh diarahkan atau
ditujukan kepada makhluk mana pun, apakah makhluk itu seorang malaikat yang
dekat kepada Allah, atau seorang Nabi yang diutus oleh Allah, lebih-lebih lagi
sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat dan memberikan manfaat.
Sesungguhnya
mencium hajar aswad bukanlah sebuah syarat, tidak pula sebuah kewajiban
atas kaum muslimin. Cukuplah Anda ketahui bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab
Radhiallahu ‘Anhu, termasuk murid utama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
saat dia thawaf di sekitar Ka’bah dan datang pada hajar aswad, dia berkata,
إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكِ حَجَرٌ لاَ
تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ
“Sesungguhnya
aku tahu bahwa engkau adalau sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat,
dan tidak bisa memberikan manfaat, seandainya saja aku tidak melihat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menciummu, maka aku tidak akan pernah menciummu.”
Sesungguhnya
perkataan khalifah ini adalah sebuah ketetapan yang menguatkan sebuah aqidah
(keyakinan) yang sangat penting, yaitu bahwa kami tidak menyembah batu dan kami
tidak menyentuhnya agar mengangkat madharat atau memberikan manfaat, tidak juga
berdo’a memohon kepadanya. Akan tetapi kami menciumnya hanya karena Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menciumnya. Ini adalah sebuah penjelasan dari Khalifah Umar
Radhiallahu ‘Anhu kepada umat Islam, serta sebagai pelajaran sekaligus nasihat
yang dalam dari pelajaran aqidah yang shahih, dan sebagai bentuk ittiba’
(mengikut) Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.*
_
Syubhat: Apakah bisa kami fahami, bahwa
kaum muslimin dengan shalat mereka menghadap ke Ka’bah, berarti mereka itu
menyembah Ka’bah selain Allah? Apakah Ka’bah itu adalah rumah Allah? Apakah
kalian berkeyakinan bahwa Allah bertempat tinggal di dalam sebuah rumah di
Makkah?
Jawab: Dulunya, kami berharap agar ada
salah seorang pendeta yang mau ikut dalam dialog damai ini di majalah Qiblati,
daripada mereka menanamkan tipu muslihat atas agama Islam ini kepada akal Anda.
Namun biar bagaimana pun, saya akan menjawab Anda. Saya katakan: sesungguhnya
Ka’bah tidaklah disembah selain Allah, akan tetapi kaum muslimin menghadap
kepadanya dalam shalat dan thawaf mengelilinginya, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memerintahkan mereka untuk melakuklan yang demikian. Maka kaum
muslimin, dengan perbuatan tersebut adalah sekedar mentaati perintah Rabb
(TUHAN) mereka, bukan menyembah Ka’bah. Inilah ibadah yang benar, yaitu
mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dulu, jika ada seorang muadzdzin (tukang adzan) ingin adzan, maka dia menaiki
Ka’bah dengan kedua kakinya, kemudian mengeraskan suara adzan di atas atap
Ka’bah. Maka apakah bisa diterima oleh akal, bahwa sesuatu yang disembah
kemudian dinaiki/diinjak dengan kedua kakinya?!!
Kemudian,
istilah baitullah (rumah
Allah) tidaklah mesti bermakna bahwa Allah bertempat tinggal di dalamnya,
karena setiap masjid di manapun berada di dunia ini adalah disebut
baitullah (rumah-rumah Allah). Dinamakan demikian karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala disembah di dalamnya, bukan karena Allah tinggal di dalamnya. Bahkan
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kehormatan darah
seorang muslim lebih agung di sisi-Nya daripada kehormatan Ka’bah yang
dimuliankan oleh Allah. Suatu hari, Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah
melihat ke Ka’bah seraya berkata, ‘Betapa agungnya engkau, betapa agungnya
kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya daripadamu.’ (HR.
at-Turmudzi (1955), Shahih at-Turmudzi (2032))
Tidaklah
kehormatan darah dalam syariat Islam terbatas atas pemeluk Islam saja, tetpi
juga berlaku bagi non muslim. Allah telah menjadikan Islam menjaga darah,
sebagaimana ia juga menjaga harta dan kehormatan. Di antara orang-orang yang
aman darah mereka (tidak boleh diganggu) adalah orang-orang yang datang ke
negeri Islam, maka mereka masuk di bawah perjanjian dengan kaum muslimin dan
suaka mereka. Jadi mereka adalah orang-orang yang terlindung darah mereka. Hal
ini ditetapkan berdasarkan teks-teks syariat dan kesepakatan umat Islam.*
_
Syubhat: Telah lewat bahwa Anda telah
mengatakan pada salah satujawaban Anda terhadap Surat Wanita Nasrani,
bahwa anjing adalah najis, dan bahwa malaikat tidak mau turun dengan kehadiran
anjing. Ini adalah ucapan dari Anda tanpa dalil akal (logika) yang bisa
menjadikan non muslim puas dengannya. Kami tidak menginginkan sebuah dalil pun
dari al-Qur’an, atau ucapan Nabi Anda, karena kami tidak mengakuinya. Akan
tetapi kami menginginkan dalil penafian keberkahan dari anjing, dan ini adalah
mustahil, karena anjing adalah hewan yang diciptakan oleh Allah, jadi dia itu
diberkahi. Kami pun juga bisa mengatakan bahwa domba-domba yang Anda pelihara
adalah hewan-hewan najis, dan tidak diberkahi. Akan tetapi kami berkeyakinan
bahwa anjing dan kambing memiliki manfaat besar terhadap manusia, dan Allah
telah menjadikannya diberkahi agar seluruh manusia bisa mengambil faidah
darinya. Saya mohon Anda menetapkan ucapan Anda dengan logika, jika tidak, maka
ucapan Anda tidak ada gunanya bagi kami.
Jawab: Sesungguhnya saat saya menjawab
dari al-Qur’an dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penyebabnya
adalah karena penanya yang Nasrani tersebut menuduh kaum muslimin bahwa para
malaikat lari dari anjing (takut anjing). Maka untuk membuktikan ketidakbenaran
tuduhan tersebut saya haruslah berdalil dengan al-Qur’an dan sabda Nabi kami
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun berkaitan dengan permintaan Anda akan
sebuah dalil logika akan kenajisan anjing dan tidak adanya keberkahan padanya,
maka saya jawab sebagai berikut:
Berkenaan
dengan kenajisan anjing, maka tidak membutuhkan dalil logika. Ilmu modern telah
membuktikan bahwa anjing membawa penyakit dalam. Dimana dia membawa lima puluh
virus. Dan kebanyakan ditemukan di air liurnya. Sebagaimana telah ditetapkan
oleh ilmu modern bahwa air liur anjing berbeda dengan air liur hewan lain. Anda
bisa dengan mudah mengecek kebenaran pernyataan ini, karena hal itu telah
masyhur dan diketahui oleh para ilmuwan Nasrani dan selain mereka.
Adapun klaim
Anda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan keberkahan pada
anjing, maka ini adalah sebuah ucapan tanpa bukti (dan berkata atas nama Allah
secara dusta). Maka di sini saya yang meminta Anda untuk mendatangkan dalil
logika untuk menetapkan kebenaran klaim Anda. Saya yakin, Anda tidak akan
bisa menetapkannya, dan saya akan menetapkan tidak adanya keberkahan pada
anjing sepanjang Anda bertanya kepada saya.
Pertama,
bukanlah menjadi sebuah syarat bahwa setiap makhluk yang dicipatakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah diberkahi. Jika tidak demikian, maka syaitan yang
terkutuk pun adalah makhluk ciptaan Allah, dan sungguh mustahil dia diberkahi.
Adapun
tercapainya keberkahan bagi anjing, maka saya akan membuat perumpamaan yang
terdiri dari sejumlah pertanyaan, dan jawabannya akan menghantarkan Anda kepada
kebenaran masalah ini:
Berapa kali
anjing hamil dalam setahun? Yang dikenal adalah dia hamil 3 hingga 4 kali.
Berapa kali
kambing hamil dalam setahun? Yang diketahui adalah sekali atau dua kali.
Berapa
anjing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah sekitar
enam hingga delapan anjing.
Berapa
kambing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah satu, dan
jarang sekali dua.
Maka kita
akan menemukan dengan bahasan angka bahwa anjing lebih banyak
perkembangbiakannya daripada kambing. Akan tetapi kenyataannya bahwa jumlah
kambing jauh lebih banyak daripada jumlah anjing.
Saya
bertanya kepada Anda, mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya jawabannya adalah
karena sebab keberkahan yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada
kambing-kambing. Dan tidak menjadikannya pada anjing. Disini lah saya berjanji
dan meminta kepada setiap muslim dan muslimah yang membaca ucapan ini untuk
berkata Allahu Akbar.
Saya juga
ingin Anda mengetahui perkara penting lain, yaitu bahwa kami bisa mengambil
manfaat dari segala sesuatu yang berasal dari kambing; kulit, daging, tulang,
dan tanduknya, (bahkan juga kotorannya untuk pupuk). Adapun anjing, maka jika
dia mati maka tidak bisa diambil darinya sesuatu pun. Sebagaimana Anda juga
jangan lupa bahwa setiap Nabi adalah penggembala kambing (bukan pemelihara
anjing). Akan tetapi mustahil bagi seseorang untuk berbangga, apapun agamanya,
bahwa dia adalah seorang penggembala anjing.
Saya
berharap Anda tidak fanatik kepada anjing, setelah saya menjawab Anda akan
najisnya anjing dengan dalil logika yang Anda inginkan, serta ketidak
berkahannya. Dan kambinglah yang membawa keberkahan. Dan terima kasih bagi
Anda.
_
Syubhat: Anda kaum muslimin menolak ilmu
modern, dan ini jelas dengan penafian kalian akan berputarnya bumi.
Jawab: Syubhat ini menunjukkan akan
kelemahan Anda yang amat sangat. Ketika Anda tidak menemukan sesuatu pun yang
bisa Anda pegang untuk mengalahkan kaum muslimin, maka Anda pun mencari-cari
pada catatan kuno Anda, barangkali Anda mendapatkan sesuatu yang merugikan
kami. Biar bagaimanapun, permasalahan rotasi bumi bukanlah termasuk ilmu
syar’i. Akan tetapi itu adalah permasalahan ilmu dunia. Sebagian besar agama,
termasuk diantaranya adalah Nasrani, semuanya menafikan rotasi bumi, sebagai
bentuk tertinggalnya keilmuan ratusan tahun lalu yang manusia hidup di
dalamnya, bila dibandingkan dengan keadaan kita pada hari ini.
Bahkan Bibel telah pergi lebih jauh dari hal tersebut. Bibel bahkan
menganggap bahwa bumi ini persegi empat, dan ini adalah ucapan yang lebih buruk
dari penafian rotasi bumi. Disebutkan dalam (Yehezkiel 7: 2), حزقيال 7 : 2 (قَدْ جَاءَتِ النِّهَايَةُ عَلَى زَوَايَا الأَرْضِ
الأَرْبَعِ) “ akhirnya
bisa datang ke empat penjuru (pojok) bumi.”
Agar saya
bersikap obyektif dan amanah, maka dalam jawaban ini saya juga katakan bahwa
ada sebagian ulama muslim yang menafikan rotasi bumi karena keyakinan mereka
bawa bumi ini datar, bukan bulat. Kemudian setelah mereka, datanglah sejumlah
penuntut ilmu yang taklid kepada mereka dan menukil dari mereka tanpa
pemahaman. Akan tetapi wajib bagi kita untuk perhatian terhadap satu perkara
penting, yaitu bahwa terdapat satu perbedaan besar antara pemahaman yang salah
dengan penyebutan Bibel bahwa bumi ini persegi empat. Dan sebaliknya kita
temukan bahwa al-Qur’an telah mensifati bumi dengan bentuk bola.
Setelah
kemajuan ilmu yang dialami oleh manusia, maka pandangan ilmiah pun berubah pada
mayoritas muslim dan Nasrani serta selain mereka. Kemudian mereka pun
berkeyakinan akan rotasi bumi. Kemudian tetap tersisa sejumlah kecil dari
seluruh agama yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya yang lahir dari para
pendahulunya, yaitu bahwa bumi tidak berotasi. Ini adalah buah dari kekurangan
besar dalam memahami masalah rotasi bumi. Mereka menyangka dengan pemikiran
sederhana bahwa rotasi bumi tidak bisa dirasakan. Sebagaimana mereka menyangka
bahwa seandainya terjadi rotasi bumi, maka termasuk perkara yang mustahil kita
bisa tetap tegak di permukaannya. Ini adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan
ketiadaan penguasaan teori ilmiah dan ilmu falak.
Yang wajib
Anda fahami adalah bahwa al-Qur’an tidak menafikan rotasi bumi. Lihatlah apa
yang dikatakan oleh salah satu ulama besar kaum muslimin zaman ini, yaitu
Syaikh al-Albani rahimahullah. Dia berkata, ‘Kami, pada dasarnya tidak
meragukan bahwa masalah rotasi bumi adalah sebuah hakikat ilmiah yang tidak
menerima perdebatan. Pada waktu yang kita berkeyakinan bahwa bukan termasuk profesi
syariat secara umum dan al-Qur’an secara khusus berbicara tentang ilmu falak,
dan rincian ilmu falak… (Kaset no. I/497)
Perlu
diketahui bahwa ahli falak kaum muslimin, dulu adalah orang yang pertama kali
menetapkan rotasi bumi beratus tahun yang lalu, kemudian diikuti oleh sejumlah
ulama syariat.
Sekalipun
masalah rotasi bumi ini bukan masalah aqidah, tetapi terdapat sebagian ulama
Islam yang menafikan rotasi bumi dan banyak juga ulama kaum muslimin yang
mengatakan rotasi bumi. Dari sinilah kami memahami bahwa syubhat tersebut tidak
memiliki nilai sama sekali dalam dialog antara kami dengan Anda. Terutama bahwa
saya termasuk orang yang menetapkan rotasi bumi. Boleh bagi Anda untuk melihat
kembali pada pembahasan saya dalam majalah ini dari edisi 11 tahun II hingga
edisi 09 tahun III. Dan sesungguhnya orang yang menafikan rotasi bumi tidak
akan masuk neraka sebagaimana orang yang menetapkan rotasi bumi juga tidak
masuk sorga (karenanya). Maka barangsiapa mati di atas keyakinan ini atau itu,
maka dia tidak akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. Oleh karena itulah,
kami menginginkan agar dialog diantara kita adalah dalam permasalahan aqidah
agama yang keyakinan terhadapnya bisa menghantarkan ke sorga atau berakibat
neraka.
Sebagai
penutup, saya selalu menyambut Anda sebagai seorang tamu di majalah Qiblati,
termasuk seluruh pembaca Nasrani. Anda sekalian memiliki hak untuk bertanya
sesuka Anda, maka hati kami terbuka untuk semuanya.*
_
Bagian
4
Terima kasih
atas jawaban Syeikh Mamduh dalam edisi Nopember 2010 mengenai
“jawaban syubhat kristiani dan syiah.” Selanjutnya saya masih butuh
penjelasan atas dua hal yang sering dituduhkan oleh umat kristiani terhadap
Al-Quran yang mulia. Saya memperoleh pertanyaan dari misionaris mengenai
Al-Quran:
Syubhat
(1): Penyebutan
Maryam ibu Yesus sebagai saudara perempuan Harun dan anak kandung Imran
(QS.19:28) [footnote: Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ
أُمُّكِ بَغِيًّا "Hai
saudara perempuan Harun[902], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat
dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” (QS. Maryam:
28)]
Mereka
menganggap Allah Subhanahu wa Ta’ala mengira Maryam saudara perempuan Musa dan
Harun yang adalah anak Imran. Padahal antara keduanya ada selisih waktu sekitar
1400 tahun. Mengapa Maryam disebut saudara perempuan Harun? Menurut misionaris,
ini adalah kesalahan penulisan Sejarah dalam al-Qur’an.
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya orang-orang yang
membuat keragu-raguan tentang al-Qur’an tidak mengetahui kalau penyebutan ukhtu Harun (saudari
Harun) bukanlah penamaan pertama kali oleh al-Qur’an, melainkan al-Qur’an hanya
mengisahkan apa yang pernah terjadi, yaitu apa yang dikatakan oleh kaum Maryam
kepadanya, dan panggilan yang mereka lontarkan kepadanya saat dia mengandung
‘Isa ‘Alaihi Sallam. Mereka mengingkari kehamilan tersebut, lalu menuduh
kehormatan, kemuliaan, dan kesuciannya. Maka mereka berbicara dengannya dengan
panggilan ya ukhta
Harun (Wahai saudari Harun), maksudnya adalah ‘Engkau dari
keluarga baik-baik, suci, lagi dikenal keshalihan, ibadah dan kezuhudannya,
maka bagaimana hal ini bisa terjadi pada dirimu?’
Sekalipun
telah pasti bahwa orang-orang Yahudi berbicara dengannya dengan panggilan wahai saudari Harun,
tetapi para ulama ahli tafsir telah berselisih pendapat akan penentuan pribadi
tersebut. Di antara mereka ada yang menyebut bahwa dia adalah Nabi Harun,
saudara Musa ‘Alaihi Sallam. Di antara mereka ada yang menyebut bahwa dia
adalah seorang laki-laki shalih dari kaumnya pada masa itu di mana Maryam
‘Alaiha Salam mencontohnya dan menyerupainya dalam kezuhudan, ketaatan, dan
ibadah. Maka dia pun dinisbatkan kepadanya. Maka jadilah maksud mereka dalam
pembicaraan itu adalah, ‘Wahai orang yang serupa, dan meniru laki-laki shalih
itu, tidaklah ayahmu seorang keji, tidak juga ibumu seorang pelacur, maka
darimana anak di perutmu itu?’
Perlu
diketahui pula bahwa kala itu banyak tersebar nama Harun di tengah Bani Israil
hingga hari ini.
Apakah yang
dimaksud itu adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam atau Harun lain yaitu seorang
shalih kala itu, maka bagi kami hal ini tidak penting, karena al-Qur’an
hanyalah menceritakan dan menukil apa yang terjadi kala itu.
Jika kita
mengambil kemungkinan pertama, yaitu bahwa yang dimaksud adalah Nabi Harun
‘Alaihi Salam, maka yang dimaksud oleh orang-orang Yahudi adalah bahwa dia
termasuk dari keturunannya. Kemudian saya akan membuat satu contoh
dari Bibel. Dan itu adalah sebuah pukulan menyakitkan bagi para pembuat
keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut, sebuah pukulan telak yang membantah
syubhat tersebut.
Bibel telah
menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi menyebut Yesus dengan Putra Dawud: “Ketika
Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil
berseru-seru dan berkata: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.” (Matius (9:27))
Maka apakah
Yesus benar-benar Anak Dawud? Tentu saja tidak, lalu mengapa ucapan
mereka ini tidak diingkari dengan mengatakan ini adalah kesalahan penulisan
sejarah dalam Bibel?!!
Sekarang,
terjerumuslah orang-orang bodoh itu ke dalam kuburan yang mereka gali, jatuh ke
dalam keburukan amal-amal mereka. Dengan logika sama yang mereka inginkan untuk
menetapkan penyimpangan al-Qur’an yang mulia karena mengisahkan sebutan ucapan
Yahudi ‘Wahai saudari Harun’, maka kita temukan bahwa Bibel menyebut Yesus
dengan sebutan Putra Dawud!!
Sesungguhnya
kita merasa malu untuk menuduh penyimpangan Bibel dengan sebab ini, karena
Bibel telah pasti penyimpangannya dengan dalil yang lebih besar dan terang
benderang. Cukuplah dengan banyaknya ragam Bibel, perselisihan dan
pertentangannya sebagai bukti. Sementara mereka tidak malu menuduh al-Qur’an
salah menulis sejarah hanya dengan syubhat yang tertolak ini. Ini adalah sebuah
bukti akan kelemahan mereka dalam menetapkan penyimpangan al-Qur’an.
Di sini kami
bertanya kepada orang-orang yang meragukan keabsahan al-Qur’an yang mulia,
‘Bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, sementara jarak antara dia dan
Dawud ‘Alaihi Salam lebih dari jarak antara Maryam dan Harun’Alaihi Salam?
Bahkan bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, sementara dia datang dari
jalan Roh Kudus?!!
Sesungguhnya
perkara yang wajib diketahui oleh para pembuat keraguan terhadap al-Qur’an
tersebut bahwa penisbatan seorang manusia kepada manusia lain yang memiliki
kedudukan di antara kaumnya (seperti Dawud) adalah dalam rangka pemuliaan. Oleh
karena itulah kita temukan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
‘Aku adalah seorang Nabi, tidak ada kedustaan, aku adalah Putra Abdul
Muthallib.’ Padahal beliau adalah Muhammad Putra ‘Abdullah Putra ‘Abdul
Muththallib. Akan tetapi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuliakan
nasabnya kepada kakeknya.
Sesungguhnya
saya mampu untuk membuat keragu-raguan pada akal orang-orang Nasrani
yang awam, dan menyesatkan mereka dengan kedustaan, sebagaimana yang dilakukan
oleh sebagian pendeta terhadap orang-orang awam kaum mulimin. Kemudian saya
klaim bahwa Bibel telah menguatkan al-Qur’an yang menyebut Maryam sebagai
Saudari Harun. Telah disebutkan dalam Keluaran (15:20-21): “Lalu Miryam, nabiah
itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah
semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah
Miryam memimpin mereka: “Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda
dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.”
Akan tetapi
karena saya percaya diri dan beriman bahwa jalan hidayah dan jalan sorga tidak
akan ada kecuali dengan keikhlasan dan kejujuran bersama Allah, oleh karenanya
saya tidak berdalil akan penyimpangan Bibel dengan dalil ini sebagaimana yang
dilakukan oleh orang yang suka mempermainkan ayat. Karena Maryam yang dimaksud
di situ bukanlah Maryam Ibu Isa ‘Alaihi Sallam.
Saya
berangan-angan, daripada sibuk menafikan persaudaraan antara Maryam dan Harun,
hendaknya para pendeta itu menyibukkan diri mereka dengan menjelaskan sebab
yang menjadikan Bibel menulis tuduhan zina terhadap Maryam tanpa memberikan
pembelaan dan pensucian. Dan yang wajib mereka lakukan, jika mereka jujur,
adalah memuji al-Qur’an dan meninggikan urusannya, karena al-Qur’an adalah
satu-satunya Kitab Suci yang membela Maryam ‘Alaiha Salam, serta mensucikannya
dan mengumumkan kesuciannya, serta meninggikan urusan dan kehormatannya.
Cukuplah
al-Qur’an dengan menasabkan al-Masih ‘Alaihi Salam kepada ibunya, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘al-Masih Putra Maryam’, ‘Isa Putra Maryam’,
sementara Bibel telah menasabkan al-Masih kepada Yusuf an-Najjar!!
‘Dan semua
orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang
diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Lukas; 4:22)
‘Filipus
bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Dia, yang
disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak
Yusuf dari Nazaret.” (Yohannes 1:45)
‘Bukankah Ia
ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya:
Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?’ (Matius 13:55)
Bahkan Bibel
menjadikan al-Masih memiliki saudara: ‘Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria,
saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang
perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.’ (Markus 6:3)
Maka Kitab
yang manakah yang telah diubah-ubah, al-Qur`an yang mulia ataukah Bibel? Kami
menunggu jawabnnya.
_
Syubhat
(2): Kontradiksi ayat menurut mereka
dalam Al-Quran seperti dalam hal berapa hari penciptaan Jagad Raya?Pertama:
Bumi dan langit diciptakan dalam 6 masa. Hal ini terdapat dalam surah QS. 7:54
[footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ
يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ
بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf:
54)]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, lalu Dia bersemayam di
atas‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang”.
Juga dalam QS.10:3 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن
شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ
أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ “Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada
seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.(Dzat) yang
demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu tidak
mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)]
“Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.”
Kedua, dalam
QS. 41: 9 – 12 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ
أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ
وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9
وَجَعَلَ
فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا
فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ(10
ثُمَّ
اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا
طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11
فَقَضَاهُنَّ
سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا
وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ
الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12
“Katakanlah: “Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang
bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan Dia menciptakan di bumi
itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. kemudian Dia menuju kepada
penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan
suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushshilat:
9-12)] ternyata disebutkan dalam 8 masa (2 + 4 + 2) bukan enam
masa,“Katakanlah Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi
dalam DUA MASA ……… Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam EMPAT MASA. ……Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam DUA MASA”.
Bagaimana
menjelaskan hal ini?
Semoga dapat
segera dijawab karena pertanyaan-pertanyaan ini menyebar di berbagai brosur dan
literatur kristen berwajah Islam sebagai upaya mengguncang keyakinan
kaum muslimin terhadap al-Quran. Tidak lupa saya ucapkan Terima kasih atas
perhatian dan penjelasannya, saya sangat berharap jawaban nantinya dibaca juga
oleh umat Kristiani yang senantiasa melontarkan syubhat-syubhat terhadap Al-Quran
tanpa ilmu. Sukses untuk MAJALAH QIBLATI.
Jawab: Tidak ada pertentangan dan
kontradiksi dalam ayat-ayat tersebut. Pertentangan dan kontradiksi itu hanyalah
ada pada akal-akal mereka saja. Dikarenakan empat pada hari-hari yang pertama
adalah hasil dari dua ditambah dua. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan
bumi pertama kali pada dua hari, kemudian menjadikan di dalamnya pasak, yaitu
gunung-gunung, kemudian menjadikan keberkahan di dalamnya dari air dan
tanam-tanaman. Dan berbagai rizqi yang disimpan di dalamnya dalam dua hari
berikutnya, maka jadilah penciptaan bumi dan segala isinya itu dalam empat
hari. Maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَجَعَلَ
فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا
فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ
“Dan Dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya
dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat
masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fushshilat: 10)
Keempat hari
itu adalah hasil dari dua hari pertama dan dua hari yang lain, maka jadilah
totalnya empat hari, yaitu memasukkan dua hari yang telah disebutkan pada ayat
sebelumnya:
قُلْ
أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ
وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
“Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa
dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (yang bersifat) demikian itu adalah
Rabb semesta alam.” (QS.
Fushshilat: 9)
Maka
tidaklah keempat hari itu berdiri sendiri dari dua hari yang pertama. Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dalam dua hari, jadi totalnya
adalah enam hari, dengan menambahkan empat dan dua.
Sesungguhnya
saya bertanya kepada orang-orang yang membuat keragu-raguan terhadap al-Qur’an
tersebut, yang ingin menetapkan bahwa al-Qur’an merupakan karya Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bodoh
tidak tahu bahwa 2+4+2 sama dengan 8? Apakah hilang dari beliau bahwa
penciptaan langit dan bumi dalam ayat lain adalah pada enam hari?
Kemudian
bagaimana mungkin perkara ini hilang dari orang-orang Kafir Arab yang cerdas
dalam berniaga, serta orang-orang yang menolak dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam untuk berhujjah dengan kesalahan ini, agar mereka bisa menegaskan dan
menetapkan bahwa al-Qur`an adalah bikinan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam? Terutama bahwa ayat-ayat al-Qur’an dulunya turun secara terpisah-pisah,
yaitu satu, dua atau tiga ayat bersamaan? Artinya sangat mudah untuk menyingkap
kesalahan tersebut. Akan tetapi ini tidak pernah terjadi, sementara sekarang
datang kepada kita orang yang tidak faham bahasa Arab, lantas berkeinginan
untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an dengan syubhat tersebut.
Maka apakah
seorang berakal itu bisa membayangkan bahwa orang yang bisa memalsu Kitab Mulia
seperti al-Qur’an itu mungkin bisa berbuat salah dengan kesalahan yang seorang
anak SD saja tidak mungkin salah karenanya?
Kami memuji
Allah, serta bersyukur kepada-Nya akan karunia akal ini. *
_
Bagian
5
Syubhat: Al-Qur’an telah menyebutkan
kebatilan agama Islam di dalam ayat:
قُلْ يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ
وَالإنْجِيلَ
“Katakanlah:
“Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu
menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil.” (QS. al-Maidah: 68), kami mendapati bahwa ayat
tersebut menyebutkan Taurat dan Injil dengan jelas, ini mengharuskan untuk
berpegang teguh kepadanya bukan berpegang teguh dengan al-Qur’an. Ini adalah
sebuah dalil akan kebatilan agama Islam.
Jawab: Saya tidak tahu apa gunanya
kedustaan dan tipu muslihat dalam menetapkan keyakinan agama yang wajib diimani
oleh seorang manusia dengan jujur dan ikhlas, sehingga dia jujur terhadap
dirinya sendiri dan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anda telah memangkas
ayat tersebut dan tidak menyempurnakannya, padahal lanjutan ayat di atas
berbunyi:
قُلْ يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ
وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ
“Katakanlah:
‘Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu
menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Quran yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu’. (QS.
al-Maidah: 68)
Sesungguhnya
maksud ayat dengan
apa yang diturunkan dari Tuhan kalian adalah al-Qur’an. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan setelah Taurat dan Injil selain
al-Qur’an. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ayat tersebut justru
memerintahkan ahlul kitab untuk menjadi muslim dan beriman dengan al-Qur’an
yang mulia.
Saya
berharap sekali lagi, jujurlah kepada Allah dan kepada diri Anda sendiri. Saya
bisa memaklumi Anda, karena mungkin saja Anda menukil syubhat ini tanpa
meyakinkan diri terlebih dahulu. Di sini, saya kira Anda telah membongkar
sendiri tipu muslihat para pendeta terhadap Anda dan kepada banyak
orang Nasrani yang tertipu oleh mereka. Saya memohonkan hidayah
kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Syubhat: Bagaimana Anda menginginkan dari
kami untuk beriman dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai nabi,
sementara al-Qur’an meminta kami untuk bershalawat kepadanya dan mendoakan
rahmat baginya sebagaimana datang dalam ayat bershalawat dan salamlah kalian atasnya,
seharusnya kamilah yang lebih butuh kepada rahmat Allah, ternyata kami
mendapati nabi kalian Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa perlu untuk
didoakan.
Jawab: Wajib bagi Anda untuk mengetahui
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh kami bershalawat
kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memulai ayat dengan
firman-Nya:
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” (QS.
al-Ahzab: 56)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan diri-Nya sendiri untuk bershalawat kepada
beliau, lalu para malaikat-Nya. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang
bershalawat kepada beliau, tanpa menyebut para malaikat, maka pastilah itu
sudah cukup sebagai pemuliaan dan pengagungan.
Pertanyaan
yang benar yang seharusnya dilontarkan agar Anda bisa memahami permasalahan ini
secara benar adalah, ‘Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita
untuk bershalawat atas beliau?”
Maka
jawabannya adalah:
1. Shalawat
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemanfaatannya yang besar kembali
kepada yang bershalawat kepada beliau. Disebutkan dari Anas bin Malik
rahimahullah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
«مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ
دَرَجَاتٍ»
“Barangsiapa
bershalawat kepada aku satu kali shalawat, maka Allah akan bershalawat atasnya
sepuluh shalawat, dan dihapus darinya sepuluh kesalahan, dan diangkat untuk
sepuluh derajat.” (HR.
Ahmad (11587), an-Nasa`i (1297))
2. Shalawat bertujuan untuk menguatkan hubungan ruhani dan
kecintaan antara kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena
orang yang mencintai sesuatu dia akan memperbanyak mengingatnya.
3. Dengan
memperbanyak shalawat dan salam atas Rasulullah, hal itu akan menarik seorang
muslim untuk bersuritauladan dengan beliau. Barangsiapa memperbanyak ingat
sesuatu maka dia akan tergantung dan bersuritauladan dengannya.
4.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah peribadatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan satu ibadah dari ibadah-ibadah yang terbaik.
5.
Bershalawat kepada Rasulullah adalah sebuah ketaatan, melaksanakan perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab keberkahan pada diri,
usaha dan umur.
7.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah menggantikan shadaqah bagi orang yang
tidak memiliki harta.
8.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab pengampunan dosa-dosa dan
pemenuhan berbagai hajat.
9.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab bershalawatnya Allah
kepada orang yang bershalawat kepada Rasulullah, dan juga penyebab
bershalawatnya para malaikat kepadanya.
10.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah mewajibkan syafaat beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pada hari kiamat dan penyebab dekatnya seseorang kepada
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
11.
Bershalawat dan salam kepada Rasulullah akan memberatkan timbangan seorang
muslim pada hari kiamat.
Dan
manfaat-manfaat lainnya. Jadi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh
dengan kita, tidak butuh dengan do’a kita untuknya, demikian pula shalawat dan
salam kita atasnya, sebaliknya kitalah yang mengambil manfaat darinya.
Saya
memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Bagian
6
Syubhat: Mengapa Anda sekalian
berselisih pendapat dalam tafsir al-Qur’an? Dan bersamaan dengan itu Anda
mengklaim bahwa Injil itu berselisih, bukankah ini adalah sebuah kontradiksi?
Sebagaimana bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak akan
mendapati perselisihan di dalamnya?
Jawab: Pertama, Anda harus mengetahui
bahwa terdapat perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan
dalam Kitab Suci al-Qur’an. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum
muslimin atas al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an itu satu, tidak berselisih, dan
tidak akan berubah pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya 1400 tahun
yang lalu. Al-Qur’an terjaga dengan janji Allah:
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS.
al-Hijr: 9)
Berbeda
dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan bahwa dia berbeda-beda. Jadi tidak
termasuk keadilan Anda membandingkan antara perselisihan dalam tafsir al-Qur’an
dengan perselisihan dalam Injil. Bahkan yang wajib adalah Anda bandingkan
antara kitab suci al-Qur’an dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda
mengetahui bahwa Anda akan masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda
mengambil cara tersebut untuk melemparkan syubhat (keraguan) yang dengan
karunia Allah hal itu bukanlah perkara samar bagi kami.
Kemudian,
Anda harus mengetahui bahwa tidak pernah terjadi perselisihan antara para ulama
dalam tafsir keseluruhan al-Qur’an. Akan tetapi yang ada hanyalah bahwa mereka
berselisih pendapat dalam tafsir sebagian ayat dari al-Qur’an. Dan tidak
diragukan lagi bahwa mayoritas ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam
tafsirnya. Bahkan para ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf
(kontemporer) bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu
adalah satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca al-Qur’an, dan membaca
kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum muslimin secara umum membaca
al-Qur’an, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan akan banyaknya
ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini sudah cukup dalam
merealisasikan hidayah al-Qur’an.
Adapun
ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan pendapat dalam
tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi beberapa pembagian:
Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya
adalah khilaf tanawwu’ (perselisihan
yang bersifat variatif), bukan khilaf tadhot (kontradiksi,
berseberangan). Itu adalah khilaf lafzhi (redaksi)
dan tidak berpengaruh pada esensi makna. Khilaf tanawwu’ pada hakikatnya
bukanlah sebuah perselisihan. Dimana di antara syarat perselisihan adalah
kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam pembagian khilaf ini.
Contoh yang
demikian adalah tafsir shiratul
mustaqim (jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan:
“yaitu al-Qur’an, yakni mengikutinya.”
Sebagian
lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’
Maka kedua
pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah mengikuti al-Qur’an.
Akan tetapi masing-masing dari keduanya, memberikan perhatian atas satu sifat
tidak pada sifat lain.
Sebagaimana
bahwa lafazh shirat juga
memberikan isyarat kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang
mengatakan bahwa ia adalah, ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang
mengatakan, ‘ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang
mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua memberikan isyarat
kepada satu makna dari shirathal
mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari
sifat-sifatnya.
Kedua, masing-masing dari mereka
menyebut dari nama yang bersifat umum sebagian macamnya demi memberikan
perumpamaan, dan memberikan peringatan kepada yang mendengar atas satu macam
makna. Bukan untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi
dalam keumuman dan kekhususannya.
Contoh yang
demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawanya (13/232-238),
tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ
أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ
ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللَّهِ
“Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Maka telah
diketahui bahwa azh-zhalim
linafsihi (orang yang menganiaya diri sendiri) mencakup orang
yang menyia-nyiakan kewajiban dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan;
dan al-muqtashid (yang
pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang
diharamkan; serta as-sabiq (yang
terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang bersegera lebih
dulu, maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan segala kebaikan disertai
dengan menjalankan segenap kewajiban.
Kemudian
sesungguhnya masing-masing diantara mereka – yaitu dari kalangan ahli tafsir –
menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari berbagai macam ketaatan:
Seperti
ucapan, ‘as-sabiq adalah orang yang shalat di awal waktunya, al-muqtashid
adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan zhalim linafsihi adalah
yang mengakhirkan waktu ashar hingga matahari telah menguning.’
Yang lain
berkata, ‘ as-sabiq,
al-muqtashid, dan az-zhalim telah
disebutkan di akhir surat al-Baqarah, maka sesungguhnya penyebutan itu adalah
penyebutan orang yang berbuat baik dengan shadaqah, penyebutan orang zhalim
dengan memakan riba, dan penyebutan orang ‘adil dengan jual beli.’
Maka tidak
boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai khilaf tadhot (perselisihan yang
bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap al-Quran yang
mulia, karena beberapa sebab:
1.
Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syari’at. Akan tetapi
perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum), seperti
perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Apakah quru’
itu suci dari haidh ataukah haidh?
Atau juga
perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
kisah-kisah atau nasihat dan semacamnya. Seperti perselisihan mereka dalam
tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَنَادَاهَا
مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا
“Maka
Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati,
sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 24)
Apakah yang
menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘Alaihi Salam?
Perselisihan
ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan tulang punggung (penopang)
aqidah dan syari’at. Akan tetapi perselisihan itu ada pada perkara fiqih yang
Allah menginginkan hal itu terjadi sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini,
serta ujian juga. Atau perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman
ayat tersebut tidak bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.
2.
Perselisihan ini – sekalipun sedikit – kebanyakan terjadi pada abad terakhir.
Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para sahabat dan tabi’in
pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas perselisihan itu ada pada
kitab-kitab tafsir kontemporer.
3.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmat dalam menyamarkan makna
sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid bersungguh-sungguh dan membahas ilmu
tersebut dalam kitab-kitab dan akal-akal mereka.
Adapun klaim
tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir Injil, maka ini adalah
klaim aneh, yang seorang Nasrani tidak mengklaimnya sendiri. Karena
banyaknya kontradiksi di dalamnya. Dimana naskah-naskah Injil, periwayatannya,
penerjemahannya berbeda-beda dengan perbedaan yang banyak dan kontradiksi.
Sebagaimana banyak sekali sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka.
Perselisihan mereka dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung aqidah
(keyakinan) mereka; dalam penafsiran trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Dimana
itu semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak
sekte di tengah mereka yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan aqidah
mereka.
Adapun Islam
dan al-Qur’an, maka tidak ada perselisihan dalam rukum agama dan hakikat yang
terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah, yang merupakan mayoritas umat ini
dari kalangan para sahabat, dan tabi’in hingga hari ini.*
_
Syubhat: Saat kami membaca sejarah
perjalanan Nabi kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh; diantaranya
adalah suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, dimana datang dalam surat itu
tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini sudah
cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu ajakan yang
terang-terangan untuk peperangan jika Heraclius dan kaumnya tidak masuk Islam.
Tidakkah Anda melihat bersama saya bahwa ini adalah suatu perkara yang
menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian menilik kembali pandangan
terhadap agama Anda sekalian?
Jawab: Pertama, dalam surat tersebut
tidak hanya terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا
نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا
بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Katakanlah:
‘Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran: 64)
Maka tampak,
bahwa Anda tidak meneliti sejarah dan kejadian pada masa itu, dan Anda akan
mengetahuinya di sela-sela jawaban saya apa yang saya maksudkan dengannya.
Anda harus
mengetahui bahwa kalimat ‘Aslim
Taslam (Masuk Islamlah, kamu akan selamat)’ adalah cukup untuk
menegakkan hujjah atas Heraclius dengan dalil bahwa dia mempercayainya, dan
mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Rasul, utusan
Allah. Akan tetapi dia tidak meninggalkan kerajaannya dan terhalang dari Islam.
Saya tambahkan juga, bahwa Heraclius mengetahui akan tempat datangnya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bahwa saat itu adalah waktu kemunculan beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah
disebutkan dalam shahih al-Bukhari:
فَأَذِنَ
هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ
بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ،
هَلْ لَكُمْ فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا
هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ ،
فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ، وَأَيِسَ
مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ مَقَالَتِى
آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ رَأَيْتُ .
فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ .
“Maka
Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu istana di sekitar
rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan pintu-pintunya untuk
ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata, ‘Wahai sekalian orang-orang
Romawi, apakah kalian mau mendapatkan keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan
kalian akan diteguhkan, maka berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun
berlarian seperti keledai liar menuju pintu dan mereka mendapati pintu itu
telah tertutup. Maka saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa
dari keimanan, dia berkata, ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia berkata,
‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji kekuatan kalian
terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah melihatnya.’ Maka mereka pun sujud
dan ridha kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara Heraclius.”
Di dalam
hadits itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:
فَلَوْ
أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ
كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Seandainya
aku tahu bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku akan berupaya untuk
menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah aku akan membasuh kakinya.”
Kemudian
ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diberikan jawami’ul kalim (kalimat
ringkas yang memiliki makna dalam), dan tulisan tersebut, dengan
keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan manfaat, lagi
mengandung sastra tinggi bahasa Arab.
An-Nawawi
Rahimahullah berkata dalam Syarah
Muslim: “Diantaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas,
serta memilih lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aslim
taslam (masuk Islamlah, kamu akan selamat) ada pada puncak
peringkasan, dan puncak sastra, serta mengumpulkan segala makna bersamaan
dengan keindahannya, serta kesempurnaannya demi keselamatan Heraclius dari
kesengsaraan dunia dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah,
harta dan dari adzab akhirat.”
Kemudian,
sesungguhnya orang yang memperhatikan dialog yang terjadi antara Heraclius dan
Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan mengetahui bahwa Heraclius telah
tahu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar-benar utusan
Allah.
Barangkali
Anda sekarang mengetahui bahwa dengan ucapan saya, bahwa Anda tidak
memperhatikan sejarah dan kejadian zaman itu. Sebagaimana barangkali telah
jelas bagi Anda akan sebab yang menjadikan kami tidak menilik kembali pandangan
kami terhadap agama kami dengan syubhat ini dan syubhat yang lain.*
_
Syubhat: Apakah boleh Nabi kalian
-Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah
tua, dan di saat wanita itu masih muda dia menikmati masa mudanya, dan saat dia
berusia tua, dia langsung menceraikannya?
Jawab: Sebagaimana biasa, Anda
sekalian menyampaikan syubhat, sementara Anda tidak mengetahui rincian dan
faktanya. Ditambah lagi kedustaan dan klaim tidak benar yang ada di dalamnya.
Pertama,
tidak benar ucapan Anda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi
Saudah Radhiallahu ‘Anha saat dia masih muda. Seandainya Anda mengetahui
hakikatnya sekarang, Anda akan malu sendiri terhadap diri Anda. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat menikahi Saudah, kala itu Saudah
Radhiallahu ‘Anha telah berusia enam puluh enam tahun. Dan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak menikahinya kecuali bahwa dia, saat pergi ke Habasyah
ia bersama suaminya, dan saat kembali dari sana suaminya meninggal dunia.
Karena keluarganya masih berada di atas kesyirikan, maka nabi terdorong untuk
menikahinya demi memberikan kasih sayang kepadanya, berbuat baik dengan
kondisinya, dan menghibur kesendiriannya.
Dan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menceraikannya. Akan tetapi yang
terjadi adalah bahwa saat ummul mukminin Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia
sangat tua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa kesulitan untuk
merawatnya, terutama saat sudah banyak dari keluarganya yang telah masuk Islam.
Maka berkatalah Ummul Mukminin Saudah Radhiallahu ‘Anha, ‘Sesungguhnya aku
sudah tua, dan kaum laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku
ingin dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada hari kiamat.’ Maka
turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)
Ayat ini
mengajari kita bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan larinya, atau
berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk menggugurkan sebagian haknya
untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah, pakaian, atau jatah menginap. Dan
boleh bagi suami untuk menerima hal itu. Tidak ada masalah atas sang istri
dalam pengorbanannya itu untuk suami, dan tidak masalah atas suami dalam
menerimanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali kepada
Saudah dan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.
Maka di
manakah sekarang klaim bahwa beliau telah menceraikannya?! Di manakah bukti
bahwa beliau menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha pada saat dia masih gadis?!
Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya dalam menjawab bukanlah
dari Anda akan tetapi dari mereka yang telah menanamkan syubhat ini di akal
Anda, sementara saat kami mengajak mereka untuk berdialog, kami tidak melihat
seorang pun dari mereka.*
_
Syubhat: Sesungguhnya orang yang
mengikuti sejarah kaum muslimin, dia akan menemukan bahwa mereka tidak pernah
memiliki ilmu hadits. Ilmu hadits itu baru dibuat setelah dua ratus tahun.
Kemudian setelah masa yang panjang ini, orang-orang yang disebut belakangan sebagai
ahli hadits memutuskan untuk mengumpulkan hadits. Kemudian jadilah mereka
mengambil dari orang-orang yang pernah mendengar hadits. Kemudian salah seorang
dari mereka berkata, ‘Aku mendengar Fulan berkata, ‘Aku mendengar Fulan dari
Nabi kalian -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-, maka atas dasar inilah menjadi
sulit menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih, atau hadits maudhu’. Maka
tidak mungkin ada sambungan bagi kalian sebagaimana sebelumnya, karena
panjangnya masa itu.
Jawab: Sebagaimana biasa, kami
memulai dengan meluruskan kesalahan, dan pemahaman kemudian kami akan menjawab.
Ilmu hadits,
tidaklah seperti yang Anda kira, yaitu bahwa ilmu ini baru ada setelah dua
ratus tahun. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai sejak generasi pertama di zaman
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan telah mencakup satu bagian besar dari
hadits. Apa yang ditemukan oleh orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun
tentang para perawi hadits dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi
mereka, maka kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadits itu dengan rupa
yang sangat luas. Dimana hal ini menunjukkan akan menyebarnya pengkodifikasian
hadits, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita
meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan bahwa permulaan penulisan
hadits telah dilakukan di awal abad kedua, yaitu antara tahun 120 – 130 H.
dengan bukti nyata yang menjelaskan kepada kita. Terdapat sejumlah kitab, yang
penulisnya telah wafat di tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid
(W. 145 H), Jami’ Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H),
Ibnu Juraij (W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Kemudian,
Anda harus mengetahui bahwa para ulama hadits, telah meletakkan syarat-syarat
demi menerima hadits, yang syarat itu mampu menjamin penukilannya melalui
berbagai generasi dengan amanah dan kepastian. Hingga menjadikan hadits
tersebut tersampaikan seperti halnya didengar langsung dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan
dalam perawi (orang yang menyampaikan hadits) yang mencakup di dalamnya puncak
kejujuran, keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi
perilaku, dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana
syarat itu mencakup kekuatan hafalan, mengikat dengan dadanya (hafalan), atau
dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara bersamaan. Yang memungkinkan
baginya untuk menghadirkan hadits tersebut, serta menunaikannya sebagaimana dia
mendengarnya. Syarat-syarat yang disyaratkan oleh ahli hadits untuk hadits yang
shahih dan hasan itu pun menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup
terpercayanya perawi hadits, kemudian selamatnya penukilan hadits di antara
mata rantai sanad, bersihnya hadits itu dari segala cacad yang tampak maupun
yang tersembunyi, serta ketelitian para ahli hadits dalam mempraktekkan
syarat-syarat tersebut serta kaidah dalam menghukumi hadits dengan dhai’f hanya
karena tidak ada bukti akan keshahihannya, tanpa harus menunggu datangnya dalil
yang berseberangan dengannya.
Para ulama
ahli hadits tidak mencukupkan diri dengan ini, bahkan mereka meletakkan
syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Tampak bahwa Anda tidak
memperhatikannya. Para ulama ahli hadits telah memberikan syarat periwayatan
yang tertulis dengan syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itulah kita
menemukan di atas manuskrip hadits rangkaian sanad (transmisi periwayatan)
kitab dari satu perawi ke perawi yang lain hingga sampai kepada penulisnya.
Kemudian, di atasnya kita menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan
penulis atau Syaikh yang didengar yang meriwayatkan satu naskah dari naskah
penulis atau dari cabangnya. Maka jadilah metode para ahli hadits lebih kuat,
lebih hikmah, dan lebih agung dari segala metode dalam menilai periwayatan, dan
sanad yang tertulis.
Maka
janganlah Anda menyangka bahwa pembahasan sanad menunggu dua ratus tahun
sebagaimana ucapan Anda. Akan tetapi para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah meneliti dan mencari-cari sanad sejak zaman pertama saat terjadi
fitnah pembunuhan terhadap Khalifah ar-Rasyid Utsman Radhiallahu ‘Anhu tahun 35
H, yang kemudian kaum muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang
sanad. Dimana mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari
hadits, menguji para perawi hadits, hingga perjalanan mencari hadits menjadi
syarat pokok penentuan hadits.
Para ulama
ahli hadits tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh para pemalsu hadits dari
golongan ahlu bid’ah, dan mazdhab-mazdhab politik. Bahkan mereka bersegera
untuk memeranginya dengan mengikuti sarana-sarana ilmiah demi membentengi
sunnah. Maka mereka pun meletakkan kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para
perawi ahli bid’ah, serta penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadits dan
tanda-tanda hadits-hadits palsu.
Ilmu hadits,
dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak pernah ditemukan pada umat
mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat yang menjaga agamanya. Maka
bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada pada kaum muslimin dengan kitab-kitab
Nasrani yang merupakan dongeng-dongeng yang para peneliti menemukan berbagai
kesalahan, kontradiksi dan berbagai perubahan.
Kemudian
lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum muslimin, yang dengannya mereka menyendiri
dari segenap umat manusia, karena mereka telah menjamin keselamatan rangkaian
periwayatan hadits hingga sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari
segala cacad dengan ilmu isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak
ada pada orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam
kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad (jalur
periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana hal itu bisa
sampai.*
_
Syubhat: Yang menguatkan kebatilan
agama Islam adalah bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang pernah berhaji selain
nabi kalian, dan ini telah pasti dalam kitab-kitab kalian.
Jawab: Ini adalah sebuah ucapan yang
tidak benar. Cukuplah bantahan akan syubhat ini adalah hadits yang datang di
dalam shahih Muslim bab Iman no. 242:
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ
دَاوُدَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَمَرَرْنَا بِوَادٍ فَقَالَ أَيُّ وَادٍ هَذَا
فَقَالُوا وَادِي الْأَزْرَقِ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى مُوسَى
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِنْ لَوْنِهِ وَشَعَرِهِ شَيْئًا
لَمْ يَحْفَظْهُ دَاوُدُ وَاضِعًا إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ لَهُ
جُؤَارٌ إِلَى اللَّهِ بِالتَّلْبِيَةِ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي قَالَ ثُمَّ
سِرْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى ثَنِيَّةٍ فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا
هَرْشَى أَوْ لِفْتٌ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى يُونُسَ
عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ عَلَيْهِ جُبَّةُ صُوفٍ خِطَامُ نَاقَتِهِ لِيفٌ
خُلْبَةٌ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي مُلَبِّيًا.
“Muhammad
bin al-Mutsanna menceritakan kepadaku, menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adin
dari Dawud dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, ‘Kami berjalan
bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam antara Makkah dan Madinah.
Maka kami pun melewati sebuah lembah, lalu beliau bersabda, ‘Lembah apakah
ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Lembah Azraq.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan
aku melihat Musa ‘Alaihi Sallam.’ Lalu beliau menyebut warna kulitnya,
rambutnya, sesuatu yang tidak dihafal oleh Dawud, seraya meletakkan kedua
jarinya di kedua telinganya, mengeraskan suara seraya bertalbiyah (membaca
talbiyah), dengan melewati lembah ini.’ Dia berkata, ‘Kamipun berjalan hingga
kami mendatangi gunung kecil.’ Maka beliau bersabda, ‘Gunung apakah ini?’
Mereka menjawab, ‘Harsya atau Lift.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan aku
melihat kepada Yunus, berada di atas seekor onta mereka, memakai jubah dari
wol, dan tali kekang ontanya adalah sabut tengah melewati lembah ini
seraya bertalbiyah.’
Oleh karena
itulah, ini adalah satu dalil pasti, dari kitab-kitab kami yang memberikan
faidah bahwa para Nabi telah berhaji ke baitullah. Dan sebagaimana Anda meminta
kami yang demikian, maka sesungguhnya kami meminta dari Anda satu dalil yang
menunjukkan bahwa para Nabi tidak berhaji ke baitullah dari kitab-kitab
kalian.*
_
Bagian
7
Syubhat: Kami setuju bahwa tidak ada
kesalahan dalam sejarah dan ilmu pengetahuan, akan tetapi, marilah kita melihat
berbagai kesalahan dalam al-Qur’an baik dalam sejarah, atau ilmu pengetahuan.
-Al-Qur`an
surat al-Kahfi ayat 83-89 menyebutkan seorang tokoh Zul-Qarnayn yang adalah
muslim. Menurut tokoh Islam Ibn Hisham dan Al-Tabari Zul-Qarnayn
adalah Aleksander Agung. Ironisnya, Aleksander Agung adalah seorang polytheis
(musyrik).
Jawab: Sungguh disayangkan, Anda
sekalian adalah korban para pendeta dan misionaris yang telah menyampaikan
syubhat ini dengan memanfaatkan ketidaktahuan Anda. Pertama kali Anda wajib
mengetahui metode ulama ahli tafsir dan selain mereka dalam memberikan
keterangan. Pada saat seorang ahli tafsir meriwayatkan satu ucapan dari
berbagai ucapan, maka maksudnya tidak lain adalah menukil semua yang dia dengar
kemudian setelah itu memilah dan memilih dari ucapan-ucapan tersebut mana yang
rajih dan shahih. Kemudian membantah dan menjelaskan kelemahan yang dhaif
(lemah) dan yang tidak shahih. Kemudian menampakkan apa yang shahih darinya
agar manusia mengetahuinya.
Alasan
keshahihan dari tidaknya kembali kepada kesesuaian atau ketidaksesuaiannya
dengan apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, serta apa yang disepakati oleh jumhur ulama kaum muslimin.
Pada saat
seorang ulama tafsir berkata, “Dikatakan/katanya/diriwayatkan/ atau
dikisahkan…” maka ini berarti bahwa yang berkata adalah orang yang tidak
dikenal (majhul), dan sumber ucapan tersebut tidak dikenal. Oleh karena itulah
fi’il (kata kerjanya) dibuat majhul (pasif), yaitu qiila (dikatakan).
Oleh karena dasar ini, maka ucapan itu tidak bernilai jika tidak dikuatkan oleh
satu berita dari al-Qur’an atau Sunnah yang shahih. Dan perkara aqidah tidak
akan dibangun di atas sesuatu yang tidak diketahui. Maka ucapan apapun yang
diikuti atau yang datang setelah kata kerja bentuk pasif qiila (dikatakan),
maka ucapan itu digugurkan dari derajat shahih dan yakin kepada kedudukan
mengandung kebenaran atau kedustaan sesuai dengan kesesuaiannya atau jauhnya
dari apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Pada kisah
Dzulqarnain, gugurlah kandungan itu kepada makna dusta. Dikarenakan secara
yakin Dzulqarnain yang dimaksud bukanlah Dzulkarnain Agung dari Macedonia –
Yunani yang telah membangun kota Iskandariyah. Dzulqarnain ini mati pada usia
33 tahun, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku Kristen. Dan dia hidup 323
tahun sebelum kelahiran al-Masih ‘Alaihi Sallam.
Adapun
Dzulqarnain yang disebutkan dalam al-Qur’an, maka dia ada pada masa Ibrahim
‘Alaihi Sallam. Dikatakan bahwa dia telah masuk Islam di hadapan Ibrahim
‘Alaihi Sallam, dan berhaji ke Ka’bah dengan berjalan kaki. Kemudian manusia
telah berbeda pendapat tentangnya, apakah dia itu seorang nabi ataukah seorang
hamba shalih dan seorang raja yang adil. Dan perselisihan itu juga bersamaan
dengan kesepakatan mereka bahwa dia adalah seorang muslim, yang mengesakan
serta taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang benar
dalam hal ini – menurut kami – adalah tawaqquf (diam
tidak berkomentar) tentangnya, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَا
أَدْرِيْ أَتَبِعَ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لاَ ، وَمَا أَدْرِيْ ذَا الْقَرْنَيْنِ
نَبِيًّا كَانَ أَمْ لَا
“Aku
tidak tahu, apakah dia mengikuti seorang nabi ataukah tidak, dan aku tidak tahu
Dzulqornain seorang nabi ataukah tidak.’ (HR. al-Hakim, al-Baihaqiy, dishahihkan oleh
al-Albani dalam Shahihul
Jami’ (5524))
Sekalipun
kita tidak tahu, dia itu seorang Nabi ataukah tidak, maka yang jelas bagi kami
dari sela-sela perkataan al-Qur’an tentangnya bahwa dia adalah seorang mukmin
yang berada di atas ilmu dan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dia
kekuasaan, kemudian dia berjalan berjihad untuk menebarkan kebenaran dan
keadilan.
Kemudian
perbedaan antara hamba shalih ini dengan Alexander Macedonia yang kafir itu
adalah satu perkara yang dikenal oleh para ulama kaum muslimin. Seorang ahli
tafsir, Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam al-Bidayah wan Nihayah (1/493): “Dari
Qatadah, dia berkata ‘Iskandar (Alexander) adalah Dzulqarnain, dan bapaknya
adalah Kaisar pertama, dan termasuk putra dari Sam bin Nuh ‘Alaihi Sallam.
Adapun Dzulqarnain yang kedua, maka dia adalah Iskandar (Alexander) putra
Philips… Macedonia – Yunani – Mesir. Pendiri kota Iskandariyah yang menoreh
sejarah Romawi. Dia lebih terakhir dari yang pertama dengan jarak masa yang
panjang… Kami mengingatkannya, karena banyak dari manusia berkeyakinan bahwa
keduanya adalah satu, dan bahwa yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah dia yang
menterinya adalah Aristoteles. Yang karenanya terjadilah kesalahan besar,
serta kerusakan yang panjang lagi banyak. Sesungguhnya yang pertama adalah
seorang hamba beriman, shalih, lagi seorang raja yang adil. Adapun yang kedua
adalah seorang musyrik, dan menterinya adalah orang-orang filsafat. Kemudian
jarak masa di antara keduanya lebih dari dua ribu tahun. Maka keduanya tidak
sama dan tidak serupa, kecuali atas orang bodoh yang tidak tahu hakikat
berbagai perkara.” Selesai perkataan Ibnu Katsir Rahimahullah.
Maka mengapa
Anda mengesampingkan ucapan ahli tafsir yang jelas ini lalu berpegang dengan
dalil-dalil lemah para pendeta tersebut?!
Akan tetapi
yang aneh dari Anda sekalian adalah bahwa tidak ada dalam kitab-kitab suci Anda
keterangan-keterangan yang mencukupi akan Alexander yang kedua, lebih-lebih
lagi yang pertama. Puncak dari apa yang ada pada sisi Anda sekalian adalah
mimpi Daniel, serta menganggap bahwa di dalam mimpi tersebut terdapat satu
isyarat kekuasaan Alexander yang kafir ini, serta terpecahnya kerajaannya setelah
itu.
Keanehan ini
dari Anda ataukah yang aneh itu adalah bahwa Anda tidak mengetahui satu sanad
pun yang bersambung bagi kitab-kitab yang Anda imani? Tidak juga terdapat
pengetahuan akan kondisi orang-orang yang melakukan penerjemahannya, bersamaan
dengan puluhan tema yang saling kontradiksi dan berselisih yang menghilangkan
klaim ‘ ishmah (terjaga
dari kesalahan), dan bahwa ditulis berdasarkan ilham dari Roh Kudus. Dan
cukuplah perselisihan kalian terhadap nasab Isa ‘Alaihi Sallam. Sekalipun
demikian, Anda memiliki kenekatan untuk mengkritik al-Qur’an mulia yang sampai
dengan sanad yang bersambung secara mutawatir?!
Maka apakah
masuk akal, seorang manusia yang memiliki sedikit akal datang lalu menjadikan
apa yang ada di dalam sebuah kitab yang telah diubah-ubah sebagai hakim atas
al-Qur’an agung yang terjaga dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?!*
_
Syubhat: Dalam surah yang sama disebutkan
matahari terbenam di lumpur.
حَتَّى
إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ
عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا
أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
“Hingga
apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari
terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ
segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh
berbuat kebaikan terhadap mereka.” (QS.
al-Kahfi: 86)
Jawab: Sekali lagi, sebagaimana biasa, para
pendeta telah mempermainkan Anda. Sebelum saya menjawab, saya akan menjelaskan
kepada Anda akan makna [عَيْنٍ حَمِئَةٍ], maka itu
adalah air yang memiliki lumpur hitam. Dan saat al-Qur’an menyebut ‘Hingga apabila dia telah sampai
ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang
berlumpur hitam…’ maka itu adalah penyebutan sifat fenomena
yang dilihat oleh Dzulqarnain, bukan penyebutan sifat yang dibuat oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Maka siapakah yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman bahwa matahari tenggelam dalam lumpur hitam?
Saya akan
membuat satu contoh agar kerancuan ini hilang. Jika Anda duduk di tepi pantai
pada saat matahari tenggelam, lalu Anda melihat kepada bulatan matahari, maka
apa yang akan Anda lihat? Dengan sederhana, Anda akan melihat bahwa bulatan
matahari akan tenggelam ke dalam lautan. Maka apakah berarti bahwa matahari itu
menghilang di dalam lautan? Tidak diragukan lagi bahwa hilangnya matahari di
dalam lautan adalah apa yang dilihat oleh mata Anda, tetapi hakikatnya tidak
benar seperti itu. Jadi, jika Anda mensifati apa yang terjadi pada matahari
karena hilangnya di dalam lautan saat Anda berdiri di tepi pantai, maka Anda
tidak dusta dan tidak salah.
Demikian
pula seandainya Anda menghadap ke arah barat, sementara di depan Anda ada
sebuah gunung. Maka Anda akan mendapati bahwa matahari akan tenggelam di
belakang gunung. Tentu saja tidak akan pernah difahami oleh seorang pun bahwa
matahari tersembunyi di balik gunung secara hakiki.
Jika di
depan Anda adalah sebuah danau, maka Anda akan mendapati bahwa matahari akan
tenggelam di dalam danau. Dan inilah yang terjadi pada Dzulqornain yang telah
sampai pada laut yang mengandung lumpur hitam pada saat terbenamnya matahari.
Maka dia mendapati matahari itu tenggelam dalam lumpur hitam itu. Saat kita
katakan dia mendapatinya tenggelam di balik gunung atau mendapatinya tenggelam
di dalam air, maka itu adalah perkara yang sesuai dengan penisbatan untuknya.
Ayat tersebut tidak bermakna mutlak, akan tetapi terikat dengan pribadi
Dzulqarnain.
Demikian
pula kita dapati dalam kisah Musa ‘Alaihi Sallam, saat Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkannya untuk melemparkan tongkat:
وَأَلْقِ
عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ
يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لا تَخَفْ إِنِّي لا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
“’Dan
lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa
melihatnya bergerak-gerak seperti Dia seekor ular yang gesit, larilah ia
berbalik ke belakang tanpa menoleh. ‘Hai Musa, janganlah kamu takut.
Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.’” (QS. an-Naml: 10)
Menjadi
jelaslah bagi semuanya bahwa Musa ‘Alaihi Salam saat mendapati tongkatnya
bergerak-gerak, dia merasa takut dan menyangka bahwa tongkatnya telah berubah
menjadi seekor ular besar. Di sinilah kita bertanya, apakah tongkat itu ular?
Jawabannya
adalah tidak. Akan tetapi ini adalah apa yang dilihat oleh Musa ‘Alaihi Salam,
maka sebagaimana tongkat tersebut bukanlah ular, maka matahari tersebut tidak
tenggelam dalam lumpur hitam. Dan kedua ayat tersebut menceritakan apa yang
dilihat oleh Dzulqarnain dan Musa ‘Alaihi Salam.
Sesungguhnya
para pendeta, misionaris dan orang-orang batil selain mereka, saat menyebarkan
syubhat seperti ini, menjadi jelaslah bagi kami bahwa mereka itu adalah
orang-orang yang tidak mengerti Bibel mereka. Karena Bibel telah
menggunakan metode yang sama.
Disebutkan
dalam Hakim-Hakim (Judge) 19: 14 versi bahasa Arab [سفر
قضاة 19:14]: فَعَبَرُوا وَذَهَبُوا وَغَابَتْ لَهُمْ الشَّمْسُ عِنْدَ
جِبْعَةَ الَّتِيْ لِبُنْيَامِيْنَ “Maka mereka pun lewat dan pergi,
kemudian mataharipun menghilang untuk mereka pada Gibea milik Bunyamin”
[footnote: Ayat ini terdapat di Naskah berbahasa Arab, sementara
terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris disebutkan dengan teks yang
berbeda, yang didalamnya jelas-jelas terdapat perubahan. Dan perlu diketahui
bahwa naskah berbahasa Arab lebih dahulu daripada naskah berbahasa Indonesia
dan Inggris. Maka orang-orang Nasrani tatkala mendapati apa yang mereka anggap
sebagai satu musibah dalam Kitab mereka, merekapun mengubah-ubah penerjemahan
dalam bahasa Indonesia dan Inggris, juga barangkali bahasa-bahasa lain.
Kemudian mereka menerjemahkan ayat itu dengan: (19:14) Lalu berjalanlah mereka melanjutkan
perjalanannya, dan matahari terbenam, ketika mereka dekat Gibea kepunyaan suku
Benyamin. Ini adalah dalil bahwa perubahan dalam Bible masih
terus berlanjut, dan campur tangan manusia tidak pernah berhenti hingga hari
ini. sekalipun demikian masih saja ada keyakinan bahwa Bible adalah kitab
suci!]
Dengan teks
ini, jadilah matahari meninggi di langit kemudian turun dan menghilang di kota
Gibea. Maka apakah matahari tidak di langit, karena dia menghilang di kota
Gibea? Ataukah bahkan ungkapan itu bermakna bahwa matahari telah terbenam saat
mereka sampai di kota Gibea?
Barangkali
sekarang menjadi jelas bahwa mereka belum membaca kitab mereka dengan teliti.
Kesalahan
besar yang terdapat dalam Bibel adalah disebutkannya dalam Wahyu (12:1): Maka tampaklah suatu tanda besar di
langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah
kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.
Maka kami
bertanya kepada orang-orang Nasrani, bahwa seorang wanita berselubung
matahari, sementara matahari lebih besar 1.030.000 kali dari bumi?
Maka
bandingkanlah wahai orang-orang berakal, apa hujjah mereka atas kami dan hujjah
kami atas mereka!*
_
Syubhat: Demikian juga telah disebutkan dalam
al-Bukhari bahwa matahari itu bergerak, jadi kesimpulannya, bahwa matahari
bergerak hingga terbenam di dalam lumpur.
Jawab: al-Bukhari sama sekali tidak
mengatakan bahwa matahari tenggelam di dalam lumpur, akan tetapi dia
meriwayatkan sebuah hadits sekitar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“Dan
matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha
Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS.
Yasin: 38)
Jika yang
dianggap aneh itu adalah bahwa matahari bergerak dan berotasi maka ini adalah
suatu pendapat yang dikuatkan oleh ilmu falak. Matahari bergerak dan
berputar sebagaimana bumi bergerak dan berputar. Rotasi bumi tidak bertentangan
dengan gerakan dan perputaran matahari. Lalu Imam al-Bukhari rahimahullah tidak
pernah meriwayatkan dalam hadits bahwa matahari menghilang. Akan tetapi dia
meriwayatkan bahwa matahari sujud di bawah ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih. Dan
sujudnya matahari di bawah ‘Arsy ini tidak berarti lama dalam diam dan sujud
hingga bisa diperhatikan oleh orang-orang yang melihat kepadanya. Sujudnya
matahari di bawah ‘Arsy tidak berarti dia menghilang dari pendangan seluruh manusia,
karena ‘Arsy ada di atas langit dan bumi, serta matahari. Tidak juga
menunjukkan bahwa matahari meninggi hingga di atas langit lalu sujud di bawah
‘Arsy. Akan tetapi matahari terbenam dari mata-mata kita, sementara dia terus
dalam garis edar yang dia berada di dalamnya. Maka jika dia beranjak di
dalamnya hingga mencapai pertengahan, maka inilah tempat sujudnya.
Sesungguhnya
ilmu modern telah memastikan kebenaran ayat-ayat al-Qur`an dalam masalah
perjalanan dan gerakan matahari. Demikian juga tentang masalah rotasi bumi.
Sementara kita mendapati bahwa Bibel bersikukuh atas pendapat bahwa mataharilah
yang bergerak mengelilingi bumi, bukan sebaliknya. Bahkan sesungguhnya Bibel
sama sekali tidak pernah menyebutkan di dalamnya bahwa malam dan siang adalah
buah dari rotasi bumi.
Telah
disebutkan dalam Pengkhotbah (1:5): Matahari
terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.
Teks ini
menetapkan satu masalah berbahaya, dimana dia berkata bahwa matahari pada saat
terbenam, dia bergerak cepat menuju tempat terbitnya untuk terbit lagi (?!)
Ini, dengan sederhana bermakna bahwa matahari berputar mengelilingi bumi!
Cukuplah
bahwa orang-orang Nasrani telah menyiksa, membakar dan membunuh mati para
ilmuwan astronomi yang meyakini rotasi bumi yang kemudian menjadi jelas
kebenarannya setelah itu. Dan perkara ini ternyata telah bersesuaian dengan
kemajuan ilmu yang telah dicapai pada hari ini, yang itu telah bersesuaian
dengan al-Qur`an yang mulia.
Seluruh
kesalahan ini ditanggung oleh Bibel, kemudian mereka tidak mengambil pusing
tentangnya atau merasa bodoh terhadapnya. Lalu mereka mendatangi al-Qur’an
seraya berusaha dengan segala cara untuk mencari kesalahan di dalamnya. Dan
mereka tidak bisa menetapkan satu kesalahan pun padanya hingga hari ini, dan
bahkan hingga hari kiamat nanti.
Jika
terdapat satu kesalahan di dalam al-Qur’an yang mulia, maka kami katakan kepada
para pendeta dan misionaris, ‘Medan sudah ada diantara kami dan Anda, silakan
berdialog, maka pastilah umat ini akan melihat perbandingan yang hakiki antara
al-Qur`an Mulia, yang merupakan firman Allah, dan antara Kitab yang kalian
anggap sebagai Kitab suci, padahal tidaklah demikian, karena kitab itu adalah
bikinan manusia.’
_
Syubhat: Tersebar di Youtube bahwa Da’i Ahmad
Dedat rahimahullah wafat dalam kondisi buruk, maka ini adalah bukti bahwa dia
berada di atas kebatilan, dan Nasrani berada di atas kebenaran. (Mahasiswa
nasrani S2 di India)
Jawab: Pertama, kita berdo’a memohonkan
rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Syaikh Ahmad Deedat
atas apa yang telah dia persembahkan demi menolong agama Islam dan kaum
muslimin. Sungguh, karena sebabnya telah banyak dari orang-orang Nasrani yang
beriman, dia telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran dan kesyirikan
kepada cahaya Islam. Dan sesungguhnya saya, dengan segala ilmu saya tentang
Nasrani (kristologi) hanyalah seorang murid kecil di hadapan sebuah gunung
besar yang saya banyak mengambil faidah darinya, maka kami pun meneruskan jalan
perjuangannya. Demikian pula kami akan meninggalkannya untuk orang-orang
setelah kami dengan izin Allah, agar cahaya Allah terus bersinar hingga hari
kiamat.
Berkenaan
dengan kondisi wafat ulama besar ini rahimahullah, maka saya menjawab
orang-orang Nasarni, dengan mengatakan: sesungguhnya hujjah kalian – saya
dapati – selalu lebih rapuh daripada sarang laba-laba. Saya berharap pada
kesempatan yang akan datang, Anda memberikan kepada kami minimal satu syubhat
yang setara dengan kekuatan sarang laba-laba (bukan kurang dari itu), dan itu
mustahil Anda lakukan. Oleh karena itulah, saya akan menjawab Anda sekalian
atas syubhat ini dari berbagai sisi:
Pertama,
kondisi yang diderita oleh Syaikh Ahmad Deedat sebelum wafatnya adalah sebuah
kondisi biasa yang dilalui oleh banyak manusia pada hari ini. Sebelum wafatnya,
dia mengalami kelumpuhan otak yang setelah itu dia wafat pada tahun 2005 M.
Akan tetapi apakah Anda sekalian mengetahui, wahai orang-orang Nasrani tentang
usia pada saat beliau wafat? Dia wafat pada usia 87 tahun. Artinya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memanjangkan usianya, dan ini adalah sebuah nikmat,
lalu mengapa Anda sekalian melupakannya.
Jika kalian
menganggap penderitaannya dengan sakit sebelum wafatnya, yang menyababkannya terduduk
di ranjang sebagai bukti akan kebatilannya. Maka bagaimanapula anggapan Anda
dengan orang yang kondisinya lebih hina, disiksa dan disalib sebelum
kematiannya?! Bukankah dengan logika Anda yang sama menjadi dalil akan
kebatilan agama yang dibawanya? Jika kondisi Syaikh Deedat sebelum kematiannya
adalah sebuah isyarat akan kesesatannya, maka apakah hal itu tidak menjadikan
kita berkeyakinan juga akan kebatilan agama Nasrani dari orang-orang yang
tertimpa penyakit yang sama, dan jumlah mereka jutaan, sama saja apakah mereka
yang sudah mati atau yang berada di atas ranjang hari ini?! Terutama,
seharusnya mereka tidak sampai pada kondisi yang dialami Syaikh Deedat karena
keberadaan al-Masih ‘Alaihi Sallam yang telah menjadi juru selamat mereka dari
kesalahan sesuai dengan keyakinan Anda? Sementara Syaikh Deedat, tidak ada
seorang pun yang menjadi juru selamat baginya dari segala kesalahan?! Maka
seharusnya yang tertimpa penyakit itu hanya dia saja – dan yang setara
dengannya – bukan malah banyak orang-orang Nasrani.
Kedua, sakit
itu dari Allah, yang kemudian datang sebagai buah dari bentukan Allah terhadap
tubuh manusia. Sang Pencipta Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia
berbeda-beda dalam tabiat tubuh-tubuh mereka. Dia jadikan sebagian mereka,
system kekebalan tubuhnya lebih kuat dari yang lain, sementara yang lain Dia
jadikan tugas-tugas anggota tubuhnya menjadi kendur sebelum yang lain… demikian
seterusnya.
Masing-masing
mereka berbeda-beda akhir kematian mereka; sama saja mereka yang mati dengan
kesehatan buruk atau dengan kesehatan baik. Maka tidaklah kondisi kematian
seseorang itu merupakan bukti akan kebenaran atau kesalahan keyakinan manusia.
Jika tidak, maka pastilah al-Masih ‘Alaihi Sallam (menurut Nasrani), dengan
logika ini, menjadi manusia yang paling sesat wal’iyadzu billah, dimana dilakukan
penyiksaan yang menakutkan terhadapnya, lalu dia mati dengan kematian yang
sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Bibel kalian, yaitu dengan kematian
buruk yang telah disodorkan padanya bentuk penyiksaan menakutkan yang terburuk
yang Syaikh Deedat tidak megalami hal itu. Bahkan Syaikh Deedat, saat wafat
tidak mengalami peludahan sebagaimana yang dialami oleh al-Masih ‘Alaihi Salam
dengan pengakuan injil Matius (26:67) Lalu
mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya; orang-orang lain memukul Dia.
Lalu
penyiksaan terhadapnya terus berlangsung hingga setelah kematiannya. Maka
jadilah kematian al-Masih ‘Alaihi Sallam, sebagaimana yang diceritakan
oleh Bibel kalian, lebih buruk dari kematian Syaikh Deedat yang wafat dalam
keadaan mulia tanpa ada satu penghinaan pun terhadap kemuliaanya, atau yang
menyentuh sisi kemanusiaannya.
Ketiga,
bagaimana Anda sekalian mengharuskan kami, dengan logika kalian terhadap
kematian seorang muslim yang memiliki agama selain agama Anda sekalian? Karena
kematian dalam agama Islam adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah
yang telah Dia tetapkan terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati….” (QS.
al-Anbiya’: 35)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menutup terhadap hamba-hamba-Nya akan pengetahuan
waktu kematian, demikian juga tempat yang di dalamnya dia mati, demikian juga
jalan yang menghantarkan kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوتُ
“…dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Kematian
adalah sebuah rahmat bagi seorang mukmin, dan azab bagi orang-orang kafir,
karena kematian adalah sebuah tabir yang dengan hilangnya tabir itu sampailah
seorang mukmin kepada sorga dan keridhaan-Nya, dan yang kafir sampai kepada
azab Allah dan neraka Jahim selamanya. Dan bukanlah cara kematian, apapun
bentuknya adalah sebuah dalil akan buruknya kematian, kecuali orang yang mati
di atas maksiat dan tercabut rohnya di atasnya. Sementara Syaikh Ahmad Deedat
wafat di atas kebaikan agung yang telah kami kenal, dan dikenal oleh
orang-orang yang dekat dengannya. Mudah-mudahan Allah merahmati ulama besar ini
dengan rahmat yang luas.
sumber : en.qiblati.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better