NAS DARI AL QURAN TENTANG HARAMNYA MUSIK DAN LAGU
Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat Allah Subhanahu
wa Ta'ala ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud
adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan
tafsir ini adalah:
Abdullah bin ‘Abbas
Radhiallahu'anhu, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan
tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam
Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam
tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221,
223), dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal.
142-143)).
Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu 'anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab:
“Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali
Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim
mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh
Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
‘Ikrimah
rahimahullahu. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang
makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam
tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
Mujahid bin Jabr
rahimahullahu. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid
Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu
Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau
menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.”
(Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika
Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
Al-Hasan Al-Bashri
Rahimahullah, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan
seruling.”
As-Suyuthi
rahimahullahu menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan
menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum
menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)
Oleh karena itu,
berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir
menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata:
‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan,
nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
أَفَمِنْ هَذَا
الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ. وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap
pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian
ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan
“kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir
ini adalah:
Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika
mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain- main. Dan ini
adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al- Baihaqi (10/223).
Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’
Az-Zawa`id, 7/116)
‘Ikrimah
rahimahullahu. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut
bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)
Ada pula yang menafsirkan
ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim
rahimahullahu berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana
telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu.
Al-Mubarrid
mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka. Ibnul ‘Anbar
mengatakan: ‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang
sombong, dan orang yang berdiri. ’ Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu berkata tentang
ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan
congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai,
luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan
mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)
Firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala kepada Iblis:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ
اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ
وَشَارِكْهُمْ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَولاَدِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ
الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di
antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda
dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan
anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan
kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan
dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu
sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan
nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:
Mujahid
rahimahullahu. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu
melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari) Sebagian ahli tafsir ada
yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
Ibnu Jarir berkata:
“Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa
yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak
mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi
pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi
ajakan kepada ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka termasuk dalam makna
suara yang Allah Subhanahu wa Ta'ala maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir
Ath-Thabari)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama
salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup
suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi
pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Majmu’ Fatawa,
11/641-642)
Ibnul Qayyim
rahimahullahu berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan
pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)
DALIL-DALIL DARI RASULULLAH SAW :
4 Buah Hadis Nabi Saw
Tentang Haramnya Musik dan Lagu
1.
Hadis Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Akan muncul di kalangan
umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.
Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu
ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu keperluan (kebutuhan),
lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhanahu wa
Ta'ala membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan
Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari
kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)
Hadis ini adalah hadis
yang sahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadis tersebut: “Hisyam
bin Ammar berkata” Yang mengesankan ada keterputusan sanad antara beliau dengan
Hisyam, dan tidak mengatakan dengan tegas misalnya: “Telah mengabarkan kepadaku
Hisyam", tidaklah memudaratkan kesahihan hadis tersebut. Sebab Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu tidak dikenal sebagai seorang mudallis (yang
menggelapkan hadis), sehingga hadis ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan,
telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam
Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam
syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula
pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash- Shahihah,
Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu berkata setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan
hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka
barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah
orang yang sombong dan penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam:
لَا يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang
dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim,
hal. 39]
Makna hadis ini adalah
akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut,
padahal itu adalah perkara yang haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al- Qari berkata:
“Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang
halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.”
(Mirqatul Mafatih, 5/106)
2. Hadis Anas bin
Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ
مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan
akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.”
(HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam
Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan
penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga dikuatkan dengan
riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma, dari Abdurrahman bin ‘Auf
radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ
النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ
لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ
وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua
suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan
permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah,
merobek baju dan suara setan.” (HR. Al- Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang
lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi
rahimahullahu berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah
nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadis Abdullah bin
‘Abbas Radhiallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ
عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan al-kubah. Dan
setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274,
Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya.
Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al- Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata al-kubah telah
ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang
dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir,
no. 12598)
4. Hadis Abdullah bin
‘Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengharamkan khamr, judi, al- kubah (gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang
terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu
Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits
ini dihasankan Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
ATSAR ULAMA SALAF PULA TENTANG HARAMNYA MUZIK DAN LAGU
1. Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu 'anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ
النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam
hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari
jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)
2. Ishaq bin Thabba`
rahimahullahu berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullahu tentang
sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab:
“Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang
fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan
Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)
Beliau juga ditanya:
“Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan
merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”
Beliau menjawab:
“Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya,
kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri.
Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak
mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)
3. Al-Imam Al-Auza’i
rahimahullahu berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu menulis sebuah surat
kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “... Dan engkau yang menyebarkan alat musik
dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan
An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani
dalam At-Tahrim hal. 120)
4. ‘Amr bin Syarahil
Asy-Sya’bi rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan
kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya
berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan
Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash- Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani
dalam At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan pula oleh
Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy- Sya’bi, dia berkata:
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5. Ibrahim bin
Al-Mundzir rahimahullahu –seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah,
salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah– ditanya: “Apakah engkau
membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.”
(Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)
6. Ibnul Jauzi
rahimahullahu berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy- Syafi’i
rahimahullahu mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada
perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar orang- orang belakangan,
juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib
Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan
terlarangnya nyanyian.
Lalu beliau berkata:
“Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka.
Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka adalah
orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para
fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak
diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.”
(Talbis Iblis, hal. 283-284)
7. Ibnu Abdil Barr
rahimahullahu berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya
adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi
(mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita
langit, hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8. Ath-Thabari
rahimahullahu berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang
dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
9. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat
musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari
rahimahullahu di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Masih banyak lagi
pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian.
Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.
kalangan aktivis
pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif dari “cara bermusik”. Mereka
berkukuh bahwa selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal
itu diperbolehkan bahkan bisa menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa,
nasyid mereka hampir tak ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya
pun -meski kadang berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan
kebid’ahan.
Belakangan, berkembang
di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang dikenal dengan nasyid Islami.
Nasyid ini dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang
didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Masing-masing dari kelompok nasyid
tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang
disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat
tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara
berkelompok. Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang
digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada yang
tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan nasyid Islami
kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan lantunannya, tidak ada
perbedaan.
Bila merunut sejarah,
kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan
sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal
gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal- hal yang tidak pernah diajarkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiallahum.
Sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.
Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang
disebut at-taghbir yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia
dari Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al- Amru bil Ma’ruf hal.
36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan (1/229), bahwa
penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah mutawatir.” Lihat
At-Tahrim hal. 163)
Al-Imam Ahmad
rahimahullahu ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu
beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab:
“Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Abu Dawud
rahimahullahu berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullahu) tidak
mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi, 8/343)
At-Taghbir adalah
bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh
seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di
atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.
Dari sini, nampaklah
bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami tidak lain adalah bid’ah yang
telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar
diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti halnya
kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam, musik Islami, pacaran
Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau embel-embel Islami yang
lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang mulia ini telah mengajari kita
untuk tidak memandang sesuatu hanya sekadar melihat namanya. Yang terpenting
adalah hakikat dari apa yang terkandung di balik nama tersebut.
Maka, sebagai nasihat
bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum
perkara yang disebut dengan nasyid Islami ini. Demikianlah sedikit pemaparan
dalil-dalil dan hadist yang dinukil dari berbagai sumber, semoga kita semua
diberikan petunjuk dan keistiqomahan dari Allah SWT. Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better