Ada sebuah fenomena
yang sangat jelas dan tertanam kuat pada masyarakat dan bangsa kita saat ini
yaitu membiarkan kemungkaran terjadi dan malu untuk mencegah ataupun sekedar
untuk menegur. Bahkan mungkin sekarang sudah mencapai taraf takut untuk
mencegah atau sekedar menyampaikan sepatah dua patah kata untuk mencegah atau
mengingatkan orang dari berbuat kemungkaran. Parahnya lagi hal itu semakin
ditunjang dengan kondisi dan sarana yang cukup memadai untuk melakukan segala
kemungkaran dan kemaksiatan.
“Dan peliharalah diri
kalian dari fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di
antara kalian, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfaal
[8]: 25)
Imam Ibn Katsir (w.
774 H) menyatakan bahwa ayat ini merupakan peringatan dari Allah ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman tentang fitnah[1], yaitu ujian dan bencana, yang tidak hanya dikhususkan
bagi ahli maksiat dan pelaku dosa saja, namun berlaku umum, terhadap orang yang
melakukan kemaksiatan ataupun tidak. Hal ini terjadi karena orang-orang yang
tidak melakukan perbuatan dosa tadi tidak berupaya mencegah dan menghentikan
kemaksiatan para ahli maksiat.[2]
At-Thabari (w. 310 H) menyampaikan sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas
tentang ayat ini, Ibn ‘Abbas berkata: “Allah memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk tidak mendiamkan kemungkaran yang tampak di hadapan mereka, jika
demikian (tetap mendiamkan) maka Allah akan menimpakan azab yang berlaku umum.”[3] Dalam tafsir al-Baghawi (w. 510 H), ada tambahan
redaksi terhadap pernyataan Ibn ‘Abbas ini, yaitu: “yang akan menimpa orang
yang berlaku zalim dan yang tidak.”[4]
Sebagian mufassir dari kalangan tabi’in mengkhususkan ayat ini hanya
untuk sebagian kalangan shahabat saja, seperti yang dinyatakan oleh as-Suddi
dan al-Hasan. As-Suddi berkata bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang
yang terlibat dalam Perang Jamal. Sedangkan al-Hasan lebih jelas lagi
menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan ‘Ali, ‘Utsman, Thalhah dan
Zubair rahmatullahi ‘alaihim.[5] Dalam salah satu riwayat, Ibn ‘Abbas juga menyatakan
bahwa ayat ini turun tentang para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[6]
Namun, Mujahid
menyatakan bahwa ayat ini juga berlaku untuk yang lain. Demikian juga menurut
adh-Dhahhak, Yazid ibn Abi Habib, dan lainnya. Ibn Mas’ud berkata: “Tidak ada
salah seorang pun dari kalian kecuali ia terkena fitnah. Allah ta’ala
berfirman: innamaa amwaalukum wa aulaadukum fitnah (sesungguhnya
harta dan anak-anak kalian merupakan fitnah) (at-Taghabun [64]:
15), maka berlindunglah kepada Allah dari fitnah-fitnah yang
menyesatkan.”[7]
Oleh karena itu, Ibn
Katsir menyatakan bahwa ayat ini berlaku untuk para shahabat dan selain mereka.[8] Ini juga yang menjadi pendapat faqih dan mufassir kontemporer,
az-Zuhaili.[9]
Dari penjelasan di
atas, cukup jelas bagi kita bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada
orang-orang beriman, orang-orang yang tidak suka bermaksiat kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, bahwa yang mereka lakukan tidak cukup untuk menyelamatkan
diri mereka dari bencana, jika mereka tetap membiarkan kemaksiatan dan
kemungkaran merajalela di sekitar mereka.
Jika ada yang
menyatakan bahwa Allah ta’ala berfirman: wa laa taziru waaziratun wizra
ukhraa (dan seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain)[10], kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah (tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya)[11], dan lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa ma(a)
(i)ktasabat (baginya pahala atas (kebaikan) yang dilakukannya, dan
untuknya siksa karena (kejahatan) yang dilakukannya)[12], dan ini berarti seseorang tidak akan memikul dosa orang
lain, seseorang hanya akan disiksa akibat perbuatan dosanya sendiri. Maka,
menurut al-Qurthubi (w. 671 H), jawabannya adalah bahwa seseorang yang melihat
kemungkaran merajalela, ia wajib mengubahnya, dan yang berdiam diri terhadap
kemungkaran tersebut juga terkategori orang yang bermaksiat. Ia berdosa karena
ridha terhadap kemaksiatan yang ada disekitarnya.[13]
Kewajiban mengubah
kemungkaran ini juga telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam salah satu hadits shahih:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Artinya: “Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tangan, jika tidak
mampu, maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati (dengan
menunjukkan ketidak ridhaan terhadap kemungkaran tersebut), dan itulah selemah-lemah
iman.”[14]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَثَلُ القَائِمِ عَلَى
حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى
سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ
الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ
فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ
نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا،
وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا
Artinya: “Perumpamaan
orang yang komitmen terhadap ketentuan-ketentuan Allah dan orang yang
melanggarnya adalah seperti sekelompok orang yang menumpangi sebuah kapal.
Sebagian mereka berada di bagian atas, dan sebagian yang lain berada di bagian
bawah. Jika orang-orang yang di bawah ingin mengambil air, mereka harus
melewati orang-orang yang di atas mereka. Lalu mereka berkata: ‘Seandainya kita
lubangi saja (kapal ini) pada bagian kita, kita tentu tidak akan menyusahkan
orang-orang yang di atas kita’. Jika hal tersebut dibiarkan oleh orang-orang
yang di atas, padahal mereka tidak menghendakinya, niscaya binasalah mereka
semua, dan jika mereka mencegahnya, maka selamatlah semuanya.”[15]
Hadits di atas
menunjukkan pentingnya aktivitas al-amr bil ma’ruf dan an-nahy
‘anil munkar, jika umat Islam senantiasa melaksanakan aktivitas ini,
niscaya umat ini akan selamat, dan sebaliknya jika tidak dilakukan, umat ini
akan binasa secara keseluruhan, baik pelaku maksiat secara langsung maupun yang
ridha dan membiarkan aktivitas mereka.
Allah bahkan mengancam
orang-orang yang tidak melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar melalui
lisan Rasul-Nya sebagai berikut:
وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ
لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ
فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
Artinya: “Demi Zat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian harus memerintahkan kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan menimpakan hukuman atas
kalian (karena meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar), kemudian
kalian berdoa kepada-Nya dan tidak dikabulkan-Nya.”[16]
Kenyataannya, saat ini
kemungkaran begitu jelas terlihat di depan mata kita. Berbagai macam
kemaksiatan seperti ekonomi ribawi, pornografi dan pornoaksi , serta berbagai
pemikiran merusak semisal pluralisme dan liberalisme begitu nyata dijajakan di
hadapan kita. Penguasa, yang seharusnya melindungi umat dari kemungkaran, malah
menjadi pelindung utama kemungkaran tersebut. Di sisi lain, umat Islam semakin
terhimpit kemiskinan dan kesulitan hidup sistemik akibat diterapkannya
undang-undang dan peraturan yang tidak Islami.
Bahkan, bisa dikatakan
saat ini merupakan periode terburuk yang dialami oleh umat Islam.
Seburuk-buruknya masa lalu, saat Negara Islam masih tegak, kemungkaran hanya
terjadi pada skala individu atau kelompok kecil, paling banter kemungkaran
dilakukan oleh sebagian penguasa korup, tanpa meluas ke tengah masyarakat.
Sedangkan saat ini, korupsi penguasa dilakukan dari tingkat pusat sampai
daerah, minuman keras dan narkoba menyebar di tengah masyarakat, pornografi dan
pornoaksi menjadi tontonan tiap hari, ekonomi ribawi menggurita dan menjadi
penopang utama ekonomi bangsa ini, kerusakan moral terlihat di mana-mana, dan
banyak keburukan lainnya yang bisa kita saksikan dan baca dari berbagai media
tiap harinya.
Kalau kita sejenak
duduk, berfikir dan merenungi kenyataan ini, kita akan paham bahwa apa yang
terjadi sekarang ini adalah akibat dari perbuatan kita dan sikap kita yang
selalu menyepelekan perintah dan larangan Allah Ta?ala. Kita selalu
membentangkan tangan terbuka bagi setiap ajakan syetan beserta kru-krunya,
bersamaan dengan itu kita dengan sangat berani dan tak tahu malu menolak setiap
ajakan kebaikan menuju jalan Allah dan Rasul-Nya. Malah sikap yang lebih parah
lagi adalah merasa bangga dengan perbuatan buruk yang dilakukan. Lalu para
pemimpin hanya sibuk mengurus diri dan kursinya.
Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah salah satu simbol bagi hilangnya rasa mencintai kebenaran dan
membenci kemungkaran. Hal itulah yang menjadi pupuk bagi semakin suburnya
kemungkaran dan kejahatan yang kita lihat sehari-hari. Kebanyakan kita
menganggap bahwa dengan membiarkan seseorang berbuat apa yang dia mau adalah
memberikan hak asasinya sebagai manusia. Padahal hal itu tidak lain akan
semakin mengurangi kemanusiannya.
Jika kita jernih
memandang hal ini, kita akan temukan bahwa akar masalah dari berbagai kemungkaran
yang disebutkan di atas adalah tidak dijadikannya Syariah Islam, aturan yang
diturunkan oleh Allah ta’ala bagi manusia, sebagai hukum formal pada seluruh
aspek kehidupan. Seandainya Syariah Islam diterapkan sepenuhnya –tanpa kecuali–
atas dasar keimanan kepada Allah ta’ala, tentu kemungkaran bisa dikikis habis.
Sebaliknya, jika Syariah Islam diabaikan, kemungkaran akan terus menggurita dan
merusak seluruh sendi kehidupan kita.
Pada kondisi seperti
sekarang ini, diam berpangku tangan atas tidak diterapkannya Syariah Islam
merupakan sebuah kemaksiatan, bahkan kemaksiatan yang amat besar. Jika semua
orang yang mengetahui hal ini diam dan terus membiarkan kemungkaran ini, tanpa
berupaya mengubahnya, maka bencana akan menimpa umat ini secara keseluruhan. Na’udzubillahi min
dzalik.
Catatan Kaki:
[1] Seringkali orang salah memahami makna fitnah yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Fitnah yang disebutkan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maknanya beragam, kadang maksudnya ujian, kadang
bencana dan kerusakan, kadang juga dipahami sebagai azab, dan kadang dengan
makna yang lain.
[2] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
Juz 4 (Riyadh: Daar Thayyibah, 1999), hlm. 37.
[3] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Qur’an, Juz 13 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000), hlm. 474.
[4] Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir
al-Qur’an, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya at-Turats’ al-‘Arabi, 1420 H), hlm. 283.
[5] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Qur’an, Juz 13, hlm. 473-474.
[6] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
Juz 4, hlm. 38.
[9] Az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah
wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 9 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir,
1418 H), hlm. 292.
[10] Disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an, yaitu
pada: QS. Al-An’aam [6]: 164; QS. Al-Israa’ [17]: 15; QS. Faathir [35]: 18; dan
QS. Az-Zumar [39]: 7.
[11] QS. Al-Muddatstsir [74]: 38.
[12] QS. Al-Baqarah [2]: 286.
[13] Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
Juz 7 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), hlm. 393.
[14] Diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim,
Juz 1 (Beirut: Dar Ihya at-Turats, t.t), hlm. 69, hadits no. 78. Diriwayatkan
juga oleh Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud ath-Thayalisi, Ibn Hibban, al-Baihaqi,
dan yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
[15] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Juz 3 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H), hlm. 139, hadits no.
2493. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Hibban, ath-Thabarani,
al-Baihaqi, dan yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
[16] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, Juz 4 (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1975), hlm. 468,
hadits no. 2169. At-Tirmidzi berkata: ‘hadits ini hasan’. Diriwayatkan juga
oleh Ahmad, ath-Thabarani, al-Baihaqi, dan yang lainnya dengan redaksi
masing-masing.