ISLAMIC
ARTICLE--Sayup-sayup terdengar suara adzan terdengar lirih disubuh hari
diiringi gerimis menerpa atap dan pepohonan. Tak terasa lambat laun suara itu
makin kencang menggetarkan relung kalbuku, tiba-tiba seketika ada bisikan yang
ingin menghendaki diriku untuk sholat dirumah, ah” ini pasti setan mulai
menggodaku”gerutuku didalam hati. Aku jadi teringat kisah sahabat nabi yang
buta minta keringanan untuk sholat dirumah karena disebabkan matanya yang buta,
awalnya Nabi mengizinkan, tapi ketika ditanyakan “apakah anda mendengar adzan?
Sahabat tersebut menjawab, ya!” .Nabipun kembali mengatakan kalau begitu
saudara tetap harus tetap pergi ke Mesjid”.
Motivasiku untuk tetap ke Mesjid sudah kuadzamkan” kalaupun
ada rukhsoh untuk sholat dirumah disebabkan hujan deras. Hujan bukan penghalang
untuk tidak pergi ke Mesjid, apalagi seorang guru pernah mengatakan “kita nih
belum dihujani peluru, baru hujan air” kata-kata sang guru ini begitu membekas
dipikiranku pada saat beliau mengatakan itu disaat saya masih tinggal di asrama
santri.
Sambil menunggu hujan selesai aku sempatkan sholat sunnah
dua raka’at, Alhamdulillah selesai sholat sunnah selesai juga hujannya,
sepertinya sudah lumrah di kampus ini, kalau adzan berbarengan dengan hujan
selesai kubaca-baca lagi kisah kisah teladan para sahabat rosul dirak buku
koleksiku,,"tak terasa kukembali menemukan kisah BILAL BIN RABAH yang
kurang lebihnya ceritanya sebagai berikut:
Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah,
salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal
bertemu dengan Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali
kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin
bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam
mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun
dari tidurnya dengan hati yang galau. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah
seorang sahabat lainnya. Laksana udara segar, kisah mimpi Bilal segera memenuhi
ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja,
hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi
junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar diselubungi rasa haru.
Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru
kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan
kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu
biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta
Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah
cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk
Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang
dikumandangkan Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun
menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar
malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar,
seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua
penduduk Madinah menitiskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik
salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak
untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat
setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan
adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan
dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna
Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah
Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar
meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu
membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika
demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan
pilihanku."Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu
Bakar."Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal. "Sungguh,
aku tak ingin adzan untuk seorangpun sepeninggal Rasulullah," lanjut
Bilal. "Kalau demikian, terserah apa kehendakmu," jawab Abu
Bakar.
Abu
Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah
bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah
Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak
mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah
Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup
lama.
Jazirah
Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi
wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar
Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar
kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu,
menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua
tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan
mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya
menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar
berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh
kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada
Rasul-Nya.
Umar
membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan
Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk
dan membujuk. “Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang
dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu
besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang
dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali
mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..
Hari
saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita
tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin
memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu
anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu
anna Muhammadarrasulullah…”
Sampai
di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi
dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih
indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang
adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat
kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara
spontan.
“Asyhadu
anna Muhammadarrasulullah…”
Kini
getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam
rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu
kembali basah akan air mata.
“Hayya
‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada
yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.
“Hayya
`alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan
akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin
meningkat dan membuncah.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah
yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada
selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?
“La
ilaha illallah…”
Tiada
tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah
wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
Namanya
adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah
kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang
sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran
untuk mendengarnya.
Bilal
lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama
Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam
yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan
sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal
dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani
Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin
Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika
Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi
wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk
orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini
hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu,
seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin
Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan
al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal
merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun.
Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia,
sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di
jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang
Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku
yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun)
dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga
orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan
penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang
ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Sementara
itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila
matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi
perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian
orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan
membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik.
Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka
sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya,
saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang
tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan
orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap
pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya.
Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan
kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang
Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama
para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun
Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada
telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad,
Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan,
“Ahad, Ahad….”
Mereka
memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah
dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan! ”Bilal
menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka
semakin hebat dan keras.
Apabila
merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher
Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak
berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang
Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena
membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan
agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa
merasa bosan dan lelah.
Suatu
ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia
mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju,
walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai
transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar
sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu
Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun,
maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika
Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah
membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu,
biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu
Bakar Ash-Shiddiq
Rodhiallahu ‘anhupun menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah” .Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih:
Duhai
malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku
bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah
suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah
aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak
perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya, merindukan
lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di
sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal
tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy
yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk
menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun
beliau pergi.
Selalu
bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya
dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah
lepas dari pemiliknya. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal
ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam
sejarah Islam.
Biasanya,
setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal
falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat
beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu
ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk
barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak,
sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab,
tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat
itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia
membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan
shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat
melakukan shalat di luar masjid.
Bilal
menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong
tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang
pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf
tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir
deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan
di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal
bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu
Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai
kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan
Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam
saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan
pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke
atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan
perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan
azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti
kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang
tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada.
Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan Rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah
mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami
tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.”
Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah
memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan
ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk
ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku,
mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang
sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku
tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu
kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat
menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu,
ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya.
Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan
kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami
tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri.
“Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan
sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali
dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan
Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia
masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu
dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat
masih di dunia.
Semoga bisa menjadi sebuah cerita yang menarik dan mendidik
buat anak,temen,saudara atau keluarga kita tetang kisah teladan para sahabat
rosul ini,."InssaAllah..Wallahu a’lam bissawaab.
Sumber : Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar
min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better