“cemburu (ghiroh) dalam konteks beragama adalah konsekuensi dari
Iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina,
bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri.
Ini pertanda masih adanya ghiroh didalam dirinya. Bangsa penjajah pun
telah mengerti tabiat Umat Islam yang semacam ini.
Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau
diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu.
Jika ghiroh tidak lagi dimiliki oleh bangsa
Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dari segala sisi.
Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya
hanya satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati”(BUYA HAMKA).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah :
65-66].
Diriwayatkan dari lbnu Umar,
Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah secara ringkas. Ketika dalam
peristiwa perang Tabuk ada orang-orang yang berkata “Belum pernah kami melihat
seperti para ahli baca Al Qur`an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih
dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan”. Maksudnya, menunjuk kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al
Qur`an. Maka berkatalah Auf bin Malik kepadanya: “Omong kosong yang kamu
katakan. Bahkan kamu adalah munafik. Niscaya akan aku beritahukan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lalu pergilah Auf kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada Beliau.
Tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu Allah kepada Beliau. Ketika orang
itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau telah
beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka berkatalah dia kepada
Rasulullah: “Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanya bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana
obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk pengisi waktu saja dalam
perjalanan kami”. Ibnu Umar berkata,”Sepertinya aku melihat dia berpegangan
pada sabuk pelana unta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan
kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya
kamu selalu berolok-olok?”
HUBUNGAN
PEMBAHASAN INI DENGAN TAUHID
Hakikat tauhid adalah penyerahan diri, taat, menerima dan mengagungkan Allah
Azza wa Jalla. Sedangkan bersenda gurau dan mengolok-olok Allah, Al Qur`an dan
RasulNya merupakan penentangan, karena tidak menunujukkan pengagungan.
Tauhid berarti kesepakatan,
sedangkan mengolok-olok bermakna sebalinya. Oleh karena itu, sebagian ahli ilmu
berkata, bahwa orang kafir terbagi menjadi dua.
Pertama :Mu’ridhun (yang
berpaling), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ ۖ فَهُم
مُّعْرِضُونَ
Sebenarnya kebanyakan mereka tidak
mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling. [Al Anbiya` : 24].
Kedua : Mu’aaridhun (yang menentang
atau membantah). Yaitu mereka yang selalu melakukan penentangan dengan berbagai
cara untuk memadamkan cahaya Allah. Salah satu bentuk penentangan itu ialah
dengan mengolok-olok atau hal-hal serupa lainnya. Mengolok-olok Allah, Rasul
atau Al Qur`an, tidak mungkin keluar dari hati orang yang bertauhid, tetapi
keluar menjadi kebiasaan orang-orang munafik atau orang kafir musyrik.
Menurut pendapat yang benar,
sebagaimana dikatakan Syaikh Shalih Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrohim Alu
Syaikh dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah
‘Alal Ibad, beliau mengatakan, yang dimaksud oleh surat At Taubah di atas ialah
orang munafik. Karena ahli tauhid tidak mungkin melakukan senda gurau dengan
berolok-olok. Jika dia melakukan olok-olok, maka dapat diketahui, sesungguhnya
dia tidak mengagungkan Allah, dan tidak bertauhid, karena mengolok-olok
meniadakan pengagungan.
Syaikhul Islam rahimahullah
mengatakan, Allah telah memberi kabar, bahwa mereka telah kafir setelah beriman
padahal mereka berkata “sesungguhnya kami berbicara kekafiran tanpa ada
keyakinan, kami hanya bersenda gurau dan bermain~main saja”. Allah telah
menerangkan, menghina ayat-ayatNya adalah kufur. Perkataan ini, tidak akan
terucap kecuali dengan hati lapang mengucapkannya. Karena, kalau di dalam
hatinya ada keimanan, tentu seseorang tidak akan mengucapkan perkataan yang
mengandung olok-olok tersebut.
HUKUM
MENGOLOK-OLOK ALLAH, AL QUR’AN DAN RASUL
Barangsiapa yang mencela Allah Azza wa Jalla atau bersenda gurau ketika
menyebut namaNya dan tidak menampakkan penghormatan, atau bersendagurau dengan
mengolok-olok Al Qur`an atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia menjadi kafir, kufur besar, yang berarti keluar dari agama Islam. Dia
menjadi kafir jika mengolok-olok tiga hal tersebut, atau olok-olokannya tertuju
kepada tiga hal tersebut. Inilah yang dimaksud dalam bab ini.
Berbeda halnya jika mengolok-olok
agama. Mengolok-olok agama terdapat perincian. Jika bersenda gurau dengan
agama, maka perlu dilihat yang dimaksudkannya asal agamanya ataukah amaliah
agama orang yang diolok-oloknya.
Contoh, jika ada seseorang yang
mengolok-olok penampilan seorang muslim, padahal penampilan muslim itu berarti
mengamalkan Sunnah, apakah dalam hal ini ia telah melakukan olok-olok yang
mengeluarkannya dari agama Islam? Jawabnya, tidak. Karena, olok-oloknya ditujukan
kepada praktek keagamaan, bukan kepada asal agama.
Dalam hal ini, maka perlu
dijelaskan kepadanya, bahwa yang dia olok-olok adalah Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jika ia telah mengetahui tentang hal itu, kemudian masih
juga mengolok-olok, mencela orang yang mengamalkan Sunnah, padahal ia sudah
mengetahui dan meyakinina, maka perbuatannya tersebut tergolong mengolok-olok
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tentunya mengeluarkannya dari
agama.
Demikian pula jika mengolok-olok
dengan kalimat yang kembalinya kepada Al Qur`an atau selain Al Qur`an, juga
terdapat perincian. Singkat kata, jika mengolok-olok Allah, sifat-sifatNya atau
nama-namaNya atau mengolok-olok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
Al Qur`an, maka hal itu merupakan kekufuran. Jika olok-oloknya bukan kepada
tiga hal tersebut, maka dilihat, jika kembali kepada salah satu dari tiga hal
itu, maka hal itu adalah kufur besar. Jika tidak, berarti dia telah melakukan
perbuatan yang haram, tidak termasuk kufur besar. [1]
TAUBAT
ORANG YANG MENGOLOK-OLOK.
Ayat 65-66 Surat At Taubah di atas merupakan nash, bahwa mengolok-olok Allah,
Rasul dan ayat-ayatNya -maksudnya syariat Allah- adalah kafir; tidak diterima
udzurnya; meski berkilah hanya bergurau dan bermain-main. Karena mengagungkan
Allah dan mentauhidkanNya, mengharuskan seseorang untuk tidak mempermainkan dan
mengolok-olokNya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin menyebutkan faidah dari dua ayat surat At Taubah tersebut. Di
antaranya, taubat orang yang mengolok-olok Allah diterima, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ
Jika Kami mema’afkan segolongan
dari kamu (lantaran mereka taubat)… [At Taubah : 66]
Dan ini terjadi. Di antara
orang-orang yang dimaksudkan oleh ayat itu ada yang dimaafkan oleh Allah dan
diberi hidayah kepada Islam. Bertaubat dan Allah menerima taubatnya. Ini
merupakan dalil yang kuat, bahwa orang yang mengolok-olok Allah diterima taubatnya.
Akan tetapi harus disertai dengan bukti yang nyata atas ketulusan taubatnya,
karena kufur akibat mengolok-olok adalah kekufuran yang sangat berat, tidak
sebagaimana kufurnya orang yang berpaling (dari Allah) atau menolak (apa yang
datang dari Allah). [2]
Dalam menafsirkan ayat di atas,
Ikrimah berkata: “Ada orang yang termasuk -insya Allah- diampuni berkata, ‘Ya
Allah sesungguhnya aku mendengar suatu ayat yang dimaksud dalam ayat itu adalah
aku. Sebuah ayat yang membuat kulit merinding dan hati menjadi takut. Ya Allah,
jadikanlah kematianku terbunuh di jalanMu, sehingga tidak ada seseorang yang
berkata bahwa aku telah memandikannya, aku mengafaninya, atau aku
menguburkannya’. Maka ia terbunuh pada perang Yamamah, dan tidak seorangpun
dari kaum Muslimin menemukan jasadnya”.
Demikian halnya taubat dari mencela
rasul. Diterima taubatnya, tetapi wajib dieksekusi (hukum bunuh) setelahnya
[3]. Berbeda dengan mencela Allah yang diterima taubatnya tanpa eksekusi. Hal
ini bukan karena hak Allah lebih rendah dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tetapi karena Allah mengabarkan berkenaan dengan hakNya, bahwa Dia
mengampuni semua dosa. Sedangkan mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkaitan dengan dua hal.
Pertama : Merupakan perkara syar’i.
Kaitannya Muhammad sebagai Rasulullah Shallallahu ‘laihi wa sallam. Dari sisi
ini jika bertaubat, ia diterima taubatnya.
Kedua : Perkara pribadi. Ini
berkaitan, bahwa Muhammad sebagai utusan. Dari sisi ini, wajib mengeksekusinya
karena berkenaan dengan hak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Setelah bertaubat, dilaksanakanlah
hukuman mati, dan orang mengolok-olok tersebut tetap seorang sebagai muslim;
dia dimandikan, dikafankan dan dishalatkan. Jasadnya ditanam di pekuburan
muslimin. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau telah menulis tentang hal ini dalam bukunya Sharim Al Maslul Fi Hukmi
Qotli Sabbi Rasul atau Ash Sharim Al Maslul ‘Ala Syatmi Ar Rasul.[4]
Al Qur`an telah menerangkan, iman
di dalam hati mengharuskan adanya perbuatan zhahir yang sesuai dengannya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا
ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ
بِالْمُؤْمِنِينَ وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا
ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ
بِالْمُؤْمِنِينَ وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ
أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَن يَحِيفَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ ۚ بَلْ أُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا كَانَ
قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
Dan mereka berkata: “Kami telah
beriman kepada Allah dan Rasul, dan kamipun taat”. Kemudian sebagian dari
mereka berpaling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan
apabila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya, agar Rasul mengadili di
antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika
keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, (maka) mereka datang kepada Rasul
dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada
penyakit; atau (karena) mereka ragu-ragu, atau (karena) takut kalau-kalau Allah
dan RasulNya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah
orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah
ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung. [An Nur : 47-51].
Di sini iman dinafikan dari orang
yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul, dan Allah memberi kabar bahwa
orang-orang mukmin jika diseru kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul
memutuskan perkara di antara mereka, mereka mendengar dan menaatinya. Dengan
demikian. Allah menerangkan bahwa ini termasuk kewajiban iman.
Maka dari itu, hendaklah kita
menjaga lisan. Sesungguhnya ia merupakan salah satu anggota tubuh yang paling
berbahaya dan kebanyakan orang meremehkanya. Hindari perkataan tidak bermanfaat
bagi diri, khususnya berkaitan dengan agama, ilmu, wali Allah, para ulama,
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tabi’in. Karena bisa jadi akan
membesarkan fitnah yang terjadi. Hendaklah kita senantiasa merasa khawatir
tehadap diri kita, seperti halnya para salaf yang senantiasa khawatir terhadap
diri mereka, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Ibnu Abi Mulaikah, katanya: “Aku
telah menemui tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, semuanya takut kalau kemunafikan menimpa diri mereka”. Allahu musta’an.
Kesimpulan
:
1. Orang yang dengan sengaja bersenda-gurau dengan memperolok-olok nama Allah,
ayat-ayatNya atau Rasulullah, adalah kafir.
2. Sama saja apakah yang
mengolok-olok itu orang munafik atau bukan, dia menajadi kafir karena perbuatan
itu.
3. Terdapat perbedaan antara
perbuatan menghasut dan setia kepada Allah dan RasulNya dalam masalah ini.
Bahwa melaporkan perbuatan orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah
mereka, tidak termasuk perbuatan menghasut, tetapi termasuk kesetiaan kepada
Allah, RasulNya, pemimpin umat Islam dam kaum Muslimin seluruhnya.
4. Perbedaan antara sikap memaafkan
yang dicintai Allah dengan sikap keras terhadap musuh-musuh Allah.
5. Tidak semua permintaan maaf
mesti diterima, ada juga permintaan maaf yang harus ditolak.
Maraji`:
1. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Abdurrahman Bin Hasan Alu Syaikh.
2. Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, syarah Muhammad Bin Shalih Al
‘Utsaimin.
3. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Aladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Ibad, Shalih
Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Aladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Ibad,
Shalih Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh, hlm. 482-483.
[2]. Lihat Qaulul Mufid Syarhu Kitabu At Tauhid, hlm. 852 dalam kumpulan Majmu
Fatawa Wa Ar Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, jilid
X.
[3]. Hukuman ini dilakukan dalam Khilafah Islamiah oleh penguasa.
[4]. Lihat Qaulul Mufid Syarhu Kitabu At Tauhid, hlm. 852-853 dalam kumpulan
Majmu Fatawa Wa Ar Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
jilid X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better