Khalifah Umar dalam penolakannya tersebut ternyata tidak murni
mengedepankan wewenang kekuasaannya saja, tapi juga dalam rangka menerapkan dua
perintah Allah
FIKIH, sebagai disiplin sebuah ilmu kerap didefinisikan sebagai “Ilmu
tentang Hukum-hukum Syari’at praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang
terperinci.” Sedangkan kata “Pejabat” dalam KBBI diartikan sebagai “Pegawai
pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan)”.
Tulisan ini akan mengangkat tentang –sekelumit kecil– tema
jabatan dalam perspektif fikih.
Dalam tafsir “Al-Kasyf wa Al-Bayan“, Imam Abu Ishaq
Ats-Tsa’laby telah menukil sebuah kisah dari Iyadh Al-Asy’ary;
وقال عياض الأشعري : وفد أبو موسى
الأشعري إلى عمر بن الخطاب ، فقال : إن عندنا كاتباً حافظاً نصرانياً من حاله كذا
وكذا . فقال : مالك قاتلك الله ؟ أما سمعت قول الله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا
لا تتخذوا بطانة من دونكم ) الآية ، وقوله ( لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء ) ؟
هلا اتخذت حنيفيّاً
“Dan Iyadh Al-Asy’ary berkata; Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ary
datang kepada Umar Ibn Khattab dan berkata; “Kita memiliki seorang penulis
(pencatat/sekretaris) yang terpercaya dan beragama Nasrani, dimana orangnya
begini dan begini (menyanjung kelebihannya). Kemudian Umar pun berkata; “Ada
apa denganmu? Sungguh Allah akan memerangimu (ungkapan pengingkaran), tidakkah
telah kau dengar Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu” dan
juga Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali(mu).” Mengapa tidak kau ambil
saja orang yang Hanif? (orang yang bertauhid dan bukan musyrik).”
Selain Imam Ats-Tsa’laby, kisah di atas telah dinukil juga oleh
beberapa Mufassir lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya telah
dinukil oleh Abu Zahrah dalam kitabnya “Zahrah At-Tafasir” saat
mengatakan;
ولقد كان عمر بن الخطاب – رضي الله
عنه – ينهى عن أن يستخدم غير المسلمين في الدولة الإسلامية، ويروى في ذلك أن أبا
موسى الأشعري كان له كاتب نصراني، فأرسل إليه أمير المؤمنين عمر ينهاه عن ذلك،
وجاء في آخر كتابه: (لا تقرِّبوهم إذ أقصاهم الله) فرد عليه أبو موسى يقول له: (لا
قوام للبصرة إلا به). فكتب إليه عمر مرة أخرى كلمة موجزة: (مات النصراني والسلام)
وقد فسر الزمخشري تلك الكلمة الموجزة بقوله: (يعني أنه قد مات، فما كنت تكون صانعا
حينئذ فاصنعه الساعة، واستغن عنه بغيره).
“Dan dahulu Umar ibn Khattab Radhiyallahu ‘Anhu melarang
penggunaan non-Muslim di Negeri Muslim. Dan telah diriwayatkan dalam hal
tersebut bahwa Abu Musa Al-Asy’ary memiliki seorang penulis (sekretaris)
beragama Nasrani, lalu Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab mengirimkan surat
kepadanya melarang akan hal tersebut. Dan di akhir surat tersebut dikatakan;
“Janganlah engkau mendekatkan mereka (non-Muslim) sedangkan Allah telah
menjauhkan mereka”. Lalu Abu Musa pun membalas surat tersebut dengan berkata;
“Urusan di Basrah ini takkan berjalan tanpa dia (sekretaris Nasrani tadi)”.
Lalu Umar pun kembali menyuratinya dengan perkataan singkat; “Orang Nasrani itu
telah mati! Wassalam!”.
Imam Al-Zamakhsary telah menafsirkan kalimat singkat tersebut
dengan menjelaskan; “Maksudnya adalah: Orang Nasrani tersebut (anggap saja)
telah mati, dan apa yang –akan– kau lakukan saat Nasrani itu telah mati, maka
lakukanlah saat ini juga, dan angkatlah orang lain (sekretaris yang lain) untuk
menggantikannya.””
Dari kisah di atas, setidaknya dapat kita pahami mengenai
beberapa hal;
Pertama, Khalifah Umar sangat marah saat Abu Musa Al-Asy’ary
–selaku Gubernur Basrah kala itu– mengangkat seorang sekretaris beragama
Nasrani. Meskipun Abu Musa telah menyampaikan tabayyun dan
memberikan alasan bahwa orang Nasrani tersebut adalah sosok yang handal dan
piawai (bahkan urusan di Basrah takkan berjalan tanpa dia), namun Khalifah Umar
tetap tidak menerima alasan tersebut dan tetap memberi perintah untuk segera
mencopotnya lalu menggantinya dengan seorang sekretaris Muslim.
Kedua, saat menolak kebijakan Abu Musa Al-Asy’ary, Khalifah Umar
memandang bahwa pengangkatan seorang sekretaris non-Muslim di negeri Muslim
adalah sesuatu yang tidak logis. Karena logikanya, dalam sebuah masyarakat
mayoritas Muslim, mustahil tidak ditemukan seorang Muslim yang lebih kredibel
dibanding satu orang Nasrani yang disanjung-sanjung oleh Abu Musa tadi. Dan
kalau saja memang tidak ada orang yang lebih mumpuni dibanding sekretaris
Nasrani tadi, tentunya Khalifah Umar pasti takkan memerintahkan gubernurnya
untuk mencopot sekretaris andalannya itu, sebab itu sama saja dengan perintah
untuk melakukan hal yang mustahil, yang itu bertentangan dengan nalar dan syara’.
Ketiga, Khalifah Umar dalam penolakannya tersebut ternyata tidak
murni mengedepankan wewenang kekuasaannya saja, tapi juga dalam rangka
menerapkan dua perintah Allah yang telah termaktub jelas dalam Al-Qur’an:
Pertama adalah surat Ali Imran ayat 118 yang selengkapnya
berbunyi;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ
مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي
صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [QS: Ali Imran [3]:
118]
Kedua adalah surat Al-Maidah ayat 51 yang selengkapnya berbunyi;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء
بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali (mu); sebahagian mereka adalah
wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS: Al Maidah
(5):51 ].
Ini artinya, kedua ayat di atas dapat dijadikan landasan sebagai
dalil akan “larangan mengangkat non-Muslim untuk menduduki jabatan vital di
negeri mayoritas Muslim” tentunya jabatan penting lainnya yang lebih
tinggi dari sekedar sekretaris gubernur.*/Yusuf Al-Amien, penulis
alumni PP Darussalam – Gontor
Sumber : hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give comments and criticism are best for this blog the better