Berhentilah Stigmatisasi Terhadap Agama Islam

Bahasan tentang STIGMA akhir-akhir ini menjadi trending topics yang paling hot untuk dibicarakan, padahal awal tahun 2000an masih samar-samar terdengar, kalau waktu itu tepatnya tahun 2001 sampai tahun 2002 saya sangat familiar dengan kata STIGMA, loh kok” heran ya? kata STIGMA jadi mengingatkanku kepada sebuah komunitas LSM yang bergerak dibidang penanggulangan untuk orang-orang yang kecanduan narkoba, ceritanya saya diajak teman dikampus untuk ikut bergabung dikomunitas STIGMA dalam rangka sharing dan workshop dan kebetulan saya sempat magang di Rumah sakit khusus pecandu narkoba.
Kembali kepembahasan awal yaitu masalah “STIGMATISASI” yang disematkan kepada Agama. Kata stigmatisasi berasal dari kata stigma, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pelekatan citra negatif kepada diri seseorang oleh lingkungan.
Pembicaraan kali ini penulis ingin membahas tentang stigmatisasi Islam yang meruncing sebagai pelaku terorisme. Betapa sebuah ilustrasi nyata, ini bisa menjadi sebuah contoh. Pada suatu hari dalam sebuah arisan ibu-ibu, sang ketua yang mendapat amanat dari kelurahan menyampaikan dua pesan kepada masyarakat agar mewaspadai dua hal : pertama, gaya hidup punk yang melanda anak muda, khususnya remaja. Yang kedua adalah radikalisme Islam yang selama ini dikonotasikan dengan TERORIS. Barangkali karena perilaku anak punk yang anti kemapanan dan pemakaian aksesoris nyeleneh yang suka hura-hura, anak punk juga akrab dengan obat-obatan yang membuat para orang tua-orang tua itu resah.
Sedangkan pada pesan yang kedua, agaknya ketua yang tak mengerti makna sebenarnya radikalisme Islam, hanya mengetengahkan gejala-gejala yang sama sekali tidak akurat, dan cenderung ngawur. Sang ketua itu memberikan informasi yang tidak tuntas hingga menjadi bias kepada ibu-ibu kampung, yang cenderung reaktif dan kurang wawasan,  agar menghindari memakai cadar bagi perempuan, tidak memakai pakaian hitam (entah apa hubungannya dengan warna hitam) dan menyuruh memakai peci hitam ala Sukarno supaya bisa dicirikan orang yang nasionalis.
Dari hal di atas, bisa ditafsirkan upaya stigmatisasi yang sengaja coba disematkan kepada simbol Islam, bahwa Islam adalah pelaku dominan terorisme di Indonesia. Lebih jauh stigmatisasi ini dilakukan dengan cara mempararelkan bahwa gerakan punk yang anti kemapanan sama berbahayanya dengan gerakan Islam radikal.
Dan ketika yang menerima adalah masyarakat lapisan bawah yang cenderung reaktif dan agitatif, hal itu menjadikan masyarakat suka hantam kromo meng-qiyas-kan semua simbol dan gerakan Islam sebagai bentuk terorisme. Apalagi di tengah tayangan beberapa media televisi yang cenderung memojokkan agama Islam dalam kaitannya dengan jihad fi sabilillah identik dengan radikal. Hal ini persis dengan kisah tiga orang buta yang ingin mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah.
Ada orang buta yang memegang ekor, mengatakan bahwa bentuk gajah adalah seperti cambuk, atau yang memegang belalai mengatakan bahwa bentuk gajah adalah seperti pohon kecil, dan seterusnya. Hikmah dari cerita ini adalah pemberitaan parsial jelas sangat tidak bijaksana dan cenderung bisa membinasakan kerukunan hidup di Indonesia. Contohnya di jejaring sosial media, yang minim sensor hanya akan menjadi ajang saling hujat antara pengunjung. Hal itu terjadi tidak hanya di portal berita Viva News, Yahoo, Detik.com atau twitter, bahkan hampir di semua situs jejaring sosial di muka bumi ini. Sudah menjadi pemandangan biasa pemeluk agama satu menghina agama lain dengan bahasa kasar dan vulgar hanya untuk melampiaskan emosi. Atau yang lebih tidak beradab adalah Innocence Of Muslim, yang menuai protes dan kecaman dari seluruh penjuru umat Islam di seluruh dunia. Apakah mental keberagamaan seperti ini yang hendak dicapai?
Selain itu sebenarnya upaya stigmatisasi -dari otoritas mana saja- adalah kejahatan yang berat. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Dan kita bisa saksikan saat ini orang-orang yang belum terbukti sudah dituduh teroris bahkan kalau perlu disiksa terlebih dahulu hingga tewas. Sementara ada oknum-oknum dari agama lain yang jelas-jelas membakar Masjid dan menembak aparat tidak dicap teroris malah dianggab kriminalitas semata.
Media-media pemberitaan yang semestinya memberi pencerahan dan mendidik kepada masyarakat, bukan sekedar menaikkan rating yang tentu tujuannya sangat pragmatis. Jadilah wartawan yang profesional tampilkan akar masalah secara kongkrit bukan parsial  hanya sekedar mengejar sensasionalisme berita saja yang dilakukan dengan adu cepat mendapat berita, namun kualitas pemberitaan sama sekali diabaikan.
Belajarlah dari sejarah. Catatan sejarah Indonesia penuh luka dan nestapa. Banyak rakyat yang telah jadi korban dengan mencap ini golongan radikal kanan atau golongan radikal kiri. Lebih jauh pelenyapan ini sebanding dengan kejahatan genosida yang tak akan bisa dimaafkan oleh semua makluk yang berada di kolong langit ini.
Ironisme salah tangkap polisi
Masyarakat senantiasa menghendaki kerja aparat hukum yang bersih, tertib dan prosedural. (Opini Joglosemar, Tegakkan hukum dengan mematuhi hukum, 3/9). Sangat mungkar bila aparat bertindak semena-mena dalam menata hukum, apalagi malah menjadikan masyarakat perisai dan tameng mereka. Ketakutan masyarakat dipolitisir untuk memperbesar dan menguatkan keberadaan institusi. Misalnya sebuah konspirasi ditempuh dengan memposisikan diri mereka sebagai korban, lantas empati dan simpati dari luar ini digunakan untuk memperbesar diri. Kita tahu program pemberantasan teroris tidak hanya disokong oleh APBN, yang ujung-ujungnya dari uang rakyat sendiri selain negara luar yang merasa punya agenda kepentingan terselubung.

Agenda asing sangat jelas tujuannya menghegemoni negara Indonesia. Awalnya lewat isu teroris dan sekarang hasilnya mereka sudah tuai dan dampaknya umat Islam apa yang mereka sebut para ‘pelaku teroris’. Dan karena pemberantasan teroris adalah ‘perayaan dana yang besar’ di ranah lokal Indonesia perlu menghadirkan sosok ‘para teroris’ itu sendiri alih-alih begitu mudah stigma teroris dilekatkan pada seseorang. Apalagi tak segan aparat melakukan interogasi yang kelewat batas agar mendapat pengakuan yang mereka inginkan.
Contoh nyatanya apa yang kita sebut sekarang sebagai kasus salah tangkap. Kasus seorang bapak yang telah berumur bernama Wiji Siswo Suwito yang dipukuli oleh densus 88 atau kasus salah tembak seorang pedagang bernama Imran hingga tewas di Solo dan yang terbaru Siyono seorang guru ngaji asal Klaten yang ditangkap setelah menunaikan sholat magrib namun sangat na’as dipulangkan tanpa nyawa.
Pertanyaannya sekarang, apakah aparat tidak menggunakan praduga tak bersalah kepada para ‘terduga teroris’. Apakah dengan mudah menangkap seseorang dan menembak di tempat jika ia sudah dinyatakan sebagai tersangka teroris? Kalau jawabannya “ya” nauzubillah minzalik” berarti inilah salah satu bentuk kezholiman yang luar biasa kepada orang, dosanya sangat besar.
Stigmatisasi Islam harus dilawan. Istilah salah tangkap menjadi bermakna besar jika hal itu berlangsung dalam drama penangkapan terorisme. Kinerja polisi harusnya makin dikritisi. Senada dengan hal itu, menurut penuturan seorang pengamat terorisme Indonesia, para teroris lebih senang berselancar di Indonesia karena memanfaatkan pelaksanaan hukum di Indonesia yang tebang pilih dan tidak tegas. Bukan dengan cara memberi regulasi yang ketat kepada umat Islam hanya karena pemeluk agama terbesar di Indonesia yang konon mengancam demokrasi. Sebaliknya jika demokrasi hendak menjamin rasa aman pemeluk beragama, maka seyogyanya kebebasan beragama bagi pemeluknya itu harus diberikan bukan dengan memberi batasan atau regulasi yang ketat yang malah akan menjadikan penindasan yang berujung SARA, semisal sertifikasi ulama. Lantas sertifikasi menurut standar siapa? Ulama standarisasi BNPT kah atau apa? Inikan belum jelas.
Menjadi sebuah pertanyaan besar seharusnya. Mengapa terduga teroris mudah sekali untuk ditembak mati di tempat jika aparat benar-benar ingin memutus rantai jaringan mereka alih-alih pelaku tidak pernah ditangkap hidup-hidup untuk dinterogasi. Mengapa juga polisi dan aparat hukum sangat alot sekali jika mengurusi kasus koruptor? Apakah karena koruptor memang telah benar-benar menjadi budaya Indonesia, dari orang sipil hingga para birokratnya, sehingga lantas penyelesaian kasus koruptor tak lebih sebuah tontonan indah ala sepakbola liga Italy. Walaupun bola sudah di dekat gawang, tapi merasa perlu dimainkan atau dalam bahasa orang Medan dan Makassar , merasa perlu digoreng. Tapi malah digoreng sampai gosong, segosong-gosongnya!
Kecelakaan sejarah bisa saja menjadi lembar buram yang akan dihadapi Indonesia di masa depan karena stigmatisasi terhadap golongan, ras, atau agama. Bahkan di tingkat bawah, hal ini kerap  dirasakan oleh kita semua orang kecil, semisal seseorang yang memakai cadar, bercelana congklang, berjenggot dan berpakaian qamis, selalu dicibir sebagai komplotan teroris yang membawa bom bunuh diri. Atau julukan pesantren yang sekarang bergeser sebagai sarang berkembang biak radikalisme Islam dan gerakan teroris. Padahal radikalisme Islam dan terorisme sendiri itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Kalau mau lebih jeli dan teliti, radikal padan kata radix, yang berarti akar, sedangkan Islam radikal bisa diartikan sebagai pemeluk agama yang berakar pada sumber-sumber yang benar (haq) yang bertujuan sebagai rahmatan lil alamin. Bukan justru dibelokkan kedalam makna konotatif sebagai gerakan pemuja kekerasan demi mendapatkan tujuan yang diinginkan, alih-alih melakukan stigmatisasi terhadap gerakan Islam, yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan dan pelanggaran berat yang tidak mencerminkan kedewasaan dalam bergaul dan bermasyarakat.
Anak bangsa ini perlu berjiwa besar untuk bisa merangkul semua kalangan dalam rangka mempererat persaudaraan demi bangsa dan agama yang damai rahmatan lil alamin, Wallahu A’lambissawaab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Give comments and criticism are best for this blog the better

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...