Perbedaan Roh & Nafs


Setiap harinya kita sering sekali mendengar orang bercerita tentang Roh maupun Nafs seolah-olah mereka sangat paham mengenai roh, bahkan ada seorang ustadz yang mungkin tanpa disadarinya telah keliru memberikan pengertian tentang roh kepada masyarakat, sehingga manakala ada yang kerasukan Jin maka dia telah disebut kemasukan roh halus, roh nenek moyangnya, roh gentayangan dan sebagainya sehingga kemurnian ajaran Islam sebagai agama fitrah semakin kabur, bercampur dengan mitos, tradisi maupun sisa-sisa kepercayaan yang masih mengakar ditengah masyarakat bangsa ini. Belum lagi maraknya sinetron misteri ataupun reality show yang mengedepankan penampakan Jin dengan embel-embel agama, namun karena banyak teguran dari masyarakat akhirnya sudah mulai mereda namun tidak menutup kemungkinan untuk terulang lagi acara-acara kemusyrikan seperti itu dikemudian hari. Padahal Allah sendiri didalam al-Quran telah berfirman :
Dan mereka akan bertanya kepadamu tentang roh. Jawablah : Roh itu masalah Tuhanku;
 dan kamu tidak diberi ilmu mengenainya kecuali sedikit saja Qs. 17 al-Israa : 85
Bahwa untuk bisa berbicara terlalu jauh dan detil mengenai roh rasanya sangatlah mustahil sebab Allah secara khusus sudah membatasi pengetahuan manusia mengenai hakekat roh, mungkin pembatasan ini diberikan karena sedemikian kompleks dan rumitnya permasalahan tersebut untuk bisa diterima oleh akal manusia sekalipun misalnya hal itu tetap bisa untuk dijabarkan. Hidup manusia yang nyata didunia adalah jauh lebih berguna dan lebih patut untuk mendapat perhatian ketimbang mengurusi masalah Roh ini.

Roh, meskipun tidak banyak yang bisa kita bicarakan namun al-Quran telah mengulang istilahini sebanyak 24 kali dengan berbagai konteks dan makna namun uniknya semuanya itu merujuk pada sesuatu yang mulia, tinggi, bersih dan terhormat. Tidak pernah kita dapati istilah roh yang disiksa, mengikuti syahwatnya atau ternoda. Dalam penyebutannya juga al-Quran tidak melekatkan istilah roh sebagai milik suatu makhluk tertentu akan tetapi langsung dinisbatkan kepada Allah.

  

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya roh-Ku; maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud  Qs. 15 al-Hijr : 29
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh-Nya, lalu Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati namun sedikit sekali dari kamu yang bersyukur Qs. 32 as-Sajdah : 9

Sebuah jasad tanpa roh maka jasad itu akan mati, tidak mampu bergerak tidak kuasa untuk menarik nafas dan dalam hitungan jam tubuhnya akan kaku karena darah berhenti mengalir. Orang yang sedang tidur bukan berarti roh yang ada didalam jasadnya sedang keluar, sebab bila demikian adanya berarti saat dia tidur maka dia seharusnya mati dalam pengertian yang sesungguhnya tapi kenyataannya saat seseorang tertidur, dia masih bisa bergerak membalikkan badan, jantungnya masih berdenyut, mulutnya masih bisa mengeluarkan suara mendengkur dan malah tidak jarang orang yang tidurpun bisa tiba-tiba tertawa ataupun menangis bahkan buang air kecil tanpa disadarinya, semua ini mengindikasikan kepada kita bahwa tidur bukanlah suatu keadaan dimana roh meninggalkan badan.

Oleh karena itulah saat menceritakan kisah ashabul kahfi, al-Quran menyebut mereka bukan dalam keadaan mati dimana roh penghuni jasadnya dicabut Allah tetapi disebut bahwa mereka sedang tidur dan ciri bahwa mereka tidur adalah tubuh mereka bergerak berbalik-balik.
 
Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka tidur ; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka melunjurkan dua kaki depannya dipintu gua. ; Jika kamu melihat mereka niscaya kamu akan berpaling dan lari dengan penuh ketakutan terhadap mereka.  (Qs. 18 al-Kahf : 18)

Kejadian ashabul kahfi yang tidur selama 309 tahun ini mungkin bisa dihubungkan juga dengan teori relativitasnya Einstein seperti yang pernah kita bahas dalam pembicaraan Isra Miraj Nabi, dimana objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya akan mengalami perlambatan waktu dengan objek yang memiliki kecepatan statis, tubuh para pemudia ashabul kahfi mungkin digetarkan oleh Allah molekul-molekulnya mendekati kecepatan cahaya sehingga tubuh mereka bergetar dan membalik-balik agar tahan terhadap perubahan waktu diluar gua yang berjalan lambat sehingga kita yang melihat mereka bagaikan melihat sinar yang berkilatan dan sesuai isi akhir ayat ini kejadian tersebut pasti akan membuat kita lari ketakutan; Bukti dari kebenaran teori ini adalah usia mereka ketika bangun sama seperti saat mereka tidur padahal waktu yang berjalan diluar gua sudah berlalu 309 tahun.

Dengan demikian roh itu bisa kita ibaratkan sebagai energi listrik yang mengisi baterai pada sebuah ponsel yang membuatnya bisa hidup dan mengadakan komunikasi secara wajar. Roh adalah energi kehidupan, dia adalah listrik pembangkit sumber daya bagi semua makhluk Allah. Manakala listrik ini mati, maka akan hilanglah kehidupan, meskipun perangkat televisi masih tetap ada, provider jaringan masih tetap eksis dan ponsel masih dalam keadaan layak pakai, tetapi tanpa keberadaan energi listrik yang mengisinya maka semua menjadi tidak berguna. Jasad yang masih muda, segar tanpa cacat tidak akan bisa melakukan aktifitas apapun walau hanya untuk menarik nafas dalam hitungan milidetik bila roh sudah meninggalkannya.

Allah mewafatkan nafs pada saat kematiannya, dan nafs orang-orang yang belum mati didalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) nafs yang sudah ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu - (Qs. 39 az-Zumar : 42)

Ayat diatas ini menceritakan seputar kekuasaan Allah terhadap diri manusia yang mampu membiarkan seseorang tetap hidup ataupun menentukan kapan dia harus mati. Menariknya ayat tersebut telah memperkenalkan istilah Nafs yang oleh sebagian besar ahli tafsir diterjemahkan dengan kata jiwa ataupun nyawa.

Inti ayat ini bahwa orang tidur pada dasarnya rohnya tetap ada, bisa dibuktikan dengan gerakan, igauan maupun helaan napas. Pada kondisi ini Nafs yang bersangkutan dibiarkan lepas kealam imajinasi, alam bawah sadar atau juga sebuah alam metafisika terlepas dari jasad phisiknya yang sedang berbaring untuk menjalani berbagai pengalaman melalui mimpi-mimpinya.; Bahkan kemampuan orang-orang yang melatih ilmu proyeksi astral (meraga sukma) tidak lain dari perbuatan yang dilakukan dalam rangka melepaskan Nafsnya dari tubuh kasarnya.

Sebaliknya Nafs yang sudah diwafatkan oleh Allah berarti Nafs yang bersangkutan sudah ditahan oleh Allah untuk tidak dapat lagi melakukan petualangan dialam bawah sadar melalui mimpi-mimpinya maupun juga melalui proyeksi astral secara sengaja. Proses pembatasan Nafs ini ditandai dengan dihilangkannya roh yang berfungsi membangkitkan kehidupan bagi jasad dan Nafs.

Karena itulah kita tegaskan lagi bahwa dongeng arwah gentayangan maupun roh penasaran tidaklah bisa dibenarkan, semua itu hanyalah tipu muslihat dari Jin yang sudah menjadi bawahan Iblis. Semua suara yang keluar dari benda mati, suara tanpa wujud sampai pada fenomena penampakan tidak lebih dari perbuatan setan yang ingin menyesatkan pemahaman manusia dari jalan Tuhannya.

Orang yang sudah wafat selamanya tidak akan pernah bisa kembali dalam kehidupan nyata didunia, masanya untuk berkiprah melangsungkan kegiatan duniawi sudah berakhir, roh suci yang menjadi energi pembangkit kehidupan sudah hilang kembali kepada Allah. Tanpa roh, nafs tidak akan mampu menggerakkan jasadnya, tanpa roh nafs akan menjadi terhalang kembali kealam duniawi.
Jika Nafs mampu bergentayangan selepas kematian jasadnya, tentu keseimbangan alam semesta ini akan rusak binasa, jutaan nafs yang kehilangan tubuh materilnya dari jaman kejaman akan berebut merasuki semua tubuh makhluk hidup dan mengusir nafs yang menghuni jasad tersebut. Sungguh akan menjadi lelucon paling lucu yang pernah ada. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal istilah reinkarnasi maupun penitisan sebagaimana yang bisa dijumpai pada beberapa agama bumi. Kitab suci al-Quran jelas mengatakan bahwa antara orang yang sudah wafat dengan orang yang masih hidup didunia ini tidak akan bisa saling mencampuri lagi karena diantara mereka ada batasan yang disebut barzakh.
  
Hingga apabila datang maut kepada seseorang dari mereka, ia berkata : Ya Tuhanku ... kembalikanlah aku kedunia, supaya aku berbuat baik dalam urusan yang telah aku sia-siakan sebelumnya.; Tidak sekali-kali !!! Sesungguhnya yang demikian itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja, padahal diantara mereka (dan dunia) ada dinding (barzakh) sampai mereka dibangkitkan. -- (Qs. 23 al-Muminun : 99 100)

Ruh selamanya akan tetap suci tak bernoda, sebaliknya Nafs kitalah yang kelak akan mempertanggung jawabkan semua kelakuannya semasa hidup hingga kematian menjemput dihadapan Allah dihari akhir.

Wahai, Nafs yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridho dan diridhoi; bergabunglah kedalam kelompok hamba-hambaKu lalu masuklah kedalam syurga-Ku - Qs. 89 al-Fajr : 27-30

Dan Nafs serta yang menyempurnakannya, lalu mengilhamkan kepadanya jalan kesesatan dan jalan kebenaran; maka berbahagialah orang yang membersihkan (Nafs) tersebut serta celakalah orang yang mengotorinya. (Qs. 91 asy-Syams : 7-10) Wallahua’lam bissawaab.

Kata Mutiara & Pantun Sholat Lima Waktu

Bila "Shubuh" utuh,
 Pagi pun tumbuh,
 Hati terasa teduh,
 Pribadi tdk angkuh,
 Keluarga tdk keruh,
 Maka damai berlabuh..
Bila "Dhuhur" teratur,
 Diri jadi jujur,
 Hati tdk kufur,
 Jiwa selalu bersyukur,
 Amal ibadah tdk udzur,
 Keluarga akur,
 Maka Pribadi jadi makmur..
Bila "Ashar" kelar,
 Jiwa jadi sabar,
 Raga jadi tegar,
 Senyum pun menyebar,
 InsyaAllah rezeki lancar...
Bila "Maghrib" tertib,
 Ngaji menjadi wajib,
 Wirid jadi karib,
 Jauh dari aib,
 InsyaAllah syafaat tdk raib...
Bila "Isya" terjaga,
 Malam bercahaya,
 Hati damai sejahtera,
 InsyaAllah hidup pun bahagia.
IKHLAS ITU  
menentukan diterima atau tidak diterimanya aktivitas kita sebagai ibadah, 
Karenanya pastikan ia senantiasa menyertai setiap aktivitas kita
Ikhlas itu…. Ketika nasehat, kritik dan bahkan fitnah, tidak mengendorkan amalmu dan tidak membuat semangatmu punah.
 Ikhlas itu… Ketika hasil tak sebanding usaha dan harapan, tak membuatmu menyesali amal dan tenggelam dalam kesedihan.
 Ikhlas itu… Ketika amal tidak bersambut apresiasi sebanding, tak membuatmu urung bertanding.
 Ikhlas itu… Ketika niat baik disambut berbagai prasangka, kamu tetap berjalan tanpa berpaling muka.
 Ikhlas itu… Ketika sepi dan ramai, sedikit atau banyak, menang atau kalah, kau tetap pada jalan lurus dan terus melangkah.
 Ikhlas itu… ketika kau lebih mempertanyakan apa amalmu dibanding apa posisimu, apa peranmu dibanding apa kedudukanmu, apa tugasmu dibanding apa jabatanmu.
 Ikhlas itu.. ketika ketersinggungan pribadi tak membuatmu keluar dari barisan dan merusak tatanan.
 Ikhlas itu… ketika posisimu di atas, tak membuatmu jumawa, ketika posisimu di bawah tak membuatmu enggan bekerja.
 Ikhlas itu… ketika khilaf mendorongmu minta maaf, ketika salah mendorongmu berbenah, ketika ketinggalan mendorongmu mempercepat kecepatan.
Ikhlas itu… ketika kebodohan orang lain terhadapmu, tidak kau balas dengan kebodohanmu terhadapnya, ketika kedzalimannya terhadapmu, tidak kau balas dengan kedzalimanmu terhadapnya.
 Ikhlas itu… ketika kau bisa menghadapi wajah marah dengan senyum ramah, kau hadapi kata kasar dengan
jiwa besar, ketika kau hadapi dusta dengan menjelaskan fakta.
 Ikhlas itu…. Gampang diucapkan, sulit diterapkan….. namun tidak mustahil diusahakan….
Ikhlas itu….Mau berbagi, berbagi rasa tanpa ada perasaan menyesal…
 Ikhlas itu... Seperti surat Al Ikhlas.. Tak ada kata ikhlas di dalamnya...
Semoga Bermanfaat dan selamat Beraktivitas


Tantangan Subuh dan Adzan Bilal Yang Mengharukan

ISLAMIC ARTICLE--Sayup-sayup terdengar suara adzan terdengar lirih disubuh hari diiringi gerimis menerpa atap dan pepohonan. Tak terasa lambat laun suara itu makin kencang menggetarkan relung kalbuku, tiba-tiba seketika ada bisikan yang ingin menghendaki diriku untuk sholat dirumah, ah” ini pasti setan mulai menggodaku”gerutuku didalam hati. Aku jadi teringat kisah sahabat nabi yang buta minta keringanan untuk sholat dirumah karena disebabkan matanya yang buta, awalnya Nabi mengizinkan, tapi ketika ditanyakan “apakah anda mendengar adzan? Sahabat tersebut menjawab, ya!” .Nabipun kembali mengatakan kalau begitu saudara tetap harus tetap pergi ke Mesjid”.

Motivasiku untuk tetap ke Mesjid sudah kuadzamkan” kalaupun ada rukhsoh untuk sholat dirumah disebabkan hujan deras. Hujan bukan penghalang untuk tidak pergi ke Mesjid, apalagi seorang guru pernah mengatakan “kita nih belum dihujani peluru, baru hujan air” kata-kata sang guru ini begitu membekas dipikiranku pada saat beliau mengatakan itu disaat saya masih tinggal di asrama santri.

Sambil menunggu hujan selesai aku sempatkan sholat sunnah dua raka’at, Alhamdulillah selesai sholat sunnah selesai juga hujannya, sepertinya sudah lumrah di kampus ini, kalau adzan berbarengan dengan hujan selesai kubaca-baca lagi kisah kisah teladan para sahabat rosul dirak buku koleksiku,,"tak terasa kukembali menemukan kisah BILAL BIN RABAH yang kurang lebihnya ceritanya sebagai berikut:

Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.

"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang galau. Ia dirundung rindu.

Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Laksana udara segar, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.

Hari itu, Madinah benar-benar diselubungi rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.

Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal.

Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah menitiskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.

Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.

Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.

Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar."Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal. "Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorangpun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal. "Kalau demikian, terserah apa kehendakmu," jawab Abu Bakar.

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.

Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk. “Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..

Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.

“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.
“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”
Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Sementara itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan! ”Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar Ash-Shiddiq 

Rodhiallahu ‘anhupun menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah” .Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih:

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya, merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.

Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan Rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.

Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia.
Semoga bisa menjadi sebuah cerita yang menarik dan mendidik buat anak,temen,saudara atau keluarga kita tetang kisah teladan para sahabat rosul ini,."InssaAllah..Wallahu a’lam bissawaab.


Sumber : Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.


Mantan Yahudi; Joseph Cohen Mendapat Hidayah & Masuk Islam

ISLAMICARTICLE—Masalah hidayah adalah kehendak Allah, kalau Allah berkehendak tidak ada yang menghalanginya, sebaliknya kalau seorang mukmin mendo’akan agar diberi hidayah bagi saudaranya yang kafir tapi kalau Allah belum menghedaki tidak akan terjadi. Beruntunglah seperti Josep dan saudara-saudara yang lain yang sudah mendapat hidayah-Nya.
Seperti diceritakan dalam kisahnya sendiri waktu itu Joseph Cohen ke Israel pada tahun 1998, karena keyakinannya yang sangat kuat pada ajaran Yudaisme. Dia kemudian tinggal di pemukiman Yahudi Gush Qatif di Gaza. Namun, setelah tiga tahun menetap di Gaza, Cohen memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Dia memutuskan untuk menjadi Muslim setelah ia bertemu dengan seorang syaikh asal Uni Emirat Arab. Dia berdiskusi tentang teologi dengan syaikh tersebut lewat internet. Setelah masuk Islam, Cohen mengganti namanya dengan nama Islam Yousef al-Khattab.
Seorang Yahudi ortodoks asal Amerika Serikat ini mengucapkan syahadat yang menandakan dirinya masuk Islam. Tak lama setelah itu, istri dan keempat anak Yousef mengikuti jejaknya untuk memeluk Islam. Tapi, keluarganya tidak merestui tindakannya itu. Hingga dia tidak diakui sebagai salah satu bagian dari anggota keluarganya tersebut.
Kini Yousef aktif berdakwah dikalangan orang-orang Yahudi. Dia mengakui, berdakwah tentang Islam di kalangan orang-orang Yahudi bukan pekerjaan yang mudah. Menurutnya, yang pertama kali harus dilakukan dalam mengenalkan Islam adalah, bahwa hanya ada satu manhaj dalam Islam yaitu manhaj yang dibawa oleh Rasululullah SAW yang kemudian diteruskan oleh para sahabat-sahabat dan penerusnya hingga sekarang.
“Cara yang paling baik untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama untuk semua umat manusia adalah dengan memberikan penjelasan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan yang membedakan antara umat manusia adalah ketaqwaannya pada Allah semata,” ujar Yousef.
Yousef mengatakan bahwa dasar ajaran agama Yahudi sangat berbeda dengan Islam. Perbedaan utamanya dalam masalah tauhid. Agama Yahudi, kata Yousef percaya pada perantara dan perantara mereka adalah para rabbi. Orang-orang Yahudi berdo’a lewat perantaraan rabbi-rabbi mereka.
“Yudaisme adalah kepercayaan yang berbasiskan pada manusia. Berbeda dengan Islam, agama yang berbasis pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan keyakinan pada Islam tidak akan pernah berubah, di semua masjid di seluruh dunia al-Qur’an yang kita dengarkan adalah al-Qur’an yang sama,” ujar Yousef.
Yousef mengungkapkan, kitab Taurat yang diyakini kaum Yahudi sekarang memiliki sebelas versi yang berbeda dan naskah-naskah Taurat itu bukan lagi naskah asli. “Alhamdulillah, Allah memberikan rahmat pada kita semua dengan agama yang mudah, di mana banyak orang yang bisa menghapal al-Qur’an dari generasi ke generasi. Allah memberkati kita semua dengan al-Qur’an,” tukas Yousef. Meski demikian, dia meyakini dialog adalah cara terbaik dalam berdakwah terutama di kalangan Yahudi.
Yousef ditanya tentang kelompok-kelompok Yahudi yang mengklaim anti-Zionis. Dia menjawab bahwa secara pribadi maupun dari sisi religius, ia tidak percaya dengan Yahudi-Yahudi yang mengklaim anti-Zionis. “Dari sejarahnya saja, mereka adalah orang-orang yang selalu melanggar kesepakatan. Mereka membunuh para nabi, oleh sebab itu saya tidak pernah percaya pada mereka, meski Islam selalu menunjukkan sikap yang baik pada mereka,” paparnya.
Yousef menegaskan bahwa pernyataannya itu bukan untuk membela orang-orang Palestina ataupun atas nama seorang Muslim. Pernyataan itu merupakan pendapat pribadinya. “Allah Maha Tahu,” tandasnya.
Sebagai orang yang pernah tinggal di pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, Yousef mengakui adanya diskriminasi yang dilakukan pemerintah Israel terhadap Muslim Palestina. Yousef sendiri pernah dipukul oleh tentara-tentara Israel meski tidak seburuk perlakuan tentara-tentara Zionis itu pada warga Palestina.
“Saya masih beruntung, penderitaan yang saya alami tidak seberat penderitaan saudara-saudara kita di Afghanistan yang berada di bawah penjajahan AS atau saudara-saudara kita yang berada di kamp penjara AS di Kuba (Guantanamo),” imbuhnya dengan penuh rasa syukur kepada Allah Swt.

Sumber : islampos.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...